Waspada Perang Meluas, Australia Bangun Pangkalan Kapal Selam Nuklir Rp107 Triliun
loading...
A
A
A
CANBERRA - Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison akan mengumumkan pembangunan pangkalan kapal selam nuklir baru senilai 10 miliar dolar Australia (Rp107 triliun).
Dia sembari memperingatkan rakyat Australia bahwa konflik Rusia dengan Ukraina “tak terelakkan akan meluas ke Indo-Pasifik.”
Morrison dijadwalkan mengungkap rencana pembangunan pangkalan kapal selam nuklir Australia selama pidatonya di Neoliberal Lowy Institute di Sydney pada Senin (7/3/2022), menurut catatan pidatonya yang dikutip media lokal.
Morrison akan memperingatkan bahwa konflik Rusia dengan Ukraina akan “tidak terhindarkan meluas ke Indo-Pasifik.”
“Australia menghadapi lingkungan keamanannya yang paling sulit dan berbahaya dalam 80 tahun,” papar naskah pidato Morrison, dilansir RT.com pada Senin (7/3/2022).
Morrison juga dilaporkan akan memperingatkan bahwa "busur otokrasi baru" sedang terbentuk untuk "menantang dan mengatur ulang tatanan dunia menurut citra mereka sendiri."
Perdana menteri akan mengecam konflik Rusia dengan Ukraina sebagai "contoh terbaru dari rezim otoriter yang berusaha menantang status quo melalui ancaman dan kekerasan.”
Dia sembari memperingatkan rakyat Australia bahwa konflik Rusia dengan Ukraina “tak terelakkan akan meluas ke Indo-Pasifik.”
Morrison dijadwalkan mengungkap rencana pembangunan pangkalan kapal selam nuklir Australia selama pidatonya di Neoliberal Lowy Institute di Sydney pada Senin (7/3/2022), menurut catatan pidatonya yang dikutip media lokal.
Morrison akan memperingatkan bahwa konflik Rusia dengan Ukraina akan “tidak terhindarkan meluas ke Indo-Pasifik.”
“Australia menghadapi lingkungan keamanannya yang paling sulit dan berbahaya dalam 80 tahun,” papar naskah pidato Morrison, dilansir RT.com pada Senin (7/3/2022).
Morrison juga dilaporkan akan memperingatkan bahwa "busur otokrasi baru" sedang terbentuk untuk "menantang dan mengatur ulang tatanan dunia menurut citra mereka sendiri."
Perdana menteri akan mengecam konflik Rusia dengan Ukraina sebagai "contoh terbaru dari rezim otoriter yang berusaha menantang status quo melalui ancaman dan kekerasan.”