Dicap Lakukan Kejahatan Apartheid pada Palestina, Israel Marah
Rabu, 02 Februari 2022 - 00:16 WIB
TEPI BARAT - Israel dinyatakan telah melakukan kejahatan apartheid terhadap warga Palestina . Itu adalah penilaian dari kelompok hak asasi manusia (HAM) Amnesty International dalam laporan investigasinya yang dirilis Selasa (1/2/2022).
Rezim Zionis marah bahkan sebelum laporan itu dirilis secara resmi. Negara mayoritas Yahudi itu tak terima disamakan dengan rezim jahat yang pernah berkuasa di Afrika Selatan.
Laporan Amnesty mengatakan Israel harus bertanggung jawab karena memperlakukan warga Palestina sebagai kelompok ras yang lebih rendah.
Laporan setebal 280 halaman itu merinci bagaimana otoritas Israel menegakkan sistem penindasan dan dominasi terhadap Palestina.
Investigasi Amnesty yang memberatkan mencantumkan berbagai pelanggaran Israel, termasuk penyitaan tanah dan properti warga Palestina, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan gerakan drastis, penahanan administratif dan penolakan status kewarganegaraan untuk orang Palestina.
Rincian itu menggambarkannya sebagai komponen dari sistem yang sama dengan kejahatan apartheid di bawah hukum internasional.
“Sistem ini dipertahankan oleh pelanggaran yang Amnesty International temukan sebagai apartheid sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata kelompok HAM terkemuka itu dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri yang akan menjadi Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, marah dan menolak laporan itu sebagai laporan yang jauh dari kenyataan.
Dia menuduh Amnesty menggemakan kebohongan yang sama yang dimiliki oleh organisasi teroris. Dia juga menuduh Amnesty memiliki agenda anti-Semit.
“Saya benci menggunakan argumen bahwa jika Israel bukan negara Yahudi, tak seorang pun di Amnesty akan berani menentangnya, tetapi dalam kasus ini, tidak ada kemungkinan lain,” katanya.
Ramy Abdu, ketua Euro-Med Human Rights Monitor, mengatakan Israel selama beberapa dekade menuduh para pencela dan kritikus pelanggaran HAM-nya sebagai anti-Semit.
“Kebijakan ini diadopsi oleh Kementerian Urusan Strategis Israel dan didukung oleh praktik sistematis pelabelan kritikus,” katanya kepada Al Jazeera.
“Seringnya Israel menggunakan istilah ‘anti-Semitisme’ telah mendiskreditkan tuduhannya dan membuktikan bahwa itu hanya digunakan sebagai alat proaktif untuk tujuan mengintimidasi para aktivis, kritikus, dan organisasi.”
Tuduhan itu, kata Abdu, tidak hanya ditujukan pada mereka yang kritis terhadap Israel, tetapi juga mereka yang berada di pagar atau bersikap netral.
Mayoritas Yahudi
Menurut laporan Amnesty, sejak didirikan pada tahun 1948, Israel telah menerapkan kebijakan untuk membangun dan mempertahankan "mayoritas demografis Yahudi".
Israel juga melakukan kontrol penuh atas tanah dan sumber daya untuk menguntungkan orang Yahudi Israel, termasuk mereka yang berada di pemukiman ilegal.
Setelah perang 1967, di mana pasukan Israel menduduki seluruh Palestina yang bersejarah, Israel memperluas kebijakan tersebut ke Tepi Barat yang diduduki serta Jalur Gaza, yang telah berada di bawah pengepungan yang melumpuhkan sejak 2007.
"Hari ini, semua wilayah yang dikendalikan oleh Israel terus dikelola dengan tujuan menguntungkan orang Yahudi Israel dengan merugikan Palestina, sementara pengungsi Palestina terus dikecualikan," kata kelompok HAM yang berbasis di London tersebut.
“Laporan kami mengungkapkan sejauh mana sebenarnya rezim apartheid Israel. Apakah mereka tinggal di Gaza, Yerusalem Timur dan seluruh Tepi Barat, atau Israel sendiri, orang Palestina diperlakukan sebagai kelompok ras yang lebih rendah dan hak-hak mereka secara sistematis dirampas,” kata Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty.
Berbicara pada konferensi pers di Yerusalem Timur yang diduduki, Callamard meminta masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan untuk mempertahankan sistem apartheid.
“Ini adalah kekejaman sistem–administrasi kontrol, perampasan, dan ketidaksetaraan yang berkembang rumit [dan] birokratisasi terperinci yang luar biasa yang menjadi dasar sistem itu,” katanya.
“Hal yang biasa-biasa saja, dan terkadang absurditas yang membuat saya terengah-engah."
