Tragedi Mahsa Amini dan Sejarah Wajib Jilbab di Iran
Senin, 26 September 2022 - 13:04 WIB
Aturan wajib berjilbab di Iran ditegakkan oleh polisi moral—yang berkeliaran di jalan-jalan dengan mobil van untuk menahan orang-orang yang melanggar aturan tersebut. Mereka dikenal sebagai Gasht-e Ershad.
Terlepas dari ancaman penangkapan dan penahanan, banyak wanita Iran secara aktif menentang jilbab yang superketat. Sebagian mengenakannya dengan longgar di sekitar kepala mereka dan lainnya sering membiarkan jilbab jatuh ke bahu mereka.
Perlawanan terhadap aturan wajib berjilbab bagi setiap perempuan di Iran sebenarnya bukan sekali ini terjadi.
Setelah Pemimpin Tertinggi Iran kala itu, Ayatollah Khomeini, mengatakan bahwa wanita harus mematuhi aturan berpakaian Islami pada tahun 1979, terjadi protes yang berapi-api, membuat pemerintah mengatakan bahwa komentarnya hanyalah sebuah rekomendasi. Namun, aturan itu pada akhirnya menjadi undang-undang pada tahun 1983.
Protes terhadap undang-undang tentang jilbab tersebut terus berlanjut secara sporadis sejak itu, yang berpuncak pada para wanita yang membakar jilbab dan menari di jalan-jalan yang dilihat dunia beberapa hari terakhir.
Sebelum revolusi, ketika Iran diperintah oleh seorang raja sekuler Mohammad Reza Pahlavi, banyak wanita Iran yang aktif mengenakan jilbab. Mereka melakukannya karena berbagai alasan, baik itu karena tradisi, identitas, ekspresi keagamaan, atau tekanan keluarga.
Namun, menurut penyair dan jurnalis Iran; Asieh Amini, masalah utama saat ini adalah perempuan dipaksa berjilbab, menunjukkan bahwa mereka dapat dicambuk atau dipenjara karena melanggar aturan berpakaian Islami.
“Sayangnya, ini membuat banyak orang membencinya,” katanya kepada Euronews Culture, Senin (26/9/2022).
“Perempuan mengalami begitu banyak penindasan. Mereka tidak tahan dengan dominasi ini dan menginginkan hak mereka."
"Polisi mengatakan mereka ada di sana untuk memberi nasihat," imbuh Amini. "Tetapi, kenyataannya, setiap hari, di semua kota di Iran, mereka mengendalikan tubuh wanita, pakaian mereka, semuanya."
Terlepas dari ancaman penangkapan dan penahanan, banyak wanita Iran secara aktif menentang jilbab yang superketat. Sebagian mengenakannya dengan longgar di sekitar kepala mereka dan lainnya sering membiarkan jilbab jatuh ke bahu mereka.
Perlawanan terhadap aturan wajib berjilbab bagi setiap perempuan di Iran sebenarnya bukan sekali ini terjadi.
Setelah Pemimpin Tertinggi Iran kala itu, Ayatollah Khomeini, mengatakan bahwa wanita harus mematuhi aturan berpakaian Islami pada tahun 1979, terjadi protes yang berapi-api, membuat pemerintah mengatakan bahwa komentarnya hanyalah sebuah rekomendasi. Namun, aturan itu pada akhirnya menjadi undang-undang pada tahun 1983.
Protes terhadap undang-undang tentang jilbab tersebut terus berlanjut secara sporadis sejak itu, yang berpuncak pada para wanita yang membakar jilbab dan menari di jalan-jalan yang dilihat dunia beberapa hari terakhir.
Sebelum revolusi, ketika Iran diperintah oleh seorang raja sekuler Mohammad Reza Pahlavi, banyak wanita Iran yang aktif mengenakan jilbab. Mereka melakukannya karena berbagai alasan, baik itu karena tradisi, identitas, ekspresi keagamaan, atau tekanan keluarga.
Namun, menurut penyair dan jurnalis Iran; Asieh Amini, masalah utama saat ini adalah perempuan dipaksa berjilbab, menunjukkan bahwa mereka dapat dicambuk atau dipenjara karena melanggar aturan berpakaian Islami.
“Sayangnya, ini membuat banyak orang membencinya,” katanya kepada Euronews Culture, Senin (26/9/2022).
“Perempuan mengalami begitu banyak penindasan. Mereka tidak tahan dengan dominasi ini dan menginginkan hak mereka."
"Polisi mengatakan mereka ada di sana untuk memberi nasihat," imbuh Amini. "Tetapi, kenyataannya, setiap hari, di semua kota di Iran, mereka mengendalikan tubuh wanita, pakaian mereka, semuanya."
Lihat Juga :
tulis komentar anda