Pakar PBB: Pendekatan 'Ala' Ukraina Diperlukan untuk Militer Myanmar

Kamis, 27 Oktober 2022 - 15:47 WIB
Pemimpin Junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing. Foto/Al Jazeera
NEW YORK - Seorang pakar independen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan jenis senjata Rusia yang digunakan di Ukraina juga membunuh orang-orang di Myanmar. Ia pun mendesak negara-negara di PBB untuk membentuk koalisi — seperti yang telah mereka lakukan setelah invasi Moskow ke Ukraina — untuk menekan penguasa militer Myanmar.

Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, Tom Andrews, mengatakan bahwa koalisi negara harus menargetkan militer Myanmar dengan sanksi dan embargo senjata.

“Beberapa jenis senjata yang digunakan untuk membunuh orang di Ukraina digunakan untuk membunuh orang Myanmar. Dan mereka berasal dari sumber yang sama — mereka berasal dari Rusia,” kata Andrews kepada wartawan di New York.

“Masyarakat internasional harus mengoordinasikan upaya mereka untuk menargetkan mereka, dan kemudian bekerja sama untuk menerapkan langkah-langkah ini,” sambung Andrews.



“Itu tidak dilakukan sekarang. Bukan karena kita tidak tahu bagaimana melakukannya. Kami tahu bagaimana melakukannya. Jika Anda menginginkan buku pedoman, lihat Ukraina,” cetusnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (27/10/2022).

Rusia adalah salah satu pemasok persenjataan terbesar ke Myanmar dan termasuk di antara sedikit pembela pemerintah militer negara itu sejak melancarkan kudeta pada 2021.

Lebih dari 2.300 orang telah tewas di Myanmar sejak tindakan keras militer terhadap oposisi setelah kudeta dan pada minggu ini kemarahan menyeruak setelah banyak warga sipil dilaporkan tewas dalam serangan udara militer di sebuah pertemuan di Negara Bagian Kachin utara pada hari Minggu.



“Pola respons masyarakat internasional terhadap kengerian ini tidak berubah,” ujar Andrews tentang situasi di dalam negeri.

“Dunia mengecewakan rakyat Myanmar, bagi saya tidak ada pertanyaan apa pun,” ia menambahkan. “Ada kekosongan kepemimpinan, di sini di PBB dan komunitas internasional,” ucapnya.

Andrews juga mengecam Malaysia karena mendeportasi puluhan warga negara Myanmar. Menurutnya, mereka akan menghadapi penyiksaan dan kemungkinan besar eksekusi.

Pihak berwenang Malaysia belum menanggapi permintaan komentar tentang deportasi yang dilaporkan.

“Ini keterlaluan. Itu tidak dapat diterima, dan itu merupakan pelanggaran berat terhadap hukum internasional,” katanya.

Setelah Andrews memberi pengarahan kepada Komite Hak Asasi Manusia Majelis Umum PBB sebelumnya pada hari Rabu, Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB Gennady Kuzmin mempertanyakan laporan pelapor, dengan mengatakan itu “sering tidak didukung oleh fakta”.

“Bukan terserah Anda untuk mengatakan senjata siapa yang membunuh warga sipil, orang tua, wanita, anak-anak di seluruh dunia. Anda telah ditunjuk sebagai Pelapor Khusus untuk Myanmar, jadi berurusanlah dengan Myanmar daripada Ukraina,” kata Kuzmin kepada panitia.



Myanmar telah berada dalam krisis sejak tentara mencopot pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, menahannya dan pejabat lainnya serta melancarkan tindakan keras berdarah terhadap protes dan jenis perbedaan pendapat lainnya.

Dewan Keamanan PBB telah lama terpecah di Myanmar, dengan para diplomat mengatakan China dan Rusia kemungkinan akan melindungi para pemimpin militer Myanmar dari tindakan keras seperti sanksi.

Awal bulan ini, Amerika Serikat (AS) memberikan sanksi kepada sekelompok pengusaha Myanmar dan perusahaan mereka, menuduh mereka memasok senjata buatan Rusia kepada pimpinan militer.

"Aung Moe Myint dan Hlaing Moe Myint, pemilik Dynasty International, dan Myo Thitsar, direktur perusahaan, dimasukkan dalam daftar hitam sanksi untuk pengadaan senjata dan pesawat di Belarus untuk administrasi militer," kata Departemen Keuangan AS.

Inggris bulan lalu mengusulkan rancangan resolusi ke Dewan Keamanan yang akan menuntut diakhirinya semua kekerasan di Myanmar, membawa ancaman sanksi, dan meminta militer untuk membebaskan semua tahanan politik.

Sebuah draft revisi diedarkan ke badan yang beranggotakan 15 negara itu minggu ini. Tidak jelas kapan akan ada pemungutan suara untuk resolusi tersebut.

(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More