UU Kontroversial Jepang: Donasi Sperma Terlarang untuk Lesbian dan Wanita Lajang
Sabtu, 22 Oktober 2022 - 05:08 WIB
Institusi yang menawarkan donasi sperma dan inseminasi umumnya mengikuti pedoman dari Japan Society of Obstetrics and Gynecology (JSOG)—yang menjadi dasar untuk UU baru yang membatasi proses untuk pasangan yang sudah menikah.
Pedoman JSOG tidak mengikat, tetapi sudah cukup berat sehingga hanya segelintir dokter yang menentangnya untuk mengakomodasi lesbian dan wanita lajang.
"Jika undang-undang itu diberlakukan, beberapa rumah sakit yang menerima kami tidak akan bisa lagi menerimanya," kata Nagamura.
"Ada perbedaan besar antara hanya melanggar pedoman dan melakukan sesuatu yang ilegal," imbuh Moda.
Pasangan itu juga khawatir UU baru itu bisa berarti anak mereka, yang dikandung melalui inseminasi buatan menggunakan donor sperma, dapat distigmatisasi.
"Meskipun cara kami hamil pada saat itu tidak ilegal, kesan bahwa kami melakukan sesuatu yang salah, bahwa anak ini entah bagaimana 'ilegal', bisa muncul jika hukum melihatnya," kata Moda.
Kozo Akino, anggota Parlemen koalisi yang terlibat dalam penyusunan UU, berpendapat bahwa hak-hak anak paling mudah dilindungi oleh orang tua yang menikah secara sah dengan hak asuh bersama.
"Teknologi reproduksi berbantuan tidak boleh dikejar dengan mengorbankan kesejahteraan anak-anak," katanya kepada AFP, Jumat (21/10/2022).
Beberapa dokter berpikir UU tersebut dapat membantu membuat pengobatan yang tidak diatur lebih diterima secara sosial, meskipun terbatas pada pasangan menikah heteroseksual.
"Harapan saya adalah bahwa dengan hukum, pengobatan kami akan terlihat lebih sah dan menjadi arus utama," kata Mamoru Tanaka, seorang profesor kebidanan di Rumah Sakit Universitas Keio Tokyo.
Lihat Juga: Kisah Nishimura Mako, Satu-satunya Wanita yang Gabung Yakuza dan Tak Pernah Kalah Bertarung
Pedoman JSOG tidak mengikat, tetapi sudah cukup berat sehingga hanya segelintir dokter yang menentangnya untuk mengakomodasi lesbian dan wanita lajang.
"Jika undang-undang itu diberlakukan, beberapa rumah sakit yang menerima kami tidak akan bisa lagi menerimanya," kata Nagamura.
"Ada perbedaan besar antara hanya melanggar pedoman dan melakukan sesuatu yang ilegal," imbuh Moda.
Pasangan itu juga khawatir UU baru itu bisa berarti anak mereka, yang dikandung melalui inseminasi buatan menggunakan donor sperma, dapat distigmatisasi.
"Meskipun cara kami hamil pada saat itu tidak ilegal, kesan bahwa kami melakukan sesuatu yang salah, bahwa anak ini entah bagaimana 'ilegal', bisa muncul jika hukum melihatnya," kata Moda.
Kozo Akino, anggota Parlemen koalisi yang terlibat dalam penyusunan UU, berpendapat bahwa hak-hak anak paling mudah dilindungi oleh orang tua yang menikah secara sah dengan hak asuh bersama.
"Teknologi reproduksi berbantuan tidak boleh dikejar dengan mengorbankan kesejahteraan anak-anak," katanya kepada AFP, Jumat (21/10/2022).
Beberapa dokter berpikir UU tersebut dapat membantu membuat pengobatan yang tidak diatur lebih diterima secara sosial, meskipun terbatas pada pasangan menikah heteroseksual.
"Harapan saya adalah bahwa dengan hukum, pengobatan kami akan terlihat lebih sah dan menjadi arus utama," kata Mamoru Tanaka, seorang profesor kebidanan di Rumah Sakit Universitas Keio Tokyo.
Lihat Juga: Kisah Nishimura Mako, Satu-satunya Wanita yang Gabung Yakuza dan Tak Pernah Kalah Bertarung
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
tulis komentar anda