Jejak Berdarah Bos ISIS Al-Qurayshi: Arsitek Genosida Yazidi
Jum'at, 04 Februari 2022 - 17:30 WIB
ATMEH - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan bahwa pasukan khusus Amerika telah melakukan serangan di barat laut Suriah yang mengakibatkan kematian pemimpin ISIS , Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurayshi . Serangan itu dilakukan atas dasar perintah langsung oleh Biden.
Al-Qurayshi mengambil alih tampuk pimpinan ISIS beberapa hari setelah pendiri kelompok itu, Abu Bakr al-Baghdadi , tewas dalam serangan AS di daerah yang sama pada Oktober 2019 lalu.
Dikutip dari The Week, Jumat (4/2/2022), al-Qurayshi diyakini lahir di Mosul Irak pada tahun 1976. Menurut laporan, ayahnya adalah seorang guru agama. Ia memperoleh gelar master dalam studi Alquran dari Universitas Mosul dan bergabung dengan ISIS pada tahun 2007. Ia diyakini telah menikmati peningkatan pesat di ISIS tetapi ditangkap oleh pasukan AS di Irak pada tahun 2008.
Al-Qurayshi diyakini telah mengungkapkan sekitar 20 nama anggota ISIS saat berada dalam tahanan AS.
"Relatif sedikit yang diketahui tentang kegiatan al-Qurayshi selama dekade berikutnya setelah dia dibebaskan. Tetapi dia dilaporkan mengawasi upaya kelompok ISIS terhadap minoritas Yazidi Irak dan telah menjabat sebagai wakil al-Baghdadi setidaknya sejak 2018," seperti dilaporkan oleh Associated Press.
Saat mengumumkan kematian al-Qurayshi, Biden mengatakan dunia bebas dari seorang pria yang dia gambarkan sebagai kekuatan pendorong di balik genosida orang-orang Yazidi di Irak barat laut pada 2014, ketika pembantaian menyapu bersih desa, ribuan wanita dan gadis muda dijual sebagai budak dan pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang.
Pada 2019 lalu, Menteri Luar Negeri AS saat itu Mike Pompeo mengatakan al-Qurayshi membantu mendorong dan membenarkan penculikan, pembantaian, dan perdagangan minoritas Yazidi di barat laut Irak dan juga memimpin beberapa operasi teroris global kelompok itu.
Departemen Luar Negeri AS awalnya menawarkan hadiah USD5 juta untuk penangkapannya pada pertengahan 2019, dan hadiah ini meningkat menjadi USD10 juta (Rp143,7 miliar) pada tahun 2020 merujuk pada perannya atas pembantaian kelompok minoritas Yazidi.
Penargetan Yazidi adalah salah satu kejahatan paling mengerikan dari ISIS selama periode singkat kelompok ekstrimis itu menguasai bagian utara Irak. Sejak Agustus 2014, ISIS terlibat dalam pembunuhan massal, kekerasan seksual, penyiksaan dan perbudakan terhadap Yazidi, kelompok minoritas berbahasa Kurdi yang mempraktikkan agama monoteistik dan sebagian besar tinggal di wilayah Sinar, Irak.
Menurut data dari Amnesty International pada November 2021, lebih dari 5.000 orang tewas dan lebih dari 400.000 orang mengungsi dari rumah mereka.
"Hingga saat ini, lebih dari 2.800 wanita dan anak-anak Yazidi masih ditahan oleh ISIS atau masih hilang,” menurut data tersebut.
Pembunuhan al-Qurayshi diharapkan dapat mengembalikan fokus dunia pada penderitaan kelompok Yazidi.
“Masih banyak yang harus dilakukan... Sikap apatis masyarakat internasional terhadap kekejaman ini telah membuat masyarakat tidak memiliki harapan untuk keadilan dan akuntabilitas. Sampai hari ini," kata aktivis Yazidi dan peraih Nobel Perdamaian, Nadia Murad, dalam sebuah pernyataan.
