Pakar: Manuver China di Laut Natuna Utara Harus Disikapi Tegas

Rabu, 09 Maret 2022 - 19:38 WIB
Dari kasus itu, Ryan mendapati, ternyata pernyataan resmi, baik pemerintah Beijing maupun media di China malah menunjukkan respon, mereka sangat mematuhi hukum keamanan di laut.

Bahkan, respon mereka terkat kapal China menabrak kapal lain dan melakukan maneuver tidak aman, malah menyangkal tuduhan terkait pemberitaan di media luar.

Padahal, kata Ryan, kegiatan menabrak kapal secara sengaja itu merupakan tindakan ilegal bagi konvensi internasional. Tidak ketinggalan, Ryan juga menyinggung insiden kapal China yang melibatkan Indonesia, malah dibantah secara resmi oleh pemerintah China dan medianya.

"Contoh kapal berbendera China di operator kapal mengeksploitasi anak buah kapal (ABK) dari Indonesia yang menderita kekurangan pangan, sakit sejak 2019, dan ada kasus ABK WNI meninggal di atas kapal. Lalu apa tanggapan mereka? Narasi resmi Beijing, China adalah bangsa atau negara penangkap ikan bertanggung jawab dan tak akan melakukan itu,” ujar Ryan.

Dia menambahkan, “Kemenlu China dalam laporan kekerasan, malah menyebut hal itu dimotivasi tuduhan tak berdasar, media (China) juga mengatakan laporan tadi berbohong dan berupaya menciptakan pertentangan Indonesia dan China."

Senior Research Fellow di Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura, Evan Laksmana mengatakan, masalah perselisihan batas maritim Indonesia dan China berbeda level dengan kasus China maupun Hongkong dan Taiwan.

Menurut dia, masalah pelanggaran China di Laut China Selatan, misalnya, itu bukan mereka mau mengokupansi, menginvasi, atau merebut semua sumber daya manusia (SDM) milik Indonesia. "Masalah kita beda level dengan Hongkong atau Taiwan," ucap Evan.

Menurut Evan, terhadap negara-negara ASEAN, seperti Indonesia, China menggunakan Grey Zone Tactic yaitu taktik Zona Abu-Abu. Taktik ini adalah melakukan apapun yang bukan perang dalam arti menggunakan kekuatan kineti militer yang untuk mencapai kepentingannya.

Salah satu contohnya adalah melalui proses pembuatan Code of Conduct antara China dan negara-negara ASEAN.

ASEAN dan China ingin menciptakan Kode Perilaku untuk mengatur perilaku negara-negara di Laut China Selatan. Karena negosiasi ini memakan waktu lama, China memanfaat jeda waktu ini untuk meningkatkan kapasitas militernya. Ia lalu melakukan taktik salami dengan membangun militernya di sekitar LCS.

“Taktik Salami Ini sama seperti peribahasa pelan-pelan menjadi bukit. Jadi lama-lama mereka jadi bangun banyak pangkalan militer seperti di kepulauan Parcel,” ungkap Evan.

Secara politik, mereka juga mencari elit yang kurang mengerti dan bisa diajak kerja sama tentang isu-isu LCS. Ketergantungan ekonomi juga membuat Indonesia jadi lemah posisinya saat harus berseberangan dengan China.

Mereka juga ingin mengubah UNCLOS secara pelanpelan. “UNCLOS itu sangat sakral buat kita karena status kita sebagai negara kepulauan itu berdasarkan UNCLOS. Jadi kita sangat rugi kalau sampai UNCLOS diubah,” papar Evan.

Menurut dia, masalah pelanggaran kapal China yang masuk wilayah Indonesia di Laut Natuna Utara harus disikapi serius.

Dia meminta semua lembaga atau institusi terkait untuk focus menangani masalah itu secara integral, bukan berjalan sendiri-sendiri.

Hal itu lantaran China kadang menjebak Indonesia dengan membuat istilah baru berupaya wilayah pencarian ikan tradisional dan semacamnya demi membenarkan tindakan mereka.

Evan mengatakan, China sepertinya ingin mengubah UNCLOS, dengan begitu Indonesia nanti yang dirugikan.

Dia ingin agar Indonesia tegas saja jika memang ada pelanggaran kapal yang dilakukan China.

"Di era Bu Susi (Menteri KP), Tiongkok tidak bahagia. Kita selalu menenggelamkan kapal mereka, akhirnya mereka menawarkan joint development dan selalu menegaskan kedaulatan Indonesia atas Natuna," ucap Evan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More