Mengapa Israel dan Rusia Mendapat Sanksi Berbeda dari Barat? Ini Alasannya
Senin, 07 Maret 2022 - 20:07 WIB
DUBLIN - Lewat akun Twitter resminya, politisi Irlandia Richard Boyd Barret melayangkan kritik tentang “standar ganda” negara-negara Barat atas dua invasi berbeda, yakni antara dilakukan Rusia ke Ukraina dan Israel ke Palestina.
Kritik itu dilontarkan pada Kamis (3/3/2022). Richard menulis, “Orang-orang Palestina diperlakukan sebagai ras yang lebih rendah. Akses ke makanan dan air ditolak. Namun tidak ada sanksi terhadap Israel karena rezim apartheidnya. Benar-benar munafik.”
Selang beberapa hari kemudian, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, juga menunjukkan kekecewaan serupa.
Dilansir dari SINDOnews, Fadli Zon memposting cuitan berisi, “Standar ganda Barat semakin terlihat dengan perbedaan perlakuan atas agresi Israel di Palestina. Tak ada sanksi, tak ada kecaman, terjadi bertahun-bertahun. Barat tak peduli dengan penderitaan rakyat Palestina. Berbeda dengan Ukraina.” Pernyataan tersebut diunggahnya pada Sabtu (5/3).
Memang saat ini banyak negara, terutama Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), berbondong-bondong memberikan sanksi internasional atas upaya penyerangan militer Rusia terhadap Ukraina.
Sanksi tersebut berupa pembekuan aset, diskualifikasi Rusia dari FIFA, larangan penerbangan, larangan impor minyak, hingga sanksi terbesar yakni pemblokiran akses keuangan Rusia dari sistem global SWIFT.
Namun, jika dipikir-pikir, mengapa sanksi ini baru dijatuhkan pada Rusia saja, ketika di sisi lain Israel sudah mengacak-ngacak tanah Palestina sejak bertahun-tahun lamanya?
Dilansir dari berbagai sumber, semua ini tidak luput dari campur tangan Amerika Serikat. Perekrutan Ukraina menjadi bagian dari NATO adalah pemantik yang memicu konflik tidak berkesudahan antara Rusia-Ukraina.
Dengan dalih Pasal 5 dalam perjanjian NATO yang menyebutkan bahwa semua anggota NATO wajib turun tangan bila ada salah satu anggotanya mengalami penyerangan bersenjata, Amerika Serikat mati-matian membantu Ukraina, meski Ukraina secara resmi belum bergabung dalam NATO.
Dengan kata lain, dalam kasus ini, Amerika melindungi Ukraina yang menjadi “korban”. Ditambah lagi, kekuatan militer antara Rusia dan Amerika salip-menyalip menjadi posisi nomor satu dan dua di dunia.
Sementara dalam kasus Israel-Palestina, Amerika Serikat menjadi pro-Israel. Hubungan kedua negara tersebut bisa dibilang bersejarah.
Amerika Serikat mendukung pembentukan Israel pada 1948, Israel dianggap sekutu penting AS di Timur Tengah, hingga koalisi lobi Yahudi yang menguasai Negeri Paman Sam itu.
Sebagai antagonis, Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika meski tindakannya melanggar hukum. Sedangkan Palestina, tanpa sokongan dan hanya bisa melindungi diri sendiri.
Selain itu, konflik antara Rusia dan Ukraina digadang-gadang memiliki tendensi pecah Perang Dunia III. Potensi tersebut akhirnya membuat kehebohan secara global dan satu per satu negara mulai menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Apapun alasannya, bahwa benar faktanya publik harus melek perbedaan perlakuan yang terjadi antara dua konflik panas yang tengah terjadi antara Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.
Tidak peduli seberapa besar pamor negara tersebut, seberapa besar pengaruhnya, ataupun seberapa kuat dukungan yang dimiliki, hak asasi manusia harus diprioritaskan terlebih dahulu.
Kritik itu dilontarkan pada Kamis (3/3/2022). Richard menulis, “Orang-orang Palestina diperlakukan sebagai ras yang lebih rendah. Akses ke makanan dan air ditolak. Namun tidak ada sanksi terhadap Israel karena rezim apartheidnya. Benar-benar munafik.”
Selang beberapa hari kemudian, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon, juga menunjukkan kekecewaan serupa.
Baca Juga
Dilansir dari SINDOnews, Fadli Zon memposting cuitan berisi, “Standar ganda Barat semakin terlihat dengan perbedaan perlakuan atas agresi Israel di Palestina. Tak ada sanksi, tak ada kecaman, terjadi bertahun-bertahun. Barat tak peduli dengan penderitaan rakyat Palestina. Berbeda dengan Ukraina.” Pernyataan tersebut diunggahnya pada Sabtu (5/3).
Memang saat ini banyak negara, terutama Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), berbondong-bondong memberikan sanksi internasional atas upaya penyerangan militer Rusia terhadap Ukraina.
Sanksi tersebut berupa pembekuan aset, diskualifikasi Rusia dari FIFA, larangan penerbangan, larangan impor minyak, hingga sanksi terbesar yakni pemblokiran akses keuangan Rusia dari sistem global SWIFT.
Namun, jika dipikir-pikir, mengapa sanksi ini baru dijatuhkan pada Rusia saja, ketika di sisi lain Israel sudah mengacak-ngacak tanah Palestina sejak bertahun-tahun lamanya?
Dilansir dari berbagai sumber, semua ini tidak luput dari campur tangan Amerika Serikat. Perekrutan Ukraina menjadi bagian dari NATO adalah pemantik yang memicu konflik tidak berkesudahan antara Rusia-Ukraina.
Dengan dalih Pasal 5 dalam perjanjian NATO yang menyebutkan bahwa semua anggota NATO wajib turun tangan bila ada salah satu anggotanya mengalami penyerangan bersenjata, Amerika Serikat mati-matian membantu Ukraina, meski Ukraina secara resmi belum bergabung dalam NATO.
Dengan kata lain, dalam kasus ini, Amerika melindungi Ukraina yang menjadi “korban”. Ditambah lagi, kekuatan militer antara Rusia dan Amerika salip-menyalip menjadi posisi nomor satu dan dua di dunia.
Sementara dalam kasus Israel-Palestina, Amerika Serikat menjadi pro-Israel. Hubungan kedua negara tersebut bisa dibilang bersejarah.
Amerika Serikat mendukung pembentukan Israel pada 1948, Israel dianggap sekutu penting AS di Timur Tengah, hingga koalisi lobi Yahudi yang menguasai Negeri Paman Sam itu.
Sebagai antagonis, Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika meski tindakannya melanggar hukum. Sedangkan Palestina, tanpa sokongan dan hanya bisa melindungi diri sendiri.
Selain itu, konflik antara Rusia dan Ukraina digadang-gadang memiliki tendensi pecah Perang Dunia III. Potensi tersebut akhirnya membuat kehebohan secara global dan satu per satu negara mulai menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Apapun alasannya, bahwa benar faktanya publik harus melek perbedaan perlakuan yang terjadi antara dua konflik panas yang tengah terjadi antara Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.
Tidak peduli seberapa besar pamor negara tersebut, seberapa besar pengaruhnya, ataupun seberapa kuat dukungan yang dimiliki, hak asasi manusia harus diprioritaskan terlebih dahulu.
(sya)
tulis komentar anda