Mantan Presiden Korsel Chun yang Dijuluki Penjagal Gwangju Meninggal Dunia
Selasa, 23 November 2021 - 10:16 WIB
SEOUL - Presiden kelima Korea Selatan (Korsel) Chun Doo-Hwan meninggal dunia pada usia 90 tahun pada Selasa (23/11/2021). Chun menjabat sebagai presiden Korea Selatan setelah kudeta, dari 1980 hingga 1988.
Chun meninggal di rumahnya di Seoul pada pukul 08:40 pagi waktu setempat. Dilaporkan pada Agustus tahun ini bahwa dia telah didiagnosis dengan multiple myeloma, sejenis kanker darah yang mempengaruhi sel plasma. Dia dilaporkan meninggal karena serangan jantung.
Warisan Chun sangat rumit. Dia naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer dan memerintah Korea Selatan sebagai orang kuat.
Pada Mei 1980, saat Chun mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Korea Selatan, dia memberlakukan darurat militer di seluruh negeri.
Langkah itu memberi isyarat kepada orang Korea bahwa kediktatoran militer lainnya akan diatur untuk memerintah negara itu dan mendorong warga di kota Gwangju untuk berunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa tersebut kemudian dikenal sebagai Gerakan Demokratisasi Gwangju. Chun segera mengirim pasukan untuk mengakhiri gerakan protes itu dan menyebabkan pembantaian berdarah yang mengakibatkan kematian 4.900 orang. Insiden itu membuat Chun mendapat julukan "Penjagal Gwangju."
Kepresidenan Chun dimulai dengan dia menghapus semua partai politik, membatasi kebebasan pers, dan memberlakukan konstitusi baru.
Pada 1983, Korea Utara mencoba pembunuhan Chun yang gagal hingga mengakibatkan kematian 17 orang.
Sementara Chun memerintah Korea Selatan sebagai diktator militer, dia tidak dapat mengubah pemerintahannya menjadi kekuasaan seumur hidup.
Konstitusi yang dia buat pada 1981 membatasi presiden untuk satu masa jabatan tujuh tahun, yang akhirnya dia patuhi.
Chun berencana menyerahkan negara itu kepada anak didiknya, Roh Tae-woo. Pada 1987, ketika Roh ditunjuk sebagai calon presiden, hal itu memicu demonstrasi pro-demokrasi di seluruh Korea Selatan.
Untuk menenangkan gerakan pro-demokrasi yang melanda negara itu, Roh menjanjikan pemilu presiden langsung Korea Selatan.
Pada Desember 1987, Roh memenangkan pemilu presiden dan Chun menyerahkan kursi kepresidenan kepada Roh pada Februari 1988 dalam transfer kekuasaan damai pertama dalam sejarah Korea Selatan.
Chun diadili masyarakat Korea Selatan yang semakin demokratis. Pada April 1997, dia dihukum karena memimpin pemberontakan, konspirasi melakukan pemberontakan, ikut serta dalam pemberontakan, perintah gerakan pasukan ilegal, melalaikan tugas selama darurat militer, pembunuhan perwira tinggi, percobaan pembunuhan perwira tinggi, pembunuhan prajurit rendah, memimpin pemberontakan, persekongkolan untuk melakukan pemberontakan, ikut serta dalam pemberontakan, pembunuhan untuk tujuan pemberontakan, dan kejahatan yang berkaitan dengan penyuapan. Dia divonis hukuman seumur hidup dan denda 220 miliar won.
Hukuman Chun diringankan pada Desember 1997, tetapi dia masih diharuskan membayar denda 220 miliar won.
Pada November 2020, Chun dinyatakan bersalah karena mencemarkan nama baik seorang aktivis pro-demokrasi Cho Chul-hyun.
Dalam memoarnya tahun 2017, Chun menyebut Cho Chul-hyun sebagai “pembohong tercela” karena bersaksi bahwa helikopter pemerintah telah menembaki warga sipil.