Dalam serangan yang dilakukan oleh pasukan khusus AS, seperti pendahulunya, al-Qurayshi melakukan aksi bunuh diri bersama keluarganya dengan menggunakan bom untuk menghindari penangkapan.
Al-Qurayshi mengambil alih tampuk pimpinan ISIS beberapa hari setelah pendiri kelompok itu, Abu Bakr al-Baghdadi , tewas dalam serangan AS di daerah yang sama pada Oktober 2019 lalu.
Dikutip dari The Week, Jumat (4/2/2022), al-Qurayshi diyakini lahir di Mosul Irak pada tahun 1976. Menurut laporan, ayahnya adalah seorang guru agama. Ia memperoleh gelar master dalam studi Alquran dari Universitas Mosul dan bergabung dengan ISIS pada tahun 2007. Ia diyakini telah menikmati peningkatan pesat di ISIS tetapi ditangkap oleh pasukan AS di Irak pada tahun 2008.
Al-Qurayshi diyakini telah mengungkapkan sekitar 20 nama anggota ISIS saat berada dalam tahanan AS.
"Relatif sedikit yang diketahui tentang kegiatan al-Qurayshi selama dekade berikutnya setelah dia dibebaskan. Tetapi dia dilaporkan mengawasi upaya kelompok ISIS terhadap minoritas Yazidi Irak dan telah menjabat sebagai wakil al-Baghdadi setidaknya sejak 2018," seperti dilaporkan oleh Associated Press.
Saat mengumumkan kematian al-Qurayshi, Biden mengatakan dunia bebas dari seorang pria yang dia gambarkan sebagai kekuatan pendorong di balik genosida orang-orang Yazidi di Irak barat laut pada 2014, ketika pembantaian menyapu bersih desa, ribuan wanita dan gadis muda dijual sebagai budak dan pemerkosaan digunakan sebagai senjata perang.
Pada 2019 lalu, Menteri Luar Negeri AS saat itu Mike Pompeo mengatakan al-Qurayshi membantu mendorong dan membenarkan penculikan, pembantaian, dan perdagangan minoritas Yazidi di barat laut Irak dan juga memimpin beberapa operasi teroris global kelompok itu.
Departemen Luar Negeri AS awalnya menawarkan hadiah USD5 juta untuk penangkapannya pada pertengahan 2019, dan hadiah ini meningkat menjadi USD10 juta (Rp143,7 miliar) pada tahun 2020 merujuk pada perannya atas pembantaian kelompok minoritas Yazidi.
Baca Juga
Penargetan Yazidi adalah salah satu kejahatan paling mengerikan dari ISIS selama periode singkat kelompok ekstrimis itu menguasai bagian utara Irak. Sejak Agustus 2014, ISIS terlibat dalam pembunuhan massal, kekerasan seksual, penyiksaan dan perbudakan terhadap Yazidi, kelompok minoritas berbahasa Kurdi yang mempraktikkan agama monoteistik dan sebagian besar tinggal di wilayah Sinar, Irak.
Menurut data dari Amnesty International pada November 2021, lebih dari 5.000 orang tewas dan lebih dari 400.000 orang mengungsi dari rumah mereka.
"Hingga saat ini, lebih dari 2.800 wanita dan anak-anak Yazidi masih ditahan oleh ISIS atau masih hilang,” menurut data tersebut.
Pembunuhan al-Qurayshi diharapkan dapat mengembalikan fokus dunia pada penderitaan kelompok Yazidi.
“Masih banyak yang harus dilakukan... Sikap apatis masyarakat internasional terhadap kekejaman ini telah membuat masyarakat tidak memiliki harapan untuk keadilan dan akuntabilitas. Sampai hari ini," kata aktivis Yazidi dan peraih Nobel Perdamaian, Nadia Murad, dalam sebuah pernyataan.
Dalam serangan yang dilakukan oleh pasukan khusus AS, seperti pendahulunya, al-Qurayshi melakukan aksi bunuh diri bersama keluarganya dengan menggunakan bom untuk menghindari penangkapan.
(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda