Singapura Bersiap Hukum Gantung Pria Malaysia Penderita Cacat Mental
Jum'at, 05 November 2021 - 10:31 WIB
SINGAPURA - Singapura sedang bersiap untuk mengeksekusi mati seorang pria Malaysia yang menderita cacat mental dan gangguan intelektual. Nagaenthran Dharmalingam (33) dijatuhi hukuman gantung karena terbukti menyelundupkan heroin ke Singapura lebih dari satu dekade lalu.
Seperti dilaporkan International Federation for Human Rights, Rabu (3/11/2021), pada April 2009, Dharmalingam ditangkap di pos pemeriksaan perbatasan Woodlands karena mengimpor 42,72gram heroin secara ilegal ke Singapura dari Malaysia. Pada November 2010, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati berdasarkan UU Penyalahgunaan Narkoba Singapura.
Selama persidangan, hasil evaluasi kejiwaan menunjukkan bahwa ia menderita cacat mental dan gangguan intelektual. Menurut International Federation for Human Rights, penerapan hukuman mati dalam kasus Dharmalingam tampaknya melanggar Pasal 5, 10, 13, dan 15 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, di mana Singapura menjadi negara yang mengakui konvensi itu.
Dharmalingam dijadwalkan akan dieksekusi dengan cara digantung di Penjara Changi Singapura pada 10 November 2021. Sebuah tantangan konstitusional atas eksekusinya diperkirakan akan disidangkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura pada 8 November. Dharmalingam bisa menjadi tahanan pertama yang dieksekusi di Singapura sejak awal pandemi COVID-19 di tahun 2020 silam.
Masih menurut laporan International Federation for Human Rights, pada 28 Oktober lalu, keluarga Dharmalingam yang tinggal di Ipoh, Malaysia telah menerima surat dari pemerintah Singapura tertanggal 26 Oktober 2021 yang menginformasikan kepada mereka tentang rencana eksekusi Dharmalingam.
Di bawah aturan pembatasan perjalanan COVID-19 Singapura saat ini, anggota keluarga Dharmalingam diizinkan melakukan perjalanan ke Singapura untuk mengunjunginya sebelum dieksekusi. Namun, mereka harus mengikuti serangkaian hambatan administratif yang ketat, termasuk mengurus sejumlah dokumen, tes COVID-19, menjalani karantina wajib 10 hari, dan dilarang naik transportasi umum ke dan dari penjara selama mereka tinggal.
“Mereka menghukum seluruh keluarga kami,” kata Sarmila Dharmalingam, kakak perempuannya. “Hukuman gantung ini bukan hanya hukuman bagi orang yang melakukan kesalahan, ini adalah hukuman bagi kita semua,” lanjut Sarmila, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (4/11/2021).
Seperti dilaporkan International Federation for Human Rights, Rabu (3/11/2021), pada April 2009, Dharmalingam ditangkap di pos pemeriksaan perbatasan Woodlands karena mengimpor 42,72gram heroin secara ilegal ke Singapura dari Malaysia. Pada November 2010, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati berdasarkan UU Penyalahgunaan Narkoba Singapura.
Selama persidangan, hasil evaluasi kejiwaan menunjukkan bahwa ia menderita cacat mental dan gangguan intelektual. Menurut International Federation for Human Rights, penerapan hukuman mati dalam kasus Dharmalingam tampaknya melanggar Pasal 5, 10, 13, dan 15 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, di mana Singapura menjadi negara yang mengakui konvensi itu.
Dharmalingam dijadwalkan akan dieksekusi dengan cara digantung di Penjara Changi Singapura pada 10 November 2021. Sebuah tantangan konstitusional atas eksekusinya diperkirakan akan disidangkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura pada 8 November. Dharmalingam bisa menjadi tahanan pertama yang dieksekusi di Singapura sejak awal pandemi COVID-19 di tahun 2020 silam.
Masih menurut laporan International Federation for Human Rights, pada 28 Oktober lalu, keluarga Dharmalingam yang tinggal di Ipoh, Malaysia telah menerima surat dari pemerintah Singapura tertanggal 26 Oktober 2021 yang menginformasikan kepada mereka tentang rencana eksekusi Dharmalingam.
Di bawah aturan pembatasan perjalanan COVID-19 Singapura saat ini, anggota keluarga Dharmalingam diizinkan melakukan perjalanan ke Singapura untuk mengunjunginya sebelum dieksekusi. Namun, mereka harus mengikuti serangkaian hambatan administratif yang ketat, termasuk mengurus sejumlah dokumen, tes COVID-19, menjalani karantina wajib 10 hari, dan dilarang naik transportasi umum ke dan dari penjara selama mereka tinggal.
“Mereka menghukum seluruh keluarga kami,” kata Sarmila Dharmalingam, kakak perempuannya. “Hukuman gantung ini bukan hanya hukuman bagi orang yang melakukan kesalahan, ini adalah hukuman bagi kita semua,” lanjut Sarmila, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (4/11/2021).
tulis komentar anda