Jenderal Tertinggi NATO: China dan Rusia Bentuk Poros Kekuatan Baru
Sabtu, 06 Februari 2021 - 06:16 WIB
BRUSSELS - Jenderal tertinggi NATO , Tod Wolters, memperingatkan bahwa China dan Rusia telah membentuk poros kekuatan (axis of power) baru dengan agenda untuk membentuk tatanan internasional baru.
Baca Juga: Leon Spinks Jr, Marinir Juara Dunia Penakluk Muhammad Ali
Jenderal Wolters, Panglima Tertinggi Sekutu Eropa atau SACEUR, telah mengatakan kepada wartawan bahwa kerjasama dua kekuatan dunia yang berkembang itu "benar-benar menunjukkan kemunculan kemitraan kenyamanan".
Ini adalah kemitraan yang berpotensi menjangkau dunia, dari Timur Tengah hingga Pasifik Barat dan utara Arktik.
“Kami sangat waspada sehubungan dengan kerjasama yang berkembang itu,” kata Wolters. "Kerjasama seperti itu memajukan kepentingan bersama, dan kemajuan itu bisa merugikan Eropa dan negara-negara terkait dan sekitarnya."
Baca Juga: MMA Gempar! Pendekar Silat Muslim Meng-KO Petarung MMA di Amerika
NATO menuduh Rusia melanggar perjanjian internasional melalui pengembangan senjata nuklir baru. Aliansi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) itu juga menyalahkan serangan dunia maya yang bersumber dari Rusia dan kampanye disinformasi yang membuat Barat tidak stabil.
China juga berada di bawah pengawasan yang meningkat atas penindasannya terhadap orang-orang Uighur dan Tibet serta klaim teritorialnya yang agresif dan diplomasi "perangkap utang".
Baca Juga: Pesona Shella Bernadetha, Pevoli Cantik Indonesia yang Bikin Bagus Kahfi Kasmaran
Sementara itu, kedua pemerintah otoriter menunjukkan minat yang kuat di Kutub Utara karena es yang surut mengekspos potensi cadangan minyak, gas, dan mineral baru.
“Dalam menghadapi peningkatan aktivitas agresif di dataran tinggi utara dari Rusia, yang merupakan negara Arktik, dan China, yang mengeklaim sebagai negara dekat Arktik, kita harus menjaga keseimbangan kekuatan yang menguntungkan di wilayah ini untuk diri kita sendiri dan untuk sekutu kita," kata Sekretaris Angkatan Laut AS Kenneth Braithwaite saat menyamapaikan peringatannya bulan lalu.
Poros Muncul
Hal-hal tidak selalu begitu ramah di antara kedua kekuatan tersebut.
Rusia dan China berbagi perbatasan 4200 km. Sebagian besar provinsi timur Moskow yang kaya mineral diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari domain sejarahnya—termasuk kota Vladivostok.
Untuk saat ini, Presiden Vladimir Putin dan Ketua Xi Jinping telah mengesampingkan sumber ketidaksepakatan itu.
Rusia dan China mulai memperkuat hubungan diplomatik, ekonomi dan militer mereka setelah negara-negara Barat menjatuhkan sanksi terhadap Moskow pada 2014. Rusia baru saja menginvasi Semenanjung Crimea dan meluncurkan operasi tempur rahasia di timur Ukraina.
Pada tahun 2018, kedua kekuatan itu mengerahkan ratusan ribu pasukan dan pesawat serta kapal perang menuju latihan militer gabungan terbesar mereka.
Baca Juga: Kebobolan, Penyusup Berhasil Masuk Pangkalan Pesawat Kepresidenan AS
Pada 2019, Putin dan Xi berjabat tangan atas proyek pipa gas penting yang menghubungkan Siberia ke timur laut China.
Pada tahun 2020, kapal perang dan jet tempur Rusia bergabung dengan latihan militer China di Pasifik barat. Mereka juga mulai bekerja sama di Kutub Utara.
"Tanpa kehadiran dan kemitraan Angkatan Laut Amerika yang berkelanjutan di kawasan Arktik, perdamaian dan kemakmuran akan semakin ditantang oleh Rusia dan China, yang kepentingan dan nilainya berbeda secara dramatis dari kita," bunyi laporan Angkatan Laut AS baru-baru ini.
Sekitar 90 persen perdagangan dilakukan melalui laut. Es Arktik yang menyusut dapat secara dramatis mempersingkat rute pengiriman ke dan dari Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
“Jika dibiarkan, keuntungan tambahan dari peningkatan agresi dan aktivitas jahat dapat menghasilkan fait achievement, dengan keuntungan strategis jangka panjang bagi para pesaing kita,” imbuh laporan Blue Arctic: A Strategic Blueprint.
