Korban Kekerasan Myanmar Dapat Perawatan di Perbatasan Thailand
Selasa, 30 Maret 2021 - 14:48 WIB
BANGKOK - Lebih dari selusin orang yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar diizinkan menyeberang ke desa perbatasan Thailand pada Selasa (30/3) untuk menerima perawatan medis.
Adapun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Thailand membantah memiliki kebijakan untuk menolak para pengungsi dari Myanmar.
Seorang pejabat kesehatan di desa Mae Sam Laep mengatakan orang-orang yang tiba dengan perahu melintasi sungai Salween yang menandai perbatasan. Mereka adalah etnis Karen yang menentang kudeta militer Myanmar pada Februari.
Namun, seorang pejabat lain di daerah itu, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan kepada Reuters bahwa tentara Thailand masih mengirim kembali sebagian besar dari pengungsi yang melarikan diri dari Myanmar karena menganggap situasi di perbatasan aman.
Pada Selasa (30/3), warga desa Myanmar Kyaw Lar Bri, 48, mengaku terkena pecahan bom dari serangan udara pada Sabtu sebelum melarikan diri ke hutan dan naik perahu untuk menyeberangi sungai ke Mae Sam Laep bersama dengan enam orang terluka lainnya.
“Masih belum aman dan warga desa tidak berani kembali ke desa,” ujar dia.
Wanita lain yang menerima perawatan di Thailand tampaknya memiliki luka tergores dan lecet di wajahnya.
Para aktivis menuduh Thailand mengusir ribuan calon pengungsi kembali ke Myanmar. Aktivis video yang diterbitkan Reuters tentang orang-orang yang menaiki perahu di tepi sungai dalam pengawasan tentara Thailand.
Pejabat Thailand membantah laporan tersebut pada Senin, tetapi seorang pejabat distrik di dekat perbatasan mengatakan pada pertemuan lokal pada hari yang sama bahwa orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar harus diblokir.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah memerangi pemerintah pusat Myanmar selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara.
Bentrokan besar meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Serikat Nasional Karen (KNU), yang juga mengecam kudeta tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, mengatakan pada Selasa bahwa mereka tidak memiliki kebijakan untuk menolak pengungsi.
Dia menambahkan, terkadang pengungsi secara sukarela kembali ke Myanmar.
Para pengunjuk rasa Myanmar menggelar renungan malam pada Senin (29/3) diterangi cahaya lilin setelah lebih dari 500 orang tewas sejak kudeta 1 Februari.
Para aktivis meluncurkan kampanye pembangkangan sipil baru dengan membuang sampah ke jalan-jalan.
Dari 14 warga sipil yang tewas di Myanmar pada Senin, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan delapan orang korban tewas berada di distrik Dagon Selatan, Yangon.
“Pasukan keamanan di daerah itu menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya pada Senin untuk membersihkan barikade kantong pasir,” ungkap saksi mata. Tidak segera jelas jenis senjata apa yang digunakan pasukan keamanan.
Televisi pemerintah melaporkan pasukan keamanan menggunakan "senjata anti huru hara" untuk membubarkan kerumunan "orang-orang teroris yang kejam" yang menghancurkan trotoar dan satu orang terluka.
Seorang warga Dagon Selatan pada Selasa (30/3) mengatakan lebih banyak tembakan terdengar di daerah itu semalam hingga meningkatkan kekhawatiran lebih banyak korban.
Polisi dan juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk komentar dari Reuters.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak para jenderal Myanmar menghentikan pembunuhan dan penindasan demonstrasi.
Dalam taktik baru, pengunjuk rasa berusaha untuk meningkatkan kampanye pembangkangan sipil pada Selasa dengan meminta penduduk membuang sampah ke jalan-jalan di persimpangan jalan utama.
“Aksi serangan sampah ini adalah serangan untuk menentang junta,” tulis poster di media sosial.
Aksi itu bertentangan dengan seruan yang dikeluarkan melalui pengeras suara di beberapa lingkungan Yangon pada Senin yang mendesak penduduk membuang sampah dengan benar.
“Sekitar 510 warga sipil telah tewas dalam hampir dua bulan upaya menghentikan protes,” papar laporan kelompok advokasi AAPP.