“Kesimpulan kami mungkin mengejutkan dan mengganggu–dan memang seharusnya begitu,” lanjut dia.
“Beberapa di dalam pemerintahan Israel mungkin berusaha untuk membelokkan dari itu dengan menuduh Amnesty secara salah mencoba untuk mengacaukan Israel, atau menjadi anti-Semit, atau secara tidak adil memilih Israel. Tetapi saya di sini untuk mengatakan bahwa serangan-serangan tak berdasar ini, kebohongan terbuka, pemalsuan pesan tidak akan membungkam pesan dalam sebuah organisasi dengan 10 juta anggota di seluruh dunia.”
Amnesty meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata komprehensif terhadap Israel, serta sanksi yang ditargetkan, seperti pembekuan aset, terhadap pejabat Israel yang paling terlibat dalam kejahatan apartheid.
Laporan Amnesty mengikuti kesimpulan serupa yang dicapai oleh Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di Amerika Serikat, yang menerbitkan sebuah laporan pada April tahun lalu yang menemukan bahwa Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa apartheid dan penganiayaan terhadap warga Palestina.
Demikian juga, kelompok HAM Israel; B'Tselem, yang menerbitkan sebuah penelitian pada Januari 2021 dan menemukan bahwa orang Palestina–yang terbagi menjadi empat tingkatan perlakuan yang lebih rendah–tidak diberi hak untuk menentukan nasib sendiri.
Amnesty mengatakan pembunuhan di luar hukum terhadap pengunjuk rasa Palestina di Gaza mungkin adalah gambaran paling jelas tentang bagaimana otoritas Israel menggunakan tindakan terlarang untuk mempertahankan status quo.
Itu mengacu pada periode selama 2018 dan 2019 di mana orang-orang Palestina di Gaza mengadakan demonstrasi mingguan di sepanjang pagar pemisah Israel, menyerukan hak untuk kembali bagi para pengungsi dan diakhirinya blokade.
Protes Great March of Return itu disambut dengan kekerasan oleh pasukan Israel, yang menembakkan tabung gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, yang sebagian besar oleh sniper.
Pada saat demonstrasi dihentikan pada akhir 2019, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 214 warga Palestina, termasuk 46 anak-anak. Itu adalah data resmi PBB.
“Tanggapan internasional terhadap apartheid tidak lagi terbatas pada kecaman dan dalih yang lembut,” kata Callamard.
“Israel harus membongkar sistem apartheid dan mulai memperlakukan warga Palestina sebagai manusia dengan hak dan martabat yang sama.”
Rezim Zionis marah bahkan sebelum laporan itu dirilis secara resmi. Negara mayoritas Yahudi itu tak terima disamakan dengan rezim jahat yang pernah berkuasa di Afrika Selatan.
Laporan Amnesty mengatakan Israel harus bertanggung jawab karena memperlakukan warga Palestina sebagai kelompok ras yang lebih rendah.
Laporan setebal 280 halaman itu merinci bagaimana otoritas Israel menegakkan sistem penindasan dan dominasi terhadap Palestina.
Investigasi Amnesty yang memberatkan mencantumkan berbagai pelanggaran Israel, termasuk penyitaan tanah dan properti warga Palestina, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan gerakan drastis, penahanan administratif dan penolakan status kewarganegaraan untuk orang Palestina.
Rincian itu menggambarkannya sebagai komponen dari sistem yang sama dengan kejahatan apartheid di bawah hukum internasional.
“Sistem ini dipertahankan oleh pelanggaran yang Amnesty International temukan sebagai apartheid sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata kelompok HAM terkemuka itu dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri yang akan menjadi Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, marah dan menolak laporan itu sebagai laporan yang jauh dari kenyataan.
Dia menuduh Amnesty menggemakan kebohongan yang sama yang dimiliki oleh organisasi teroris. Dia juga menuduh Amnesty memiliki agenda anti-Semit.
“Saya benci menggunakan argumen bahwa jika Israel bukan negara Yahudi, tak seorang pun di Amnesty akan berani menentangnya, tetapi dalam kasus ini, tidak ada kemungkinan lain,” katanya.
Ramy Abdu, ketua Euro-Med Human Rights Monitor, mengatakan Israel selama beberapa dekade menuduh para pencela dan kritikus pelanggaran HAM-nya sebagai anti-Semit.
“Kebijakan ini diadopsi oleh Kementerian Urusan Strategis Israel dan didukung oleh praktik sistematis pelabelan kritikus,” katanya kepada Al Jazeera.
“Seringnya Israel menggunakan istilah ‘anti-Semitisme’ telah mendiskreditkan tuduhannya dan membuktikan bahwa itu hanya digunakan sebagai alat proaktif untuk tujuan mengintimidasi para aktivis, kritikus, dan organisasi.”
