Putin-Xi Jinping Berpotensi Ambil Alih Kepemimpinan Dunia
Selasa, 07 Juli 2020 - 07:07 WIB
Tak kelewatan, Trump juga tetap memainkan sentimen anti-China pada kampanye dan kebijakan menjelang pemilu presiden mendatang. Mulai dari menyalahkan virus corona dari China, perang dagang, hingga larangan penerbangan dari China. Sinofobia menjadi isu atraktif bagi Trump untuk menggaet dukungan publik AS.
"Sentimen negatif itu merupakan akibat kerusakan parah di AS sehingga perlunya strategi bertahan menjadikan hal buruk sebagai hal baik," kata Jude Blanchette, pakar China di Center for Strategic and International Studies.
Gerakan yang dibangun Trump ternyata cukup efektif. Jajak pendapat pada April lalu oleh Pew Research menyebutkan dua pertiga rakyat AS memiliki pandangan negatif terhadap China. "Trump memang tidak ingin dirinya disalahkan karena kegagalan di level domestik dan internasional," ujar pakar kawasan Asia-Pasifik di Council on Foreign Relations. (Baca juga: Putin: Amandemen Konstitusi Membuat Rusia Hindari Kesalahan Soviet)
Padahal, apa pun yang dilakukan Trump memang berdampak penting ke seluruh dunia. Rusaknya hubungan AS dengan China dan Rusia juga berdampak dengan terguncangnya geopolitik dan ekonomi global.
Namun, Jinping telah berhasil menerapkan undang-undang keamanan baru di Hong Kong yang dikecam dunia internasional. Dia justru meminta AS dan aliansinya tidak mencampuri urusan dalam negeri China. Di luar negeri, Jinping telah membagikan utang ke negara-negara berkembang dan miskin dengan menghidupkan kembali Jalur Sutra. Investasi China juga menyebar ke seluruh dunia.
Ketegangan yang dibangun Trump dengan Putin dan Jinping kerap disebut dengan "perang dingin" antara kekuatan ekonomi besar. Konflik tersebut merupakan puncak dalam ketegangan selama tiga dekade terakhir yang klimaksnya dibangkitkan oleh Trump. "Tidak jelas bagaimana konflik tersebut akan berakhir," kata mantan asisten menteri luar negeri untuk Asia Timur dan Pasifik, Kurt Campbell. "Kita berperang saat Roma sudah terbakar."
Kekhawatirannya adalah ketika Trump kalah pada pemilu presiden mendatang. Itu akan menjadi kemenangan besar bagi Putin dan Jinping. Mereka berdua justru akan kembali menguatkan cengkeraman posisinya di geopolitik dan ekonomi global. Kekalahan Trump menjadi hasil akhir yang menyenangkan bagi mereka karena kandidat dari Partai Demokrat dikenal memiliki haluan kebijakan yang lunak terhadap China dan Rusia.
Di pihak lain, Joe Biden, kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, juga tidak memiliki rekam jejak di dunia internasional yang cukup mentereng. Meskipun, dia sudah dua kali menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Barack Obama dan berpengalaman sebagai anggota senat yang mengurusi kebijakan luar negeri. Figur Biden disebut terlalu lemah dibandingkan Putin dan Jinping yang sudah memiliki akar dan pengaruh yang kuat. (Lihat videonya: Mempelai pria Berikan Mahar Sandal Jepit dan Segelas Air Saat Ijab Kabul)
Meski demikian, Deputi Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Matthews membantahnya. “Presiden Trump merupakan negosiator kelas dunia yang konsisten memperjuangkan kepentingan AS di panggung dunia,” kata Mattews, dilansir CNN.
Hanya, banyak mantan para pejabat AS memiliki pandangan berbeda. Mereka berpikir Trump sebagai pemimpin yang dipenuhi delusi karena memiliki kemampuan membengkokkan pemimpin lain dalam agendanya. Trump dikenal presiden yang kerap mengganggu pemimpin asing lain agar menguntungkan dirinya. (Andika H Mustaqim)
"Sentimen negatif itu merupakan akibat kerusakan parah di AS sehingga perlunya strategi bertahan menjadikan hal buruk sebagai hal baik," kata Jude Blanchette, pakar China di Center for Strategic and International Studies.
Gerakan yang dibangun Trump ternyata cukup efektif. Jajak pendapat pada April lalu oleh Pew Research menyebutkan dua pertiga rakyat AS memiliki pandangan negatif terhadap China. "Trump memang tidak ingin dirinya disalahkan karena kegagalan di level domestik dan internasional," ujar pakar kawasan Asia-Pasifik di Council on Foreign Relations. (Baca juga: Putin: Amandemen Konstitusi Membuat Rusia Hindari Kesalahan Soviet)
Padahal, apa pun yang dilakukan Trump memang berdampak penting ke seluruh dunia. Rusaknya hubungan AS dengan China dan Rusia juga berdampak dengan terguncangnya geopolitik dan ekonomi global.
Namun, Jinping telah berhasil menerapkan undang-undang keamanan baru di Hong Kong yang dikecam dunia internasional. Dia justru meminta AS dan aliansinya tidak mencampuri urusan dalam negeri China. Di luar negeri, Jinping telah membagikan utang ke negara-negara berkembang dan miskin dengan menghidupkan kembali Jalur Sutra. Investasi China juga menyebar ke seluruh dunia.
Ketegangan yang dibangun Trump dengan Putin dan Jinping kerap disebut dengan "perang dingin" antara kekuatan ekonomi besar. Konflik tersebut merupakan puncak dalam ketegangan selama tiga dekade terakhir yang klimaksnya dibangkitkan oleh Trump. "Tidak jelas bagaimana konflik tersebut akan berakhir," kata mantan asisten menteri luar negeri untuk Asia Timur dan Pasifik, Kurt Campbell. "Kita berperang saat Roma sudah terbakar."
Kekhawatirannya adalah ketika Trump kalah pada pemilu presiden mendatang. Itu akan menjadi kemenangan besar bagi Putin dan Jinping. Mereka berdua justru akan kembali menguatkan cengkeraman posisinya di geopolitik dan ekonomi global. Kekalahan Trump menjadi hasil akhir yang menyenangkan bagi mereka karena kandidat dari Partai Demokrat dikenal memiliki haluan kebijakan yang lunak terhadap China dan Rusia.
Di pihak lain, Joe Biden, kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, juga tidak memiliki rekam jejak di dunia internasional yang cukup mentereng. Meskipun, dia sudah dua kali menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Barack Obama dan berpengalaman sebagai anggota senat yang mengurusi kebijakan luar negeri. Figur Biden disebut terlalu lemah dibandingkan Putin dan Jinping yang sudah memiliki akar dan pengaruh yang kuat. (Lihat videonya: Mempelai pria Berikan Mahar Sandal Jepit dan Segelas Air Saat Ijab Kabul)
Meski demikian, Deputi Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Matthews membantahnya. “Presiden Trump merupakan negosiator kelas dunia yang konsisten memperjuangkan kepentingan AS di panggung dunia,” kata Mattews, dilansir CNN.
Hanya, banyak mantan para pejabat AS memiliki pandangan berbeda. Mereka berpikir Trump sebagai pemimpin yang dipenuhi delusi karena memiliki kemampuan membengkokkan pemimpin lain dalam agendanya. Trump dikenal presiden yang kerap mengganggu pemimpin asing lain agar menguntungkan dirinya. (Andika H Mustaqim)
tulis komentar anda