Konflik dengan Media, Duterte Kembangkan Sikap Antikritik
Kamis, 18 Juni 2020 - 06:46 WIB
Kasus ini bermula dari sebuah artikel delapan tahun lalu terkait dugaan hubungan seorang pengusaha, Wilfredo Keng, dengan mantan hakim di pengadilan tertinggi Filipina. Berita itu bersumber dari laporan intelijen lembaga yang tidak disebutkan. “Berita Rappler itu merupakan tuduhan yang jahat,” kata Keng dalam komplainnya.
Pada 2017, si pengusaha kemudian menuntut Ressa menggunakan undang-undang kontroversial "cyber-libel" yang mulai berlaku pada bulan September 2012, empat bulan setelah tulisan tersebut terbit.
Ressa merupakan jurnalis senior Filipina yang merupakan wartawan investigatif utama media AS, CNN, terkait dengan terorisme di Asia Tenggara. Dia memenangkan sejumlah penghargaan internasional karena liputannya dan dipilih menjadi Time Magazine Person of the Year 2018 karena usahanya mempertanyakan tanggung jawab kekuasaan di lingkungan yang semakin memusuhinya. (Baca juga: Duterte Larang Siswa ke Sekolah Sampai Ada Vaksin Covid-19)
Para pendukung kebebasan pers mengatakan wartawan veteran itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Penangkapan berulang-ulang terhadap Ressa telah menuai kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran tentang memburuknya kebebasan pers di negara itu.
Rappler menyatakan kasus tersebut merupakan kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler. Duterte sebelumnya membantah tuduhan bahwa penangkapan itu bermotivasi politik dan dia menyebut Rappler sebagai situs "berita palsu". “Ini menjadi hari paling gelap bukan hanya bagi media independen di Filipina, tetapi seluruh Filipina,” kata Serikat Nasional Jurnalis Filipina (NUJP). “Vonis itu bisa membunuh kebebasan berbicara dan pers.” (Lihat videonya: Seorang Pemotor di Solo Tewas Terjerat Benabg Layangan di Leher)
Lembaga pemantau media pun menyatakan vonis terhadap Ressa memang berusaha mengintimidasi kritikus atas Duterte . Banyak pemberitaan Rappler kerap mengkritik perang melawan narkoba yang digaungkan Duterte dan banyak kebijakan luar negeri yang dinilai tidak tepat. Duterte pun berulang kali menyalahkan Rappler dalam beberapa pidato di depan publik.
Bukan hanya kebebasan pers, sejak 1986 tidak kurang dari 176 wartawan terbunuh di Filipina. Catatan ini menjadikan negara itu salah satu negara yang paling berbahaya di dunia bagi wartawan. (Andika H Mustaqim)
Pada 2017, si pengusaha kemudian menuntut Ressa menggunakan undang-undang kontroversial "cyber-libel" yang mulai berlaku pada bulan September 2012, empat bulan setelah tulisan tersebut terbit.
Ressa merupakan jurnalis senior Filipina yang merupakan wartawan investigatif utama media AS, CNN, terkait dengan terorisme di Asia Tenggara. Dia memenangkan sejumlah penghargaan internasional karena liputannya dan dipilih menjadi Time Magazine Person of the Year 2018 karena usahanya mempertanyakan tanggung jawab kekuasaan di lingkungan yang semakin memusuhinya. (Baca juga: Duterte Larang Siswa ke Sekolah Sampai Ada Vaksin Covid-19)
Para pendukung kebebasan pers mengatakan wartawan veteran itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Penangkapan berulang-ulang terhadap Ressa telah menuai kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran tentang memburuknya kebebasan pers di negara itu.
Rappler menyatakan kasus tersebut merupakan kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler. Duterte sebelumnya membantah tuduhan bahwa penangkapan itu bermotivasi politik dan dia menyebut Rappler sebagai situs "berita palsu". “Ini menjadi hari paling gelap bukan hanya bagi media independen di Filipina, tetapi seluruh Filipina,” kata Serikat Nasional Jurnalis Filipina (NUJP). “Vonis itu bisa membunuh kebebasan berbicara dan pers.” (Lihat videonya: Seorang Pemotor di Solo Tewas Terjerat Benabg Layangan di Leher)
Lembaga pemantau media pun menyatakan vonis terhadap Ressa memang berusaha mengintimidasi kritikus atas Duterte . Banyak pemberitaan Rappler kerap mengkritik perang melawan narkoba yang digaungkan Duterte dan banyak kebijakan luar negeri yang dinilai tidak tepat. Duterte pun berulang kali menyalahkan Rappler dalam beberapa pidato di depan publik.
Bukan hanya kebebasan pers, sejak 1986 tidak kurang dari 176 wartawan terbunuh di Filipina. Catatan ini menjadikan negara itu salah satu negara yang paling berbahaya di dunia bagi wartawan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
tulis komentar anda