Baru Berhasil Rebut Satu Kota, Serangan Rusia Diprediksi Kian Brutal
Rabu, 23 Maret 2022 - 19:44 WIB
PARIS - Pasukan Rusia di Ukraina tampaknya mengubah metode tempur mereka dengan dampak yang menghancurkan pada warga sipil. Perubahan metode ini dilakukan setelah mereka gagal mengamankan keuntungan cepat yang diharapkan ketika Presiden Vladimir Putin meluncurkan invasi satu bulan lalu.
Menguasai ibu kota Kiev tampaknya tetap menjadi target utama Rusia, ketika mereka memasuki negara itu pada 24 Februari dan berharap untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy.
Tetapi meskipun mengerahkan kekuatan antara 150.000 dan 200.000 tentara, Moskow gagal mengantisipasi apa pun selain perlawanan yang lemah - kemungkinan karena kegagalan intelijen Rusia - dan membuat persiapan logistik yang ceroboh.
Seperti dilaporkan AFP, pasukan penyerang Rusia hingga kini tetap tertahan 15km dari ibukota Ukraina Kiev di barat laut dan 30km ke timur. Tentara Rusia hanya mampu membombardir Kiev dari kejauhan.
Bahkan hingga kini, Rusia tidak memiliki kendali penuh atas langit di atas Ukraina, memperumit seluruh ofensif mereka. "Rusia tidak memiliki kebijakan komando dan kontrol yang nyata," kata seorang mantan perwira tinggi militer Prancis kepada AFP.
Ia menunjuk pada kurangnya koordinasi antara Angkatan Darat dan Angkata Udara, serta kurangnya ketepatan serangan.
Selama satu bulan ofensif, Rusia hanya merebut satu pusat kota besar - Kherson di selatan Ukraina. Mariupol di timur tetap menjadi sasaran pengepungan yang menyebabkan kemarahan internasional. Lebih dari 200.000 orang terjebak di Mariupol, sebagian besar menjadi reruntuhan yang berserakan mayat dan terputus dari kebutuhan seperti makanan, air, listrik, dan panas.
Kota-kota utara yang belum dikuasai seperti Kharkiv, pusat kota terbesar kedua di Ukraina, terus-menerus dibombardir, sementara tekanan juga meningkat di kota-kota di selatan dan timur. Mykolaiv, yang menghalangi jalan di sepanjang pantai Laut Hitam menuju Odessa, juga berada di bawah tembakan artileri.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan, beberapa hari terakhir ini Rusia telah melakukan pemboman udara dan laut yang lebih intens, karena perlawanan Ukrania menahan kemajuan pasukan Rusa di darat.
Juru bicara Departemen Pertahanan AS John Kirby mengatakan kepada CNN pada Selasa (22/3/2022), pasukan Ukraina sekarang bahkan "mengejar Rusia" yang kehilangan moral ketika makanan dan bahan bakar mereka habis.
Jumlah tentara Rusia yang tewas tidak dapat diverifikasi, meskipun Pentagon memperkirakan sebanyak 7.000 orang Rusia tewas pada bulan pertama, menurut New York Times. Itu akan berarti lebih banyak kerugian daripada yang diderita AS dalam pendudukan selama bertahun-tahun di Irak dan Afghanistan digabungkan.
Dengan kekuatan mereka yang macet, Rusia telah mengubah taktik ofensif mereka menjadi serangkaian pengepungan yang tampaknya bertujuan untuk melemahkan dan menurunkan moral penduduk Ukraina.
Sekitar 10 juta orang telah meninggalkan rumah mereka, sementara kepala hak asasi manusia PBB mengatakan hampir 3,6 juta telah meninggalkan negara itu.
"Semakin banyak infanteri Rusia berjuang, semakin tinggi tingkat kebrutalan tentara dan penggunaan kekuatan udara yang tidak proporsional," kata seorang sumber Eropa yang dekat dengan NATO kepada AFP. "Putin butuh kesepakatan, jadi dia butuh kemenangan," tambahnya.
Menguasai ibu kota Kiev tampaknya tetap menjadi target utama Rusia, ketika mereka memasuki negara itu pada 24 Februari dan berharap untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenskyy.
Tetapi meskipun mengerahkan kekuatan antara 150.000 dan 200.000 tentara, Moskow gagal mengantisipasi apa pun selain perlawanan yang lemah - kemungkinan karena kegagalan intelijen Rusia - dan membuat persiapan logistik yang ceroboh.
Seperti dilaporkan AFP, pasukan penyerang Rusia hingga kini tetap tertahan 15km dari ibukota Ukraina Kiev di barat laut dan 30km ke timur. Tentara Rusia hanya mampu membombardir Kiev dari kejauhan.
Bahkan hingga kini, Rusia tidak memiliki kendali penuh atas langit di atas Ukraina, memperumit seluruh ofensif mereka. "Rusia tidak memiliki kebijakan komando dan kontrol yang nyata," kata seorang mantan perwira tinggi militer Prancis kepada AFP.
Ia menunjuk pada kurangnya koordinasi antara Angkatan Darat dan Angkata Udara, serta kurangnya ketepatan serangan.
Selama satu bulan ofensif, Rusia hanya merebut satu pusat kota besar - Kherson di selatan Ukraina. Mariupol di timur tetap menjadi sasaran pengepungan yang menyebabkan kemarahan internasional. Lebih dari 200.000 orang terjebak di Mariupol, sebagian besar menjadi reruntuhan yang berserakan mayat dan terputus dari kebutuhan seperti makanan, air, listrik, dan panas.
Kota-kota utara yang belum dikuasai seperti Kharkiv, pusat kota terbesar kedua di Ukraina, terus-menerus dibombardir, sementara tekanan juga meningkat di kota-kota di selatan dan timur. Mykolaiv, yang menghalangi jalan di sepanjang pantai Laut Hitam menuju Odessa, juga berada di bawah tembakan artileri.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyatakan, beberapa hari terakhir ini Rusia telah melakukan pemboman udara dan laut yang lebih intens, karena perlawanan Ukrania menahan kemajuan pasukan Rusa di darat.
Juru bicara Departemen Pertahanan AS John Kirby mengatakan kepada CNN pada Selasa (22/3/2022), pasukan Ukraina sekarang bahkan "mengejar Rusia" yang kehilangan moral ketika makanan dan bahan bakar mereka habis.
Jumlah tentara Rusia yang tewas tidak dapat diverifikasi, meskipun Pentagon memperkirakan sebanyak 7.000 orang Rusia tewas pada bulan pertama, menurut New York Times. Itu akan berarti lebih banyak kerugian daripada yang diderita AS dalam pendudukan selama bertahun-tahun di Irak dan Afghanistan digabungkan.
Dengan kekuatan mereka yang macet, Rusia telah mengubah taktik ofensif mereka menjadi serangkaian pengepungan yang tampaknya bertujuan untuk melemahkan dan menurunkan moral penduduk Ukraina.
Sekitar 10 juta orang telah meninggalkan rumah mereka, sementara kepala hak asasi manusia PBB mengatakan hampir 3,6 juta telah meninggalkan negara itu.
"Semakin banyak infanteri Rusia berjuang, semakin tinggi tingkat kebrutalan tentara dan penggunaan kekuatan udara yang tidak proporsional," kata seorang sumber Eropa yang dekat dengan NATO kepada AFP. "Putin butuh kesepakatan, jadi dia butuh kemenangan," tambahnya.
(esn)
tulis komentar anda