Putin-Xi Jinping Berpotensi Ambil Alih Kepemimpinan Dunia

Selasa, 07 Juli 2020 - 07:07 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) menggelar pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping diMoskow beberapa waktu lalu. Foto/Reuters
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) bakal kehilangan kendali kepemimpinan dan pengaruhnya atas dunia. Kemungkinan ini ternyata bisa terjadi jika Presiden Donald Trump tumbang pada pemilu Presiden AS November nanti. Dalam kondisi tersebut, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping akan mengambil kepemimpinan dunia yang berpotensi mengubah tatanan dunia.

Prediksi tersebut disampaikan sejumlah pengamat, di antaranya pengamat politik dari AS, David Ignatius, dilansir The Washington Post. Menurut dia, Putin dan Jinping bisa mengambil keuntungan dengan berbagai ketidakpastian dan hal yang tidak bisa diprediksi dalam perpolitikan AS.

Fondasi merebut tatanan dunia juga telah dimulai oleh Putin dan Jinping, dari kerja sama militer, pemberian utang kepada negara miskin, hingga upaya membangun kerja sama ekonomi yang solid. Meskipun mereka tidak bahu membahu, tetapi gerakan yang mereka lakukan sudah mengarah pada upaya untuk merongrong kekuatan AS sebagai pemimpin dunia.



Di sisi lain, baik Putin dan Jinping telah memperkuat kekuasaannya di dalam negeri. Stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri merupakan prasyarat utama bagi pemimpin yang ingin memiliki posisi yang kokoh di ranah internasional. Hal itu sangat berkebalikan dengan Trump yang memiliki kebijakan dan citra yang hancur di dalam negeri. (Baca: Wabah Covid-19 AS Kian Parah: Sehari 39.379 Orang Terinfeksi)

Seperti diketahui, Putin sudah memenangkan referendum konstitusi yang mengizinkannya menjadi presiden seumur hidup. Namun, rakyat Rusia justru senang dengan kepemimpinan Putin yang tegas dan mampu mengangkat Moskow ke kancah politik internasional.

Putin dikenal sebagai pemimpinan yang selalu mengutamakan persatuan nasional dan mencari posisi di forum global. Apalagi, salah satu misi utamanya adalah memperbaiki kedudukan Rusia di ranah global, termasuk dengan aneksasi Crimea dan intervensi di Suriah. Putin juga rajin membangun kekuatan diplomasi dengan negara-negara di Asia-Pasifik hingga Afrika serta Amerika Latin. Itu sebagai alternatif terbaik karena Rusia dijauhi oleh negara-negara Eropa.

Baik China maupun Rusia berstatus sebagai rival utama AS. Mereka tetap konsisten dengan perlawanan. Dengan memiliki musuh yang sama, Putin dan Jinping pun bahu membahu untuk melakukan segala cara agar bisa mengalahkan AS, dalam bidang geopolitik dan ekonomi global. Melihat AS menderita merupakan hasrat mereka. Saat ini AS memang berada di titik terendah dalam bidang ekonomi dengan tingginya pengangguran dan penyebaran virus corona yang sangat masif.

Khusus Putin, dia selalu ingin membalas dendam kepada AS. Menurut David, Putin perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa mewujudkan “dendamnya” kepada AS. “Putin yakin AS menghancurkan Uni Soviet. Dia sangat suka jika AS menderita,” kata David. (Baca juga: Dua Kapal Induknya Diancam Rudal Pembunuh China, Ini Respons AS)

Tak ingin terlihat kalah dari Putin, sentimen anti-Rusia juga dimainkan Trump beberapa waktu lalu. Gedung Putih menuding Rusia membayar gerilyawan Taliban untuk membunuh tentara AS di Afganistan. Kedutaan Besar Rusia di AS dan Taliban pun membantah tudingan tersebut.

Tak kelewatan, Trump juga tetap memainkan sentimen anti-China pada kampanye dan kebijakan menjelang pemilu presiden mendatang. Mulai dari menyalahkan virus corona dari China, perang dagang, hingga larangan penerbangan dari China. Sinofobia menjadi isu atraktif bagi Trump untuk menggaet dukungan publik AS.

"Sentimen negatif itu merupakan akibat kerusakan parah di AS sehingga perlunya strategi bertahan menjadikan hal buruk sebagai hal baik," kata Jude Blanchette, pakar China di Center for Strategic and International Studies.

Gerakan yang dibangun Trump ternyata cukup efektif. Jajak pendapat pada April lalu oleh Pew Research menyebutkan dua pertiga rakyat AS memiliki pandangan negatif terhadap China. "Trump memang tidak ingin dirinya disalahkan karena kegagalan di level domestik dan internasional," ujar pakar kawasan Asia-Pasifik di Council on Foreign Relations. (Baca juga: Putin: Amandemen Konstitusi Membuat Rusia Hindari Kesalahan Soviet)

Padahal, apa pun yang dilakukan Trump memang berdampak penting ke seluruh dunia. Rusaknya hubungan AS dengan China dan Rusia juga berdampak dengan terguncangnya geopolitik dan ekonomi global.

Namun, Jinping telah berhasil menerapkan undang-undang keamanan baru di Hong Kong yang dikecam dunia internasional. Dia justru meminta AS dan aliansinya tidak mencampuri urusan dalam negeri China. Di luar negeri, Jinping telah membagikan utang ke negara-negara berkembang dan miskin dengan menghidupkan kembali Jalur Sutra. Investasi China juga menyebar ke seluruh dunia.

Ketegangan yang dibangun Trump dengan Putin dan Jinping kerap disebut dengan "perang dingin" antara kekuatan ekonomi besar. Konflik tersebut merupakan puncak dalam ketegangan selama tiga dekade terakhir yang klimaksnya dibangkitkan oleh Trump. "Tidak jelas bagaimana konflik tersebut akan berakhir," kata mantan asisten menteri luar negeri untuk Asia Timur dan Pasifik, Kurt Campbell. "Kita berperang saat Roma sudah terbakar."

Kekhawatirannya adalah ketika Trump kalah pada pemilu presiden mendatang. Itu akan menjadi kemenangan besar bagi Putin dan Jinping. Mereka berdua justru akan kembali menguatkan cengkeraman posisinya di geopolitik dan ekonomi global. Kekalahan Trump menjadi hasil akhir yang menyenangkan bagi mereka karena kandidat dari Partai Demokrat dikenal memiliki haluan kebijakan yang lunak terhadap China dan Rusia.

Di pihak lain, Joe Biden, kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, juga tidak memiliki rekam jejak di dunia internasional yang cukup mentereng. Meskipun, dia sudah dua kali menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Barack Obama dan berpengalaman sebagai anggota senat yang mengurusi kebijakan luar negeri. Figur Biden disebut terlalu lemah dibandingkan Putin dan Jinping yang sudah memiliki akar dan pengaruh yang kuat. (Lihat videonya: Mempelai pria Berikan Mahar Sandal Jepit dan Segelas Air Saat Ijab Kabul)

Meski demikian, Deputi Sekretaris Pers Gedung Putih Sarah Matthews membantahnya. “Presiden Trump merupakan negosiator kelas dunia yang konsisten memperjuangkan kepentingan AS di panggung dunia,” kata Mattews, dilansir CNN.

Hanya, banyak mantan para pejabat AS memiliki pandangan berbeda. Mereka berpikir Trump sebagai pemimpin yang dipenuhi delusi karena memiliki kemampuan membengkokkan pemimpin lain dalam agendanya. Trump dikenal presiden yang kerap mengganggu pemimpin asing lain agar menguntungkan dirinya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More