Militer Israel Luncurkan Skenario Serang Iran, Tapi Meragukan Hasilnya
Kamis, 30 Desember 2021 - 04:11 WIB
TEL AVIV - Dalam beberapa pekan terakhir, Israel telah meningkatkan kekhawatiran seputar program nuklir Iran , menegaskan kembali bahwa Tel Aviv tidak akan membiarkan Teheran menjadi negara nuklir. Israel bahkan tidak menutup kemungkinan melancarkan serangan militer terhadap Iran guna memastikan hal tersebut.
Pernyataan itu muncul saat pembicaraan Wina untuk kemungkinan menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) memasuki putaran kedelapan awal pekan ini.
Seiring dengan itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah mempresentasikan kepada pemerintah negaratersebut beberapa skenario kemungkinan serangan terhadap target Iran . Meski begitu, IDF menggarisbawahi bahwa sulit untuk menilai kemungkinan hasil dari serangan tersebut atau dampaknya terhadap program nuklir Teheran, seperti dilaporkan media Israel Haaretz.
Menurut laporan itu, IDF menerima anggaran tambahan sekitar USD2,9 miliar untuk memperkuat persenjataannya dengan senjata canggih, meningkatkan bank target militer, dan melakukan latihan. Semua ini sebagai persiapan untuk kemungkinan menyerang Iran.
"Pejabat militer menegaskan bahwa mereka "siap untuk menyerang Iran" segera setelah pemerintah memberi lampu hijau untuk langkah tersebut," menurut Haaretz seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (30/12/2021).
Di antara kemungkinan konsekuensi dari serangan itu, IDF memprediksi putaran pertempuran dengan Hizbullah di Lebanon atau Hamas di Jalur Gaza.
Namun, menurut penilaian IDF yang dilaporkan, Iran secara signifikan telah meningkatkan sistem pertahanan udaranya bersama dengan persenjataan misilnya.
“Iran juga telah berhasil meningkatkan persenjataan rudal jarak jauh mereka secara signifikan, yang dapat dengan mudah mengenai titik mana pun di Israel," laporan itu mencatat.
Laporan itu juga menambahkan bahwa perkembangan tersebut telah mendorong investasi tambahan dalam sistem pertahanan udara di Israel.
Laporan tersebut menegaskan tuduhan yang sebelumnya disuarakan oleh Israel bahwa Teheran mungkin memiliki niat untuk mengembangkan bom nuklir, sesuatu yang diklaim IDF dapat terjadi dalam dua tahun jika Iran memang memiliki tujuan seperti itu.
Kekhawatiran Israel meningkat ketika perunding internasional berkumpul di Wina untuk pembicaraan putaran kedelapan guna menghidupkan kembali JCPOA - perjanjian nuklir 2015 yang mempertimbangkan Teheran untuk mengurangi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.
Kesepakatan itu, yang ditinggalkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018, telah menarik sedikit antusiasme dari Israel, yang tampaknya menentang gagasan Teheran mengembangkan program nuklirnya.
Ketika pembicaraan Wina berlanjut setelah liburan Natal, pemerintah Israel telah mengindikasikan bahwa mereka akan siap untuk "bertindak sendiri" guna mencegah Iran menjadi negara nuklir meskipun Teheran berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak berniat untuk memperoleh senjata nuklir.
Teheran juga menggarisbawahi bahwa mereka tidak memiliki niat untuk meningkatkan tingkat pengayaan uraniumnya lebih dari 60%, angka yang telah dicapai, secara signifikan melampaui tingkat pengayaan yang diizinkan JCPOA sebesar 3,67%.
Negeri Mullah itu mulai secara bertahap menjauh dari komitmen nuklirnya setelah Trump keluar dari kesepakatan, tetapi mengatakan hanya meningkatkan tingkat pengayaan untuk tujuan sipil, bukan pengembangan senjata.
Pernyataan itu muncul saat pembicaraan Wina untuk kemungkinan menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) memasuki putaran kedelapan awal pekan ini.
Seiring dengan itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah mempresentasikan kepada pemerintah negaratersebut beberapa skenario kemungkinan serangan terhadap target Iran . Meski begitu, IDF menggarisbawahi bahwa sulit untuk menilai kemungkinan hasil dari serangan tersebut atau dampaknya terhadap program nuklir Teheran, seperti dilaporkan media Israel Haaretz.
Menurut laporan itu, IDF menerima anggaran tambahan sekitar USD2,9 miliar untuk memperkuat persenjataannya dengan senjata canggih, meningkatkan bank target militer, dan melakukan latihan. Semua ini sebagai persiapan untuk kemungkinan menyerang Iran.
"Pejabat militer menegaskan bahwa mereka "siap untuk menyerang Iran" segera setelah pemerintah memberi lampu hijau untuk langkah tersebut," menurut Haaretz seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (30/12/2021).
Di antara kemungkinan konsekuensi dari serangan itu, IDF memprediksi putaran pertempuran dengan Hizbullah di Lebanon atau Hamas di Jalur Gaza.
Namun, menurut penilaian IDF yang dilaporkan, Iran secara signifikan telah meningkatkan sistem pertahanan udaranya bersama dengan persenjataan misilnya.
“Iran juga telah berhasil meningkatkan persenjataan rudal jarak jauh mereka secara signifikan, yang dapat dengan mudah mengenai titik mana pun di Israel," laporan itu mencatat.
Laporan itu juga menambahkan bahwa perkembangan tersebut telah mendorong investasi tambahan dalam sistem pertahanan udara di Israel.
Laporan tersebut menegaskan tuduhan yang sebelumnya disuarakan oleh Israel bahwa Teheran mungkin memiliki niat untuk mengembangkan bom nuklir, sesuatu yang diklaim IDF dapat terjadi dalam dua tahun jika Iran memang memiliki tujuan seperti itu.
Kekhawatiran Israel meningkat ketika perunding internasional berkumpul di Wina untuk pembicaraan putaran kedelapan guna menghidupkan kembali JCPOA - perjanjian nuklir 2015 yang mempertimbangkan Teheran untuk mengurangi program nuklirnya dengan imbalan keringanan sanksi.
Kesepakatan itu, yang ditinggalkan oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018, telah menarik sedikit antusiasme dari Israel, yang tampaknya menentang gagasan Teheran mengembangkan program nuklirnya.
Ketika pembicaraan Wina berlanjut setelah liburan Natal, pemerintah Israel telah mengindikasikan bahwa mereka akan siap untuk "bertindak sendiri" guna mencegah Iran menjadi negara nuklir meskipun Teheran berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak berniat untuk memperoleh senjata nuklir.
Teheran juga menggarisbawahi bahwa mereka tidak memiliki niat untuk meningkatkan tingkat pengayaan uraniumnya lebih dari 60%, angka yang telah dicapai, secara signifikan melampaui tingkat pengayaan yang diizinkan JCPOA sebesar 3,67%.
Negeri Mullah itu mulai secara bertahap menjauh dari komitmen nuklirnya setelah Trump keluar dari kesepakatan, tetapi mengatakan hanya meningkatkan tingkat pengayaan untuk tujuan sipil, bukan pengembangan senjata.
(ian)
tulis komentar anda