Kisah Ilmuwan Tanpa Kewarganegaraan Coba Temukan Vaksin Covid-19
Minggu, 03 Januari 2021 - 04:01 WIB
Meskipun ibu Rahhal adalah orang Suriah, undang-undang di banyak negara Arab melarang wanita untuk mewariskan kewarganegaraan mereka kepada anak-anak mereka. Jadi, Rahhal dan kedua saudara laki-laki serta saudara perempuannya terlahir tanpa kewarganegaraan, sama seperti ayah mereka.
Saat ini diperkirakan ada 10 juta orang tanpa kewarganegaraan di dunia, dengan populasi besar di Myanmar, Pantai Gading, Thailand, dan Republik Dominika. Hak-hak dasar mereka dirampas, mereka seringkali hidup terpinggirkan. Meski warga Palestina tanpa kewarganegaraan tidak menikmati hak yang sama dengan warga negara Suriah, mereka masih bisa mengakses pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan.
Rahhal, yang menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di pinggiran kota Damaskus, bersekolah di sekolah yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina. Dia mengaku beruntung dilahirkan dalam keluarga yang menghargai pendidikan. Ayahnya yang lahir di Suriah adalah seorang insinyur pertanian dan ibunya seorang ekonom.
(Baca: Kapan Jokowi Disuntik Vaksin Corona? Istana: Tergantung Kecepatan BPOM... )
Namun saat ia tumbuh dewasa, Rahhal melihat bagaimana keadaan tanpa kewarganegaraan menghentikan karier ayahnya dan mencegahnya mengejar peluang di luar negeri. Ada prasangka sosial juga. Setelah bertemu dengan seorang gadis di universitas, Rahhal hancur saat keluarganya mengakhiri hubungan.
“Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima, karena saya adalah pengungsi tanpa kewarganegaraan. Kejadian ini berdampak besar pada saya. Itu murni diskriminasi,” katanya.
Meninggalkan keluarganya pada tahun 2018 adalah hal yang sangat memilukan. “Rasanya seperti mengucapkan selamat tinggal hampir untuk yang terakhir kalinya, karena saya tidak tahu kapan saya akan bertemu mereka lagi. Ketika saya melihat keluarga saya menangis, saya bertekad untuk melakukan sesuatu yang membuat mereka bangga," ungkapnya.
Rahhal mengatakan, perang telah meninggalkannya dengan luka fisik dan psikologis. Tetapi, ia memilih untuk tidak membicarakan pengalamannya. Dia tidak melarikan diri dari Suriah sebagai pengungsi, tetapi mendaftar untuk belajar di Jerman setelah mendapatkan gelar dalam ilmu farmasi dari Universitas Damaskus.
(Baca: Vaksin Covid-19 Bisa Digunakan jika Efektivitasnya di Atas 50% )
Ketekunan Rahhal telah membuatnya dinominasikan sebagai siswa internasional terbaik di Universitas Kassel, di mana dia menerima gelar master dalam ilmu nano bulan ini, dengan nilai tertinggi. Dia juga belajar bahasa Jerman, bekerja pada penelitian obat kanker dan membantu proyek mendongeng dwibahasa untuk anak-anak pengungsi.
Saat ini diperkirakan ada 10 juta orang tanpa kewarganegaraan di dunia, dengan populasi besar di Myanmar, Pantai Gading, Thailand, dan Republik Dominika. Hak-hak dasar mereka dirampas, mereka seringkali hidup terpinggirkan. Meski warga Palestina tanpa kewarganegaraan tidak menikmati hak yang sama dengan warga negara Suriah, mereka masih bisa mengakses pendidikan, perawatan kesehatan, dan pekerjaan.
Rahhal, yang menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di pinggiran kota Damaskus, bersekolah di sekolah yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi Palestina. Dia mengaku beruntung dilahirkan dalam keluarga yang menghargai pendidikan. Ayahnya yang lahir di Suriah adalah seorang insinyur pertanian dan ibunya seorang ekonom.
(Baca: Kapan Jokowi Disuntik Vaksin Corona? Istana: Tergantung Kecepatan BPOM... )
Namun saat ia tumbuh dewasa, Rahhal melihat bagaimana keadaan tanpa kewarganegaraan menghentikan karier ayahnya dan mencegahnya mengejar peluang di luar negeri. Ada prasangka sosial juga. Setelah bertemu dengan seorang gadis di universitas, Rahhal hancur saat keluarganya mengakhiri hubungan.
“Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima, karena saya adalah pengungsi tanpa kewarganegaraan. Kejadian ini berdampak besar pada saya. Itu murni diskriminasi,” katanya.
Meninggalkan keluarganya pada tahun 2018 adalah hal yang sangat memilukan. “Rasanya seperti mengucapkan selamat tinggal hampir untuk yang terakhir kalinya, karena saya tidak tahu kapan saya akan bertemu mereka lagi. Ketika saya melihat keluarga saya menangis, saya bertekad untