Popularitas Partainya Erdogan Merosot karena Covid-19 dan Tekanan Ekonomi
Rabu, 08 Juli 2020 - 10:23 WIB
ANKARA - Hasil survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen menyebutkan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah kehilangan banyak dukungan selama beberapa bulan terakhir.
Grup riset independen MetroPoll Arastirma melakukan survei setiap bulan dengan melakukan jajak pendapat; “Jika ada pemilihan parlemen minggu ini, partai politik mana yang akan Anda pilih?”, dan pemilih menjawab akan memilih presiden baru serta 600 anggota parlemen untuk masa jabatan lima tahun.
Menurut laporan Al Arabiya, Selasa (7/7/2020), pemilihan umum (pemilu) di Turki dijadwalkan digelar pada 2023 mendatang. Menurut jajak pendapat Juni lalu, AKP masih memimpin polling dengan selisih hampir enam poin di atas partai oposisi utama; Partai Rakyat Republik (CHP). Namun, AKP telah kehilangan dukungan selama beberapa bulan terakhir.
CHP adalah partai sosial-demokratis dan merupakan partai politik tertua di Turki. Partai ini juga dianggap sebagai oposisi utama di Lembaga Majelis Nasional.
Dari Januari hingga Maret, partainya Erdogan tetap stabil, dengan 33,7 persen responden mengatakan mereka akan memilih AKP. Namun, pada Juni dukungan telah turun menjadi 30,3 persen. Dalam jajak pendapat Mei, 30,7 persen responden mengatakan mereka akan memilih AKP jika ada pemilihan dilakukan waktu itu.
MetroPoll Arastirma tidak menyebutkan berapa banyak responden yang mereka gunakan dalam surveinya. Hasil survei tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi Turki yang telah memburuk selama dua tahun terakhir, dan dinilai menuju ke dalam resesi pada Maret 2019, dengan inflasi yang terus berlanjut.
Pada pertengahan 2019, pengangguran tercatat sekitar 15 persen, dan penurunan ekonomi mengikis popularitas partai berkuasa. AKP memenangkan pemilihan wali kota lokal bulan Maret 2019 secara nasional, tetapi kehilangan tiga kota terbesar di Turki, yakni Istanbul, Ankara, dan Izmir. (Baca: Bela Palestina tapi Mesra dengan Israel, Erdogan Dicap Munafik )
Pada bulan April, sebuah jajak pendapat Reuters memperkirakan ekonomi Turki akan berkontraksi tahun ini untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade ketika pandemi virus corona baru (Covid-19) memangkas produksi hingga pertengahan tahun.
Sebelum wabah Covid-19 muncul, pemerintah memperkirakan ekonomi tumbuh 5 persen tahun ini setelah pulih dari resesi tahun lalu. Turki saat ini memiliki jumlah kasus infeksi Covid-19 tertinggi ke-14 di dunia.
”Keuangan Ankara melemah sebelum pandemi — tetapi kombinasi utang luar negeri, krisis kesehatan masyarakat, dan seorang presiden yang memilih untuk melindungi reputasinya daripada kemampuan rakyatnya mengantisipasi bencana,” demikian bunyi artikel Foreign Policy yang dilansir Al Arabiya.
Turki baru-baru ini juga aktif melibatkan diri dalam perang yang sedang berlangsung di Libya ketika Ankara tengah berupaya untuk mengamankan pasokan gas alam di Mediterania Timur. Militer Turki dikerahkan untuk mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang didukung internasional melawan pasukan Khalifa Haftar yang didukung berbagai negara Teluk dan juga Rusia.
Didukung oleh tentara bayaran Suriah yang dikirim ke Libya oleh Turki, GNA telah mengambil alih sejumlah wilayah dalam beberapa bulan terakhir yang dikuasai Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
Benghazi tetap menjadi basis LNA, yang didukung oleh parlemen Libya yang berbasis di Tobruk dan negara-negara asing termasuk Mesir, Rusia, Prancis, dan Uni Emirat Arab.
Dalam jajak pendapat terpisah yang dilakukan oleh kelompok penelitian, 42 persen responden memandang negatif terkait peran aktif Turki dalam konflik Libya.
Menindas Oposisi
Tindakan Erdogan terhadap pengkritiknya juga meningkat pada bulan Juni ketika media pemerintah mengumumkan telah keluar surat perintah penangkapan untuk lebih dari 400 orang, termasuk tentara, dokter, dan guru.
Erdogan menuduh pengkritiknya berafiliasi dengan gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Fethullah Gulen, seorang pengkhotbah Muslim Turki yang tinggal di Amerika Serikat yang juga dipersalahkan atas upaya kudeta 2016.
“Undang-undang anti-terorisme di Turki tidak jelas dan banyak disalahgunakan dalam kasus-kasus palsu terhadap jurnalis,” kata Amnesty International.
Lebih dari 319 wartawan telah ditangkap di Turki sejak 2016, dengan 189 outlet media ditutup. Data ini bersumber dari Turkey Purge, sebuah situs web yang dijalankan oleh wartawan Turki yang mendokumentasikan penangkapan di negara itu.
Grup riset independen MetroPoll Arastirma melakukan survei setiap bulan dengan melakukan jajak pendapat; “Jika ada pemilihan parlemen minggu ini, partai politik mana yang akan Anda pilih?”, dan pemilih menjawab akan memilih presiden baru serta 600 anggota parlemen untuk masa jabatan lima tahun.
Menurut laporan Al Arabiya, Selasa (7/7/2020), pemilihan umum (pemilu) di Turki dijadwalkan digelar pada 2023 mendatang. Menurut jajak pendapat Juni lalu, AKP masih memimpin polling dengan selisih hampir enam poin di atas partai oposisi utama; Partai Rakyat Republik (CHP). Namun, AKP telah kehilangan dukungan selama beberapa bulan terakhir.
CHP adalah partai sosial-demokratis dan merupakan partai politik tertua di Turki. Partai ini juga dianggap sebagai oposisi utama di Lembaga Majelis Nasional.
Dari Januari hingga Maret, partainya Erdogan tetap stabil, dengan 33,7 persen responden mengatakan mereka akan memilih AKP. Namun, pada Juni dukungan telah turun menjadi 30,3 persen. Dalam jajak pendapat Mei, 30,7 persen responden mengatakan mereka akan memilih AKP jika ada pemilihan dilakukan waktu itu.
MetroPoll Arastirma tidak menyebutkan berapa banyak responden yang mereka gunakan dalam surveinya. Hasil survei tersebut kemungkinan juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi Turki yang telah memburuk selama dua tahun terakhir, dan dinilai menuju ke dalam resesi pada Maret 2019, dengan inflasi yang terus berlanjut.
Pada pertengahan 2019, pengangguran tercatat sekitar 15 persen, dan penurunan ekonomi mengikis popularitas partai berkuasa. AKP memenangkan pemilihan wali kota lokal bulan Maret 2019 secara nasional, tetapi kehilangan tiga kota terbesar di Turki, yakni Istanbul, Ankara, dan Izmir. (Baca: Bela Palestina tapi Mesra dengan Israel, Erdogan Dicap Munafik )
Pada bulan April, sebuah jajak pendapat Reuters memperkirakan ekonomi Turki akan berkontraksi tahun ini untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade ketika pandemi virus corona baru (Covid-19) memangkas produksi hingga pertengahan tahun.
Sebelum wabah Covid-19 muncul, pemerintah memperkirakan ekonomi tumbuh 5 persen tahun ini setelah pulih dari resesi tahun lalu. Turki saat ini memiliki jumlah kasus infeksi Covid-19 tertinggi ke-14 di dunia.
”Keuangan Ankara melemah sebelum pandemi — tetapi kombinasi utang luar negeri, krisis kesehatan masyarakat, dan seorang presiden yang memilih untuk melindungi reputasinya daripada kemampuan rakyatnya mengantisipasi bencana,” demikian bunyi artikel Foreign Policy yang dilansir Al Arabiya.
Turki baru-baru ini juga aktif melibatkan diri dalam perang yang sedang berlangsung di Libya ketika Ankara tengah berupaya untuk mengamankan pasokan gas alam di Mediterania Timur. Militer Turki dikerahkan untuk mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang didukung internasional melawan pasukan Khalifa Haftar yang didukung berbagai negara Teluk dan juga Rusia.
Didukung oleh tentara bayaran Suriah yang dikirim ke Libya oleh Turki, GNA telah mengambil alih sejumlah wilayah dalam beberapa bulan terakhir yang dikuasai Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar.
Benghazi tetap menjadi basis LNA, yang didukung oleh parlemen Libya yang berbasis di Tobruk dan negara-negara asing termasuk Mesir, Rusia, Prancis, dan Uni Emirat Arab.
Dalam jajak pendapat terpisah yang dilakukan oleh kelompok penelitian, 42 persen responden memandang negatif terkait peran aktif Turki dalam konflik Libya.
Menindas Oposisi
Tindakan Erdogan terhadap pengkritiknya juga meningkat pada bulan Juni ketika media pemerintah mengumumkan telah keluar surat perintah penangkapan untuk lebih dari 400 orang, termasuk tentara, dokter, dan guru.
Erdogan menuduh pengkritiknya berafiliasi dengan gerakan keagamaan yang dipimpin oleh Fethullah Gulen, seorang pengkhotbah Muslim Turki yang tinggal di Amerika Serikat yang juga dipersalahkan atas upaya kudeta 2016.
“Undang-undang anti-terorisme di Turki tidak jelas dan banyak disalahgunakan dalam kasus-kasus palsu terhadap jurnalis,” kata Amnesty International.
Lebih dari 319 wartawan telah ditangkap di Turki sejak 2016, dengan 189 outlet media ditutup. Data ini bersumber dari Turkey Purge, sebuah situs web yang dijalankan oleh wartawan Turki yang mendokumentasikan penangkapan di negara itu.
(min)
tulis komentar anda