Total korban tewas pada Sabtu, hari paling berdarah sejauh ini, telah meningkat menjadi 141, sesuai data AAPP.
Salah satu kelompok utama di balik protes, Komite Pemogokan Umum Nasional, pada Senin dalam surat terbuka meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang “penindasan yang tidak adil” oleh militer.
Sebagai tanda seruan itu mungkin mendapatkan lebih banyak daya tarik, tiga kelompok dalam surat bersama pada Selasa meminta militer berhenti membunuh pengunjuk rasa damai dan menyelesaikan masalah politik.
Kelompok dalam surat bersama itu termasuk Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang.
Mereka memperingatkan jika militer tidak melakukan seruan ini, mereka akan bekerja sama dengan semua bangsa yang bergabung dengan revolusi musim semi Myanmar dalam hal pertahanan diri.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju gencatan senjata, pertempuran berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di wilayah timur dan utara.
Pertempuran hebat meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).
“Sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah KNU setelah pasukan KNU menyerbu pos militer dan menewaskan 10 tentara,” papar kelompok aktivis dan media.
Pihak berwenang Thailand membantah pernyataan kelompok aktivis bahwa lebih dari 2.000 pengungsi telah dipaksa kembali, tetapi seorang pejabat Thailand mengatakan itu adalah kebijakan pemerintah bagi tentara untuk memblokir mereka di perbatasan dan menolak akses kelompok bantuan luar.
Militer Myanmar selama beberapa dekade membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengatakan bahwa mereka satu-satunya institusi yang mampu menjaga persatuan nasional.
Junta militer merebut kekuasaan dengan mengatakan pemilu November yang dimenangkan partai pimpinan Peraih Nobel Aung San Suu Kyi itu berlangsung curang. Tuduhan itu dibantah komisi pemilu Myanmar.
Perwakilan Dagang AS Katherine Tai mengatakan Amerika Serikat menangguhkan semua keterlibatan perdagangan dengan Myanmar sampai kembalinya pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Tetapi kritik asing dan sanksi Barat telah gagal mempengaruhi para jenderal dan Suu Kyi tetap ditahan di lokasi yang dirahasiakan. Banyak tokoh lain di partainya juga ditahan.
Adapun Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Thailand membantah memiliki kebijakan untuk menolak para pengungsi dari Myanmar.
Seorang pejabat kesehatan di desa Mae Sam Laep mengatakan orang-orang yang tiba dengan perahu melintasi sungai Salween yang menandai perbatasan. Mereka adalah etnis Karen yang menentang kudeta militer Myanmar pada Februari.
Namun, seorang pejabat lain di daerah itu, yang berbicara tanpa menyebut nama, mengatakan kepada Reuters bahwa tentara Thailand masih mengirim kembali sebagian besar dari pengungsi yang melarikan diri dari Myanmar karena menganggap situasi di perbatasan aman.
Pada Selasa (30/3), warga desa Myanmar Kyaw Lar Bri, 48, mengaku terkena pecahan bom dari serangan udara pada Sabtu sebelum melarikan diri ke hutan dan naik perahu untuk menyeberangi sungai ke Mae Sam Laep bersama dengan enam orang terluka lainnya.
“Masih belum aman dan warga desa tidak berani kembali ke desa,” ujar dia.
Wanita lain yang menerima perawatan di Thailand tampaknya memiliki luka tergores dan lecet di wajahnya.
Para aktivis menuduh Thailand mengusir ribuan calon pengungsi kembali ke Myanmar. Aktivis video yang diterbitkan Reuters tentang orang-orang yang menaiki perahu di tepi sungai dalam pengawasan tentara Thailand.
Pejabat Thailand membantah laporan tersebut pada Senin, tetapi seorang pejabat distrik di dekat perbatasan mengatakan pada pertemuan lokal pada hari yang sama bahwa orang-orang yang melarikan diri dari Myanmar harus diblokir.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah memerangi pemerintah pusat Myanmar selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara.
Bentrokan besar meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Serikat Nasional Karen (KNU), yang juga mengecam kudeta tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat, mengatakan pada Selasa bahwa mereka tidak memiliki kebijakan untuk menolak pengungsi.
Dia menambahkan, terkadang pengungsi secara sukarela kembali ke Myanmar.