Tuduhan itu, kata Abdu, tidak hanya ditujukan pada mereka yang kritis terhadap Israel, tetapi juga mereka yang berada di pagar atau bersikap netral.
Mayoritas Yahudi
Menurut laporan Amnesty, sejak didirikan pada tahun 1948, Israel telah menerapkan kebijakan untuk membangun dan mempertahankan "mayoritas demografis Yahudi".
Israel juga melakukan kontrol penuh atas tanah dan sumber daya untuk menguntungkan orang Yahudi Israel, termasuk mereka yang berada di pemukiman ilegal.
Setelah perang 1967, di mana pasukan Israel menduduki seluruh Palestina yang bersejarah, Israel memperluas kebijakan tersebut ke Tepi Barat yang diduduki serta Jalur Gaza, yang telah berada di bawah pengepungan yang melumpuhkan sejak 2007.
"Hari ini, semua wilayah yang dikendalikan oleh Israel terus dikelola dengan tujuan menguntungkan orang Yahudi Israel dengan merugikan Palestina, sementara pengungsi Palestina terus dikecualikan," kata kelompok HAM yang berbasis di London tersebut.
“Laporan kami mengungkapkan sejauh mana sebenarnya rezim apartheid Israel. Apakah mereka tinggal di Gaza, Yerusalem Timur dan seluruh Tepi Barat, atau Israel sendiri, orang Palestina diperlakukan sebagai kelompok ras yang lebih rendah dan hak-hak mereka secara sistematis dirampas,” kata Agnes Callamard, sekretaris jenderal Amnesty.
Berbicara pada konferensi pers di Yerusalem Timur yang diduduki, Callamard meminta masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan untuk mempertahankan sistem apartheid.
“Ini adalah kekejaman sistem–administrasi kontrol, perampasan, dan ketidaksetaraan yang berkembang rumit [dan] birokratisasi terperinci yang luar biasa yang menjadi dasar sistem itu,” katanya.
“Hal yang biasa-biasa saja, dan terkadang absurditas yang membuat saya terengah-engah."
“Kesimpulan kami mungkin mengejutkan dan mengganggu–dan memang seharusnya begitu,” lanjut dia.
“Beberapa di dalam pemerintahan Israel mungkin berusaha untuk membelokkan dari itu dengan menuduh Amnesty secara salah mencoba untuk mengacaukan Israel, atau menjadi anti-Semit, atau secara tidak adil memilih Israel. Tetapi saya di sini untuk mengatakan bahwa serangan-serangan tak berdasar ini, kebohongan terbuka, pemalsuan pesan tidak akan membungkam pesan dalam sebuah organisasi dengan 10 juta anggota di seluruh dunia.”
Amnesty meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata komprehensif terhadap Israel, serta sanksi yang ditargetkan, seperti pembekuan aset, terhadap pejabat Israel yang paling terlibat dalam kejahatan apartheid.
Laporan Amnesty mengikuti kesimpulan serupa yang dicapai oleh Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di Amerika Serikat, yang menerbitkan sebuah laporan pada April tahun lalu yang menemukan bahwa Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa apartheid dan penganiayaan terhadap warga Palestina.
Demikian juga, kelompok HAM Israel; B'Tselem, yang menerbitkan sebuah penelitian pada Januari 2021 dan menemukan bahwa orang Palestina–yang terbagi menjadi empat tingkatan perlakuan yang lebih rendah–tidak diberi hak untuk menentukan nasib sendiri.
Amnesty mengatakan pembunuhan di luar hukum terhadap pengunjuk rasa Palestina di Gaza mungkin adalah gambaran paling jelas tentang bagaimana otoritas Israel menggunakan tindakan terlarang untuk mempertahankan status quo.
Itu mengacu pada periode selama 2018 dan 2019 di mana orang-orang Palestina di Gaza mengadakan demonstrasi mingguan di sepanjang pagar pemisah Israel, menyerukan hak untuk kembali bagi para pengungsi dan diakhirinya blokade.
Protes Great March of Return itu disambut dengan kekerasan oleh pasukan Israel, yang menembakkan tabung gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, yang sebagian besar oleh sniper.
Pada saat demonstrasi dihentikan pada akhir 2019, pasukan Israel telah menewaskan sedikitnya 214 warga Palestina, termasuk 46 anak-anak. Itu adalah data resmi PBB.
“Tanggapan internasional terhadap apartheid tidak lagi terbatas pada kecaman dan dalih yang lembut,” kata Callamard.
“Israel harus membongkar sistem apartheid dan mulai memperlakukan warga Palestina sebagai manusia dengan hak dan martabat yang sama.”
(min)
tulis komentar anda