Hukuman dua tahun penjara Chun ditangguhkan karena usia tuanya dan kesehatannya yang memburuk.
Chun meninggal di rumahnya di Seoul pada pukul 08:40 pagi waktu setempat. Dilaporkan pada Agustus tahun ini bahwa dia telah didiagnosis dengan multiple myeloma, sejenis kanker darah yang mempengaruhi sel plasma. Dia dilaporkan meninggal karena serangan jantung.
Warisan Chun sangat rumit. Dia naik ke tampuk kekuasaan melalui kudeta militer dan memerintah Korea Selatan sebagai orang kuat.
Pada Mei 1980, saat Chun mengkonsolidasikan kekuasaannya atas Korea Selatan, dia memberlakukan darurat militer di seluruh negeri.
Langkah itu memberi isyarat kepada orang Korea bahwa kediktatoran militer lainnya akan diatur untuk memerintah negara itu dan mendorong warga di kota Gwangju untuk berunjuk rasa.
Aksi unjuk rasa tersebut kemudian dikenal sebagai Gerakan Demokratisasi Gwangju. Chun segera mengirim pasukan untuk mengakhiri gerakan protes itu dan menyebabkan pembantaian berdarah yang mengakibatkan kematian 4.900 orang. Insiden itu membuat Chun mendapat julukan "Penjagal Gwangju."
Kepresidenan Chun dimulai dengan dia menghapus semua partai politik, membatasi kebebasan pers, dan memberlakukan konstitusi baru.
Pada 1983, Korea Utara mencoba pembunuhan Chun yang gagal hingga mengakibatkan kematian 17 orang.
Sementara Chun memerintah Korea Selatan sebagai diktator militer, dia tidak dapat mengubah pemerintahannya menjadi kekuasaan seumur hidup.
Konstitusi yang dia buat pada 1981 membatasi presiden untuk satu masa jabatan tujuh tahun, yang akhirnya dia patuhi.
Chun berencana menyerahkan negara itu kepada anak didiknya, Roh Tae-woo. Pada 1987, ketika Roh ditunjuk sebagai calon presiden, hal itu memicu demonstrasi pro-demokrasi di seluruh Korea Selatan.
Untuk menenangkan gerakan pro-demokrasi yang melanda negara itu, Roh menjanjikan pemilu presiden langsung Korea Selatan.
Pada Desember 1987, Roh memenangkan pemilu presiden dan Chun menyerahkan kursi kepresidenan kepada Roh pada Februari 1988 dalam transfer kekuasaan damai pertama dalam sejarah Korea Selatan.
Chun diadili masyarakat Korea Selatan yang semakin demokratis. Pada April 1997, dia dihukum karena memimpin pemberontakan, konspirasi melakukan pemberontakan, ikut serta dalam pemberontakan, perintah gerakan pasukan ilegal, melalaikan tugas selama darurat militer, pembunuhan perwira tinggi, percobaan pembunuhan perwira tinggi, pembunuhan prajurit rendah, memimpin pemberontakan, persekongkolan untuk melakukan pemberontakan, ikut serta dalam pemberontakan, pembunuhan untuk tujuan pemberontakan, dan kejahatan yang berkaitan dengan penyuapan. Dia divonis hukuman seumur hidup dan denda 220 miliar won.
Hukuman Chun diringankan pada Desember 1997, tetapi dia masih diharuskan membayar denda 220 miliar won.
Pada November 2020, Chun dinyatakan bersalah karena mencemarkan nama baik seorang aktivis pro-demokrasi Cho Chul-hyun.
Dalam memoarnya tahun 2017, Chun menyebut Cho Chul-hyun sebagai “pembohong tercela” karena bersaksi bahwa helikopter pemerintah telah menembaki warga sipil.
Hukuman dua tahun penjara Chun ditangguhkan karena usia tuanya dan kesehatannya yang memburuk.
(sya)
tulis komentar anda