Aksi Koboi Duterte Berantas Narkoba Terinspirasi Operasi Petrus Soeharto?
Minggu, 21 Juni 2020 - 08:00 WIB
Rappler mulai popular tahun 2015, saat walikota Davao yang waktu itu dijabat oleh Duterte berkata kepada Ressa bahwa dia telah membunuh tiga orang. Ressa memang banyak meliput tentang perang narkoba yang dilancarkan oleh Duterte dan telah merenggut ribuan nyawa warga Filipina.
Hingga kini, Rappler termasuk satu dari segelintir media di Filipina yang bersikap sangat kritis terhadap kebijakan Presiden Duterte. Rappler lantas dilarang meliput kegiatan resmi Presiden dan izin operasionalnya terancam dicabut.
Tentu saja vonis bersalah bagi Ressa dan Santos mendapat perhatian dunia internasional. “Pemerintah AS merasa prihatin oleh putusan pengadilan terhadap jurnalis Maria Ressa dan Reynaldo Santos, dan meminta resolusi kasus ini dengan cara memperkuat komitmen AS dan Filipina terhadap kebebasan berekspresi termasuk bagi insan pers,” kata Morgan Ortus, juru bicara deplu AS, dalam pernyataan pada Selasa (17/6) lalu.
Duterte memang dikenal gemar bersikap keras terhadap lawan politik. Dia juga melakukan kampanye perang melawan narkoba, yang membuat ribuan orang tewas. Human Right Watch memperkirakan sejak Duterte diambil sumpahnya sebagai Presiden tahun 2016 sudah lebih dari 12.000 orang mati ditembak akibat dicurigai memperjualbelikan narkoba. Sebuah pekiraan lain bahkan menyampaikan angka yang lebih tinggi, 27.000 jiwa!.
Nyali Duterte tampaknya tak ciut sedikit pun dengan Dewan HAM PBB yang Juli tahun lalu menerbitkan Resolusi mengenai perlindungan HAM di Filipina. Resolusi itu lantas diikuti oleh ICC (Pengadilan Kriminal Internasional) yang sejak 2018 melakukan investigasi untuk merampungkan laporannya pada tahun ini.
Ia bahkan menantang ICC untuk memenjarakan atau menggantungnya.Ia pun bilang tak sudi bekerja sama dengan pihak asing jika diadili dalam kasus ini. “Anda tidak bisa menakuti saya dengan penjara di ICC. Saya tidak akan pernah menjawab orang-orang kulit putih ini,” kata Duterte seperti dilansir Channel News Asia pada 20 Desember 2019.
“Saya tidak akan pernah menjawab pertanyaan dari Anda. Bagi saya itu omong kosong. Saya hanya bertanggung jawab kepada bangsa Filipina. Orang Filipina yang akan menilai,” katanya seperti dilansir Inquirer.
Duterte secara sepihak membatalkan keanggotaan negaranya di ICC meski tanpa persetujuan parlemen Filipina. Dia beralasan ICC telah mengabaikan prinsip praduga tidak bersalah. Namun, lembaga advokasi Amnesty International menyebut tindakan Duterte sebagai pengecut dan keliru.
Jaksa ICC mengatakan yurisdiksi pengadilan ini berlaku terhadap negara yang berstatus anggota saat tindakan kriminal itu terjadi.
Kelompok HAM mengritik perang narkoba Duterte telah menjadi operasi eksekusi sistematis dan upaya menutup-nutupi kejahatan.Polisi menolak tudingan itu dan mengatakan sekitar 7 ribu orang yang tewas merupakan tersangka pengedar narkoba bersenjata yang menolak ditangkap.
Lihat Juga: Mantan Presiden Duterte Pilih Turun Takhta dengan Ikut Pemilu Wali Kota, Ada Apa Gerangan?
Hingga kini, Rappler termasuk satu dari segelintir media di Filipina yang bersikap sangat kritis terhadap kebijakan Presiden Duterte. Rappler lantas dilarang meliput kegiatan resmi Presiden dan izin operasionalnya terancam dicabut.
Tentu saja vonis bersalah bagi Ressa dan Santos mendapat perhatian dunia internasional. “Pemerintah AS merasa prihatin oleh putusan pengadilan terhadap jurnalis Maria Ressa dan Reynaldo Santos, dan meminta resolusi kasus ini dengan cara memperkuat komitmen AS dan Filipina terhadap kebebasan berekspresi termasuk bagi insan pers,” kata Morgan Ortus, juru bicara deplu AS, dalam pernyataan pada Selasa (17/6) lalu.
Duterte memang dikenal gemar bersikap keras terhadap lawan politik. Dia juga melakukan kampanye perang melawan narkoba, yang membuat ribuan orang tewas. Human Right Watch memperkirakan sejak Duterte diambil sumpahnya sebagai Presiden tahun 2016 sudah lebih dari 12.000 orang mati ditembak akibat dicurigai memperjualbelikan narkoba. Sebuah pekiraan lain bahkan menyampaikan angka yang lebih tinggi, 27.000 jiwa!.
Nyali Duterte tampaknya tak ciut sedikit pun dengan Dewan HAM PBB yang Juli tahun lalu menerbitkan Resolusi mengenai perlindungan HAM di Filipina. Resolusi itu lantas diikuti oleh ICC (Pengadilan Kriminal Internasional) yang sejak 2018 melakukan investigasi untuk merampungkan laporannya pada tahun ini.
Ia bahkan menantang ICC untuk memenjarakan atau menggantungnya.Ia pun bilang tak sudi bekerja sama dengan pihak asing jika diadili dalam kasus ini. “Anda tidak bisa menakuti saya dengan penjara di ICC. Saya tidak akan pernah menjawab orang-orang kulit putih ini,” kata Duterte seperti dilansir Channel News Asia pada 20 Desember 2019.
“Saya tidak akan pernah menjawab pertanyaan dari Anda. Bagi saya itu omong kosong. Saya hanya bertanggung jawab kepada bangsa Filipina. Orang Filipina yang akan menilai,” katanya seperti dilansir Inquirer.
Duterte secara sepihak membatalkan keanggotaan negaranya di ICC meski tanpa persetujuan parlemen Filipina. Dia beralasan ICC telah mengabaikan prinsip praduga tidak bersalah. Namun, lembaga advokasi Amnesty International menyebut tindakan Duterte sebagai pengecut dan keliru.
Jaksa ICC mengatakan yurisdiksi pengadilan ini berlaku terhadap negara yang berstatus anggota saat tindakan kriminal itu terjadi.
Kelompok HAM mengritik perang narkoba Duterte telah menjadi operasi eksekusi sistematis dan upaya menutup-nutupi kejahatan.Polisi menolak tudingan itu dan mengatakan sekitar 7 ribu orang yang tewas merupakan tersangka pengedar narkoba bersenjata yang menolak ditangkap.
Lihat Juga: Mantan Presiden Duterte Pilih Turun Takhta dengan Ikut Pemilu Wali Kota, Ada Apa Gerangan?
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
tulis komentar anda