Aksi Koboi Duterte Berantas Narkoba Terinspirasi Operasi Petrus Soeharto?
Minggu, 21 Juni 2020 - 08:00 WIB
JAKARTA - Aksi koboi Rodrigo Duterte dalam memerangi narkoba tak hanya menyikut demokrasi tapi juga mulai mengangkangi kebebasan pers. Dua jurnalis senior Filipina yang gencar mengkritisi aksi main tembak sang Presiden terhadap bandar maupun sekadar pemakai narkoba, Senin (15/6) lalu, merasakan sikap tangan besi itu. Maria Ressa dan Reynaldo Santos dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Manila Regional Trial Court (RTC) Branch 46.
Hakim Rainelda Estacio-Montesa memerintahkan keduanya membayar 200.000 peso Filipina (Rp 56 juta) untuk kerusakan moral dan 200.000 peso lainnya untuk peringatan. Ressa dan Santos yang dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik juga terancam menjalani hukuman minimal enam tahun dan maksimal tujuh tahun.
Ressa dan Santos tidak perlu masuk penjara setelah membayar uang jaminan seraya mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA).
Kedua jurnalis diajukan ke meja hijau atas laporan pengusaha Wilfredo Keng yang merasa nama baiknya dicemari. Dikutip dari Inquirer.net, kasus berawal dari sebuah artikel tahun 2012 yang ditulis oleh Santos yang mengklaim bahwa Keng meminjamkan kendaraan sport miliknya kepada Ketua MA Renato Corona.
Artikel yang sama juga mengutip laporan intelijen yang mengatakan bahwa Keng telah diawasi oleh Dewan Keamanan Nasional karena diduga terlibat dalam perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba.
Keng mengajukan pengaduan pencemaran nama baik dunia maya pada 2017 atau lima tahun setelah artikel itu pertama kali ditayangkan dan tiga tahun setelah itu ditayangkan kembali karena kesalahan ketik.
Meski berita itu tidak langsung mengkritisi Duterte, para pendukung kebebasan pers berpendapat, wartawan senior itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte, karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Apalagi Ressa telah berulang kaki ditangkap akibat kritik tajamnya ke Duterte. Menurut Rappler, ini kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler.
Kritik tajam yang kerap dilontarkan Ressa melalui situs Rappler memang membuat Duterte geram. Presiden berusia 74 tahun dan para pendukungnya lantas menuding berita negatif tentang kebijakannya sebagai hoax.
Eksistensi situs Rappler, berdiri tahun 2012, juga kena bidik Duterte. Situs yang didirikan oleh wanita kelahiran Filipina dan berpaspor Amerika Serikat (AS) itu dituduh menghindari kewajiban membayar pajak serta melanggar undang-undang yang melarang kepemilikan asing atas media lokal.
Ressa, 56 tahun, lulusan Princeton University, pernah bekerja sebagai kepala biro jaringan CNN untuk Filipina dan Indonesia –ia berdinas di Indonesia pada masa demo anti Orde Baru meruyak hingga Presiden Soeharto meletakkan jabatan-- serta menjabat kepala divisi pemberitaan di kanal televisi negerinya, ABS-CBN.
Hakim Rainelda Estacio-Montesa memerintahkan keduanya membayar 200.000 peso Filipina (Rp 56 juta) untuk kerusakan moral dan 200.000 peso lainnya untuk peringatan. Ressa dan Santos yang dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik juga terancam menjalani hukuman minimal enam tahun dan maksimal tujuh tahun.
Ressa dan Santos tidak perlu masuk penjara setelah membayar uang jaminan seraya mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA).
Kedua jurnalis diajukan ke meja hijau atas laporan pengusaha Wilfredo Keng yang merasa nama baiknya dicemari. Dikutip dari Inquirer.net, kasus berawal dari sebuah artikel tahun 2012 yang ditulis oleh Santos yang mengklaim bahwa Keng meminjamkan kendaraan sport miliknya kepada Ketua MA Renato Corona.
Artikel yang sama juga mengutip laporan intelijen yang mengatakan bahwa Keng telah diawasi oleh Dewan Keamanan Nasional karena diduga terlibat dalam perdagangan manusia dan penyelundupan narkoba.
Keng mengajukan pengaduan pencemaran nama baik dunia maya pada 2017 atau lima tahun setelah artikel itu pertama kali ditayangkan dan tiga tahun setelah itu ditayangkan kembali karena kesalahan ketik.
Meski berita itu tidak langsung mengkritisi Duterte, para pendukung kebebasan pers berpendapat, wartawan senior itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte, karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Apalagi Ressa telah berulang kaki ditangkap akibat kritik tajamnya ke Duterte. Menurut Rappler, ini kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler.
Kritik tajam yang kerap dilontarkan Ressa melalui situs Rappler memang membuat Duterte geram. Presiden berusia 74 tahun dan para pendukungnya lantas menuding berita negatif tentang kebijakannya sebagai hoax.
Eksistensi situs Rappler, berdiri tahun 2012, juga kena bidik Duterte. Situs yang didirikan oleh wanita kelahiran Filipina dan berpaspor Amerika Serikat (AS) itu dituduh menghindari kewajiban membayar pajak serta melanggar undang-undang yang melarang kepemilikan asing atas media lokal.
Ressa, 56 tahun, lulusan Princeton University, pernah bekerja sebagai kepala biro jaringan CNN untuk Filipina dan Indonesia –ia berdinas di Indonesia pada masa demo anti Orde Baru meruyak hingga Presiden Soeharto meletakkan jabatan-- serta menjabat kepala divisi pemberitaan di kanal televisi negerinya, ABS-CBN.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
tulis komentar anda