Skenario Kasus Terburuk
Fellow senior Hudson Institute Center for Defence Concepts, Bryan Clark, mengatakan Barat perlu mempertimbangkan kembali bagaimana bersaing dengan aliansi Rusia-China. Dia memperingatkan bahwa aliansi itu jauh melampaui kerjasama kapal perang dan pesawat tempur.
“Kecuali (Pentagon) mulai memikirkan kembali skenario dan menyeimbangkan kembali pasukannya, keberhasilan zona abu-abu China dan Rusia baru-baru ini di Laut China Timur dan Selatan atau Crimea dapat menjadi norma dan militer AS dapat menemukan dirinya kalah dalam pertempuran beberapa inci melawan pesaing yang sabar yang bersedia memainkan permainan panjang," paparnya, seperti dikutip news.com.au, Sabtu (6/2/2021).
Clark mengatakan Barat percaya skenario terburuk termasuk invasi ke Taiwan. "Blokade berkepanjangan pulau barat daya Jepang atau ancaman kapal selam berkelanjutan di lepas pantai AS," ujarnya.
Tetapi Clark mengatakan Moskow dan Beijing sangat menyadari hal ini dan telah menyesuaikan rencana mereka. "Keduanya secara metodis mengembangkan strategi dan sistem yang menghindari keuntungan militer AS dan mengeksploitasi kerentanannya dengan menghindari jenis situasi yang telah disiapkan pasukan AS," imbuh dia.
Mereka telah mengalihkan medan perang utama mereka dari laut dan langit ke domain digital dan propaganda.
"Militer China dan Rusia berusaha menjadikan informasi dan pengambilan keputusan sebagai medan pertempuran utama untuk konflik di masa depan...(untuk) mengarahkan pasukan untuk secara elektronik atau fisik menurunkan sumber informasi dan komunikasi lawan sambil memperkenalkan data palsu yang mengikis orientasi dan pemahaman pembela hak asasi manusia (HAM)," kata Clark.
Operasi hibrida tindak lanjut, atau zona abu-abu, yang menggunakan paramiliter dan "tentara bayaran" kemudian dapat mencapai tujuan tanpa memberikan pemicu langsung untuk pembalasan.
Tatanan Dunia Baru
Chairman China Jian Zemin dan Presiden Rusia Boris Yeltsin bertemu pada tahun 1997, bersumpah untuk "mempromosikan multipolarisasi dunia dan pembentukan tatanan internasional baru".
Pengganti mereka, Chairman Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin, berada di jalur yang tepat untuk menerapkan rencana itu.
“Para analis di Barat secara khusus meragukan bahwa Beijing dan Moskow dapat mengatasi ketidakpercayaan dan persaingan selama puluhan tahun untuk bekerja sama melawan upaya AS untuk mempertahankan dan membentuk tatanan internasional,” tulis ilmuwan politik Profesor Alexander Cooley dan Associate Professor Daniel Nexon.
“Tapi deklarasi 1997 sekarang tampak seperti cetak biru bagaimana Beijing dan Moskow mencoba mengatur ulang politik internasional dalam 20 tahun terakhir," lanjut kedua pakar tersebut.
Keduanya berusaha memanipulasi dan mendiskreditkan organisasi internasional dan institusi Barat.
“Pada saat yang sama, mereka membangun tatanan alternatif melalui lembaga dan tempat baru di mana mereka memiliki pengaruh yang lebih besar dan dapat mengurangi penekanan pada hak asasi manusia dan kebebasan sipil,” imbuh mereka. “Hasil akhirnya adalah munculnya struktur paralel dari pemerintahan global yang didominasi oleh negara otoriter dan bersaing dengan struktur yang lebih lama dan lebih liberal.”
Itu adalah hasil dari aliansi mereka yang semakin meningkat seperti halnya latihan militer gabungan yang lebih terlihat.
"Beijing dan Moskow tampaknya berhasil mengelola aliansi kenyamanan mereka, menentang prediksi bahwa mereka tidak akan dapat mentoleransi proyek internasional satu sama lain," kata Cooley dan Nexon.
Persaingan kekuatan besar baru ini sedang diperjuangkan di antara organisasi non-pemerintah internasional, badan amal, lembaga pemberi pinjaman, dan pengadilan hukum.