Para pengunjuk rasa Myanmar menggelar renungan malam pada Senin (29/3) diterangi cahaya lilin setelah lebih dari 500 orang tewas sejak kudeta 1 Februari.
Para aktivis meluncurkan kampanye pembangkangan sipil baru dengan membuang sampah ke jalan-jalan.
Dari 14 warga sipil yang tewas di Myanmar pada Senin, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan delapan orang korban tewas berada di distrik Dagon Selatan, Yangon.
“Pasukan keamanan di daerah itu menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya pada Senin untuk membersihkan barikade kantong pasir,” ungkap saksi mata. Tidak segera jelas jenis senjata apa yang digunakan pasukan keamanan.
Televisi pemerintah melaporkan pasukan keamanan menggunakan "senjata anti huru hara" untuk membubarkan kerumunan "orang-orang teroris yang kejam" yang menghancurkan trotoar dan satu orang terluka.
Seorang warga Dagon Selatan pada Selasa (30/3) mengatakan lebih banyak tembakan terdengar di daerah itu semalam hingga meningkatkan kekhawatiran lebih banyak korban.
Polisi dan juru bicara junta tidak menjawab panggilan untuk komentar dari Reuters.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mendesak para jenderal Myanmar menghentikan pembunuhan dan penindasan demonstrasi.
Dalam taktik baru, pengunjuk rasa berusaha untuk meningkatkan kampanye pembangkangan sipil pada Selasa dengan meminta penduduk membuang sampah ke jalan-jalan di persimpangan jalan utama.
“Aksi serangan sampah ini adalah serangan untuk menentang junta,” tulis poster di media sosial.
Aksi itu bertentangan dengan seruan yang dikeluarkan melalui pengeras suara di beberapa lingkungan Yangon pada Senin yang mendesak penduduk membuang sampah dengan benar.
“Sekitar 510 warga sipil telah tewas dalam hampir dua bulan upaya menghentikan protes,” papar laporan kelompok advokasi AAPP.
Total korban tewas pada Sabtu, hari paling berdarah sejauh ini, telah meningkat menjadi 141, sesuai data AAPP.
Salah satu kelompok utama di balik protes, Komite Pemogokan Umum Nasional, pada Senin dalam surat terbuka meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang “penindasan yang tidak adil” oleh militer.
Sebagai tanda seruan itu mungkin mendapatkan lebih banyak daya tarik, tiga kelompok dalam surat bersama pada Selasa meminta militer berhenti membunuh pengunjuk rasa damai dan menyelesaikan masalah politik.
Kelompok dalam surat bersama itu termasuk Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang.
Mereka memperingatkan jika militer tidak melakukan seruan ini, mereka akan bekerja sama dengan semua bangsa yang bergabung dengan revolusi musim semi Myanmar dalam hal pertahanan diri.
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Meskipun banyak kelompok telah setuju gencatan senjata, pertempuran berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di wilayah timur dan utara.
Pertempuran hebat meletus pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara dan pejuang dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).
“Sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah KNU setelah pasukan KNU menyerbu pos militer dan menewaskan 10 tentara,” papar kelompok aktivis dan media.
Pihak berwenang Thailand membantah pernyataan kelompok aktivis bahwa lebih dari 2.000 pengungsi telah dipaksa kembali, tetapi seorang pejabat Thailand mengatakan itu adalah kebijakan pemerintah bagi tentara untuk memblokir mereka di perbatasan dan menolak akses kelompok bantuan luar.
Militer Myanmar selama beberapa dekade membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengatakan bahwa mereka satu-satunya institusi yang mampu menjaga persatuan nasional.
Junta militer merebut kekuasaan dengan mengatakan pemilu November yang dimenangkan partai pimpinan Peraih Nobel Aung San Suu Kyi itu berlangsung curang. Tuduhan itu dibantah komisi pemilu Myanmar.
Perwakilan Dagang AS Katherine Tai mengatakan Amerika Serikat menangguhkan semua keterlibatan perdagangan dengan Myanmar sampai kembalinya pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Tetapi kritik asing dan sanksi Barat telah gagal mempengaruhi para jenderal dan Suu Kyi tetap ditahan di lokasi yang dirahasiakan. Banyak tokoh lain di partainya juga ditahan.
(sya)
Lihat Juga :
tulis komentar anda