Saudi-Qatar Buka Blokade Jadi Sinyal Unifikasi Negara Teluk
Rabu, 06 Januari 2021 - 06:52 WIB
Saudi dan Qatar memiliki pandangan ideologi yang sangat berbeda. Di balik membaiknya hubungan Saudi dan Qatar, kedua negara masih menyimpan bara yang masih menyala. Ketika momen memburuk dan kondisi tidak mendukung, bisa saja kembali memicu konflik serta ketegangan antara Doha dan Qatar.
Ketegangan kedua negara berawal ketika Saudi tidak menyukai dukungan Qatar terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) yang dianggap Riyadh sebagai ancaman bagi negaranya. Qatar masih melindungi banyak ulama IM. Padahal, IM menjadi organisasi terlarang di banyak negara di Timur Tengah. Tekanan Saudi agar Qatar tidak mengakomodir IM tidak pernah didengar dan dilaksanakan Doha.
Riyadh juga tidak suka dengan Qatar yang memiliki hubungan baik dengan Iran. Padahal, Iran musuh abadi bagi Saudi. Qatar dinilai memberikan banyak ruang bagi Iran di negaranya. Qatar juga tidak bersikap tegas ke Iran mengenai pengembangan senjata nuklir. Baik Saudi dan sekutunya selalu menuding Qatar memberikan dana besar kepada kelompok yang berafiliasi dengan Iran, seperti Hezbollah dan Hamas.
Permusuhan dengan Qatar juga dikarenakan kedekatan Doha dengan Turki. Diketahui, Turki memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan utama dan pemersatu di Timur Tengah. Ankara pun mendekati Doha, dan kedua belah pihak saling percaya. Bahkan, Turki pun mengirimkan pasukan ke Doha ketika Saudi menutup perbatasan dengan Qatar.
Sebenarnya awal ketegangan Qatar dan Saudi dikarenakan Doha mendukung gerakan Arab Spring pernah melanda Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2011. Saudi dan Qatar merupakan sekutu utama AS memang menghindari konflik langsung. Namun, perang proxy yang dilakukan kedua belah pihak membuat Timur Tengah juga ikut membara.
(Baca juga: Jelang Lengser, Trump dan Raja Salman Bahas Krisis Qatar vs 4 Negara Arab )
Dalam pandangan Samuel Ramani, pakar Timur Tengah asal Universitas Oxford, resolusi berakhirnya blokade Qatar oleh Saudi tidak akan menciptakan front bersatu melawan Iran. Dia memprediksi ada empat kebijakan haluan yang mendominasi Negara Teluk.
“Oman akan tetap mendekati Iran, Qatar dan Kuwait akan mempertahankan sikap bertahan, Uni Emirat Arab mengelola konfrontasi, sedangkan Arab Saudi dan Bahrain akan tetap berkonfrontasi dengan Iran,” katanya dilansir dari akun Twitter-nya.
Sedangkan dalam pandangan Khalid al-Dekhayel, pakar politik Saudi, deekskalasi krisis Qatar dan Saudi mungkin memiliki fondasi yang dangkal. "Ketidaksepakatan utama antara Riyadh dan Doha masih belum terselesaikan," ungkapnya dilansir Al Jazeera.
Hal senada diungkapkan seorang diplomat senior negara Teluk yang mengungkapkan bahwa kesepakatan itu sebagai hal baik karena menunjukkan arah perkembangan positif. Namun, kesepakatan itu tidak akan mengakhiri ketegangan di Teluk.
Ketegangan kedua negara berawal ketika Saudi tidak menyukai dukungan Qatar terhadap Ikhwanul Muslimin (IM) yang dianggap Riyadh sebagai ancaman bagi negaranya. Qatar masih melindungi banyak ulama IM. Padahal, IM menjadi organisasi terlarang di banyak negara di Timur Tengah. Tekanan Saudi agar Qatar tidak mengakomodir IM tidak pernah didengar dan dilaksanakan Doha.
Riyadh juga tidak suka dengan Qatar yang memiliki hubungan baik dengan Iran. Padahal, Iran musuh abadi bagi Saudi. Qatar dinilai memberikan banyak ruang bagi Iran di negaranya. Qatar juga tidak bersikap tegas ke Iran mengenai pengembangan senjata nuklir. Baik Saudi dan sekutunya selalu menuding Qatar memberikan dana besar kepada kelompok yang berafiliasi dengan Iran, seperti Hezbollah dan Hamas.
Permusuhan dengan Qatar juga dikarenakan kedekatan Doha dengan Turki. Diketahui, Turki memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan utama dan pemersatu di Timur Tengah. Ankara pun mendekati Doha, dan kedua belah pihak saling percaya. Bahkan, Turki pun mengirimkan pasukan ke Doha ketika Saudi menutup perbatasan dengan Qatar.
Sebenarnya awal ketegangan Qatar dan Saudi dikarenakan Doha mendukung gerakan Arab Spring pernah melanda Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2011. Saudi dan Qatar merupakan sekutu utama AS memang menghindari konflik langsung. Namun, perang proxy yang dilakukan kedua belah pihak membuat Timur Tengah juga ikut membara.
(Baca juga: Jelang Lengser, Trump dan Raja Salman Bahas Krisis Qatar vs 4 Negara Arab )
Dalam pandangan Samuel Ramani, pakar Timur Tengah asal Universitas Oxford, resolusi berakhirnya blokade Qatar oleh Saudi tidak akan menciptakan front bersatu melawan Iran. Dia memprediksi ada empat kebijakan haluan yang mendominasi Negara Teluk.
“Oman akan tetap mendekati Iran, Qatar dan Kuwait akan mempertahankan sikap bertahan, Uni Emirat Arab mengelola konfrontasi, sedangkan Arab Saudi dan Bahrain akan tetap berkonfrontasi dengan Iran,” katanya dilansir dari akun Twitter-nya.
Sedangkan dalam pandangan Khalid al-Dekhayel, pakar politik Saudi, deekskalasi krisis Qatar dan Saudi mungkin memiliki fondasi yang dangkal. "Ketidaksepakatan utama antara Riyadh dan Doha masih belum terselesaikan," ungkapnya dilansir Al Jazeera.
Hal senada diungkapkan seorang diplomat senior negara Teluk yang mengungkapkan bahwa kesepakatan itu sebagai hal baik karena menunjukkan arah perkembangan positif. Namun, kesepakatan itu tidak akan mengakhiri ketegangan di Teluk.
Lihat Juga :
tulis komentar anda