“Meskipun Amerika Serikat masih menikmati supremasi militer, dimensi dominasi AS itu sangat tidak cocok untuk menangani krisis global ini dan efek riaknya," papar Cooley dan Nexon.
Baca Juga: Leon Spinks Jr, Marinir Juara Dunia Penakluk Muhammad Ali
Jenderal Wolters, Panglima Tertinggi Sekutu Eropa atau SACEUR, telah mengatakan kepada wartawan bahwa kerjasama dua kekuatan dunia yang berkembang itu "benar-benar menunjukkan kemunculan kemitraan kenyamanan".
Ini adalah kemitraan yang berpotensi menjangkau dunia, dari Timur Tengah hingga Pasifik Barat dan utara Arktik.
“Kami sangat waspada sehubungan dengan kerjasama yang berkembang itu,” kata Wolters. "Kerjasama seperti itu memajukan kepentingan bersama, dan kemajuan itu bisa merugikan Eropa dan negara-negara terkait dan sekitarnya."
Baca Juga: MMA Gempar! Pendekar Silat Muslim Meng-KO Petarung MMA di Amerika
NATO menuduh Rusia melanggar perjanjian internasional melalui pengembangan senjata nuklir baru. Aliansi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) itu juga menyalahkan serangan dunia maya yang bersumber dari Rusia dan kampanye disinformasi yang membuat Barat tidak stabil.
China juga berada di bawah pengawasan yang meningkat atas penindasannya terhadap orang-orang Uighur dan Tibet serta klaim teritorialnya yang agresif dan diplomasi "perangkap utang".
Baca Juga: Pesona Shella Bernadetha, Pevoli Cantik Indonesia yang Bikin Bagus Kahfi Kasmaran
Sementara itu, kedua pemerintah otoriter menunjukkan minat yang kuat di Kutub Utara karena es yang surut mengekspos potensi cadangan minyak, gas, dan mineral baru.
“Dalam menghadapi peningkatan aktivitas agresif di dataran tinggi utara dari Rusia, yang merupakan negara Arktik, dan China, yang mengeklaim sebagai negara dekat Arktik, kita harus menjaga keseimbangan kekuatan yang menguntungkan di wilayah ini untuk diri kita sendiri dan untuk sekutu kita," kata Sekretaris Angkatan Laut AS Kenneth Braithwaite saat menyamapaikan peringatannya bulan lalu.
Poros Muncul
Hal-hal tidak selalu begitu ramah di antara kedua kekuatan tersebut.
Rusia dan China berbagi perbatasan 4200 km. Sebagian besar provinsi timur Moskow yang kaya mineral diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari domain sejarahnya—termasuk kota Vladivostok.
Untuk saat ini, Presiden Vladimir Putin dan Ketua Xi Jinping telah mengesampingkan sumber ketidaksepakatan itu.
Rusia dan China mulai memperkuat hubungan diplomatik, ekonomi dan militer mereka setelah negara-negara Barat menjatuhkan sanksi terhadap Moskow pada 2014. Rusia baru saja menginvasi Semenanjung Crimea dan meluncurkan operasi tempur rahasia di timur Ukraina.
Pada tahun 2018, kedua kekuatan itu mengerahkan ratusan ribu pasukan dan pesawat serta kapal perang menuju latihan militer gabungan terbesar mereka.
Baca Juga: Kebobolan, Penyusup Berhasil Masuk Pangkalan Pesawat Kepresidenan AS
Pada 2019, Putin dan Xi berjabat tangan atas proyek pipa gas penting yang menghubungkan Siberia ke timur laut China.
Pada tahun 2020, kapal perang dan jet tempur Rusia bergabung dengan latihan militer China di Pasifik barat. Mereka juga mulai bekerja sama di Kutub Utara.
"Tanpa kehadiran dan kemitraan Angkatan Laut Amerika yang berkelanjutan di kawasan Arktik, perdamaian dan kemakmuran akan semakin ditantang oleh Rusia dan China, yang kepentingan dan nilainya berbeda secara dramatis dari kita," bunyi laporan Angkatan Laut AS baru-baru ini.
Sekitar 90 persen perdagangan dilakukan melalui laut. Es Arktik yang menyusut dapat secara dramatis mempersingkat rute pengiriman ke dan dari Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
“Jika dibiarkan, keuntungan tambahan dari peningkatan agresi dan aktivitas jahat dapat menghasilkan fait achievement, dengan keuntungan strategis jangka panjang bagi para pesaing kita,” imbuh laporan Blue Arctic: A Strategic Blueprint.
