Sekutu Pemerintah Swedia: Erdogan Itu Diktator Islam!
loading...
A
A
A
STOCKHOLM - Jimmie Akesson, pemimpin Partai Demokrat Swedia, yang sekutu utama pemerintah setempat, mengecam Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang dia sebut "diktator Islam".
Komentar keras itu menambah rentetan ketegangan kedua negara ketika Ankara mengganjal langkah Stockholm untuk menjadi anggota NATO.
Sebelumnya, para demonstran di Swedia menghina Erdogan dengan menggantung patung berwajah pemimpin Turki itu dengan posisi badan terbalik. Demonstran membandingkan Erdogan dengan diktator fasis Italia, Benito Mussolini.
Aksi itu telah membuat pemerintah Erdogan marah, namun pemerintah Swedia menolak seruan Ankara untuk membuka penyelidikan atas insiden penggantungan patung tersebut.
"Anda tidak bisa melangkah terlalu jauh. Karena pada akhirnya ini adalah sistem anti-demokrasi yang sedang kita hadapi," kata Akesson terkait sikap Turki yang mempersulit aksesi Swedia ke NATO.
Akesson juga berpendapat bahwa penting bagi Swedia untuk tidak terlalu tunduk pada tuntutan Turki dan menentang gagasan bahwa Presiden Recep Tayyip Erdogan adalah pemimpin yang dipilih secara populer. "[Dia] diktator Islam, kurang lebih," katanya.
"Saya adalah pemimpin Partai Demokrat Swedia yang anti-Islam dan memiliki pandangan kuat terhadap seorang diktator Islam seperti Erdogan," ujarnya, seperti dikutip Sputnik, Kamis (19/1/2023).
Klaim Akesson muncul setelah skandal baru-baru ini dalam hubungan Swedia-Turki dan aksesi negara Nordik itu ke NATO bergantung pada persetujuan Ankara.
Perdana Menteri Swedia yang juga pemimpin Partai Moderat Ulf Kristersson dan Menteri Luar Negeri Tobias Billstrom mengecam aksi demonstran menggantung patung Erdogan secara terbalik baru-baru ini.
Ankara, pada gilirannya, memperingatkan bahwa hubungan dengan Swedia mungkin menjadi jauh lebih tegang, menekankan bahwa Swedia tidak dapat menerima begitu saja dukungan Turki untuk tawaran NATO-nya, selama terus "mengabaikan provokasi teroris".
Pada Mei 2022, tiga bulan setelah Rusia menginvasi Ukraina, Finlandia dan Swedia mengajukan diri menjadi anggota NATO.
Karena Turki tetap menjadi satu-satunya negara NATO yang menyuarakan oposisi dan telah membuat banyak tuntutan pada calon anggota baru, Stockholm bersusah payah untuk memuaskan Ankara, bahkan dengan mengorbankan kritik dari oposisi dan kelompok hak asasi manusia (HAM).
Stockholm, antara lain, telah mencabut larangan ekspor senjata ke Ankara dan meninggalkan kerja sama dengan organisasi Kurdi yang sebelumnya disambut baik.
Dalam pemilihan umum Swedia 2022, Partai Demokrat Swedia, yang sebelumnya dijauhi oleh kemapanan karena pandangan nasionalis mereka, menunjukkan hasil terbaik mereka dengan 20,5 persen suara, namun tidak mendapat jabatan menteri mana pun.
Partai tersebut tetap berada di luar pemerintahan, namun tetap memiliki pengaruh langsung atas koalisi minoritas yang terdiri dari Moderat liberal-konservatif, Demokrat Kristen, dan Liberal.
Lihat Juga: Pertama Kali di Dunia! Drone Bayraktar TB3 Mampu Mampu Lepas Landas dari Kapal Perang Kecil
Komentar keras itu menambah rentetan ketegangan kedua negara ketika Ankara mengganjal langkah Stockholm untuk menjadi anggota NATO.
Sebelumnya, para demonstran di Swedia menghina Erdogan dengan menggantung patung berwajah pemimpin Turki itu dengan posisi badan terbalik. Demonstran membandingkan Erdogan dengan diktator fasis Italia, Benito Mussolini.
Aksi itu telah membuat pemerintah Erdogan marah, namun pemerintah Swedia menolak seruan Ankara untuk membuka penyelidikan atas insiden penggantungan patung tersebut.
"Anda tidak bisa melangkah terlalu jauh. Karena pada akhirnya ini adalah sistem anti-demokrasi yang sedang kita hadapi," kata Akesson terkait sikap Turki yang mempersulit aksesi Swedia ke NATO.
Akesson juga berpendapat bahwa penting bagi Swedia untuk tidak terlalu tunduk pada tuntutan Turki dan menentang gagasan bahwa Presiden Recep Tayyip Erdogan adalah pemimpin yang dipilih secara populer. "[Dia] diktator Islam, kurang lebih," katanya.
"Saya adalah pemimpin Partai Demokrat Swedia yang anti-Islam dan memiliki pandangan kuat terhadap seorang diktator Islam seperti Erdogan," ujarnya, seperti dikutip Sputnik, Kamis (19/1/2023).
Klaim Akesson muncul setelah skandal baru-baru ini dalam hubungan Swedia-Turki dan aksesi negara Nordik itu ke NATO bergantung pada persetujuan Ankara.
Perdana Menteri Swedia yang juga pemimpin Partai Moderat Ulf Kristersson dan Menteri Luar Negeri Tobias Billstrom mengecam aksi demonstran menggantung patung Erdogan secara terbalik baru-baru ini.
Ankara, pada gilirannya, memperingatkan bahwa hubungan dengan Swedia mungkin menjadi jauh lebih tegang, menekankan bahwa Swedia tidak dapat menerima begitu saja dukungan Turki untuk tawaran NATO-nya, selama terus "mengabaikan provokasi teroris".
Pada Mei 2022, tiga bulan setelah Rusia menginvasi Ukraina, Finlandia dan Swedia mengajukan diri menjadi anggota NATO.
Karena Turki tetap menjadi satu-satunya negara NATO yang menyuarakan oposisi dan telah membuat banyak tuntutan pada calon anggota baru, Stockholm bersusah payah untuk memuaskan Ankara, bahkan dengan mengorbankan kritik dari oposisi dan kelompok hak asasi manusia (HAM).
Stockholm, antara lain, telah mencabut larangan ekspor senjata ke Ankara dan meninggalkan kerja sama dengan organisasi Kurdi yang sebelumnya disambut baik.
Dalam pemilihan umum Swedia 2022, Partai Demokrat Swedia, yang sebelumnya dijauhi oleh kemapanan karena pandangan nasionalis mereka, menunjukkan hasil terbaik mereka dengan 20,5 persen suara, namun tidak mendapat jabatan menteri mana pun.
Partai tersebut tetap berada di luar pemerintahan, namun tetap memiliki pengaruh langsung atas koalisi minoritas yang terdiri dari Moderat liberal-konservatif, Demokrat Kristen, dan Liberal.
Lihat Juga: Pertama Kali di Dunia! Drone Bayraktar TB3 Mampu Mampu Lepas Landas dari Kapal Perang Kecil
(min)