Skenario Kasus Terburuk
Fellow senior Hudson Institute Center for Defence Concepts, Bryan Clark, mengatakan Barat perlu mempertimbangkan kembali bagaimana bersaing dengan aliansi Rusia-China. Dia memperingatkan bahwa aliansi itu jauh melampaui kerjasama kapal perang dan pesawat tempur.
“Kecuali (Pentagon) mulai memikirkan kembali skenario dan menyeimbangkan kembali pasukannya, keberhasilan zona abu-abu China dan Rusia baru-baru ini di Laut China Timur dan Selatan atau Crimea dapat menjadi norma dan militer AS dapat menemukan dirinya kalah dalam pertempuran beberapa inci melawan pesaing yang sabar yang bersedia memainkan permainan panjang," paparnya, seperti dikutip news.com.au, Sabtu (6/2/2021).
Clark mengatakan Barat percaya skenario terburuk termasuk invasi ke Taiwan. "Blokade berkepanjangan pulau barat daya Jepang atau ancaman kapal selam berkelanjutan di lepas pantai AS," ujarnya.
Tetapi Clark mengatakan Moskow dan Beijing sangat menyadari hal ini dan telah menyesuaikan rencana mereka. "Keduanya secara metodis mengembangkan strategi dan sistem yang menghindari keuntungan militer AS dan mengeksploitasi kerentanannya dengan menghindari jenis situasi yang telah disiapkan pasukan AS," imbuh dia.
Mereka telah mengalihkan medan perang utama mereka dari laut dan langit ke domain digital dan propaganda.
"Militer China dan Rusia berusaha menjadikan informasi dan pengambilan keputusan sebagai medan pertempuran utama untuk konflik di masa depan...(untuk) mengarahkan pasukan untuk secara elektronik atau fisik menurunkan sumber informasi dan komunikasi lawan sambil memperkenalkan data palsu yang mengikis orientasi dan pemahaman pembela hak asasi manusia (HAM)," kata Clark.
Operasi hibrida tindak lanjut, atau zona abu-abu, yang menggunakan paramiliter dan "tentara bayaran" kemudian dapat mencapai tujuan tanpa memberikan pemicu langsung untuk pembalasan.
Tatanan Dunia Baru
Chairman China Jian Zemin dan Presiden Rusia Boris Yeltsin bertemu pada tahun 1997, bersumpah untuk "mempromosikan multipolarisasi dunia dan pembentukan tatanan internasional baru".
Pengganti mereka, Chairman Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin, berada di jalur yang tepat untuk menerapkan rencana itu.
“Para analis di Barat secara khusus meragukan bahwa Beijing dan Moskow dapat mengatasi ketidakpercayaan dan persaingan selama puluhan tahun untuk bekerja sama melawan upaya AS untuk mempertahankan dan membentuk tatanan internasional,” tulis ilmuwan politik Profesor Alexander Cooley dan Associate Professor Daniel Nexon.
“Tapi deklarasi 1997 sekarang tampak seperti cetak biru bagaimana Beijing dan Moskow mencoba mengatur ulang politik internasional dalam 20 tahun terakhir," lanjut kedua pakar tersebut.
Keduanya berusaha memanipulasi dan mendiskreditkan organisasi internasional dan institusi Barat.
“Pada saat yang sama, mereka membangun tatanan alternatif melalui lembaga dan tempat baru di mana mereka memiliki pengaruh yang lebih besar dan dapat mengurangi penekanan pada hak asasi manusia dan kebebasan sipil,” imbuh mereka. “Hasil akhirnya adalah munculnya struktur paralel dari pemerintahan global yang didominasi oleh negara otoriter dan bersaing dengan struktur yang lebih lama dan lebih liberal.”
Itu adalah hasil dari aliansi mereka yang semakin meningkat seperti halnya latihan militer gabungan yang lebih terlihat.
"Beijing dan Moskow tampaknya berhasil mengelola aliansi kenyamanan mereka, menentang prediksi bahwa mereka tidak akan dapat mentoleransi proyek internasional satu sama lain," kata Cooley dan Nexon.
Persaingan kekuatan besar baru ini sedang diperjuangkan di antara organisasi non-pemerintah internasional, badan amal, lembaga pemberi pinjaman, dan pengadilan hukum.
“Meskipun Amerika Serikat masih menikmati supremasi militer, dimensi dominasi AS itu sangat tidak cocok untuk menangani krisis global ini dan efek riaknya," papar Cooley dan Nexon.
(min)
Lihat Juga :
tulis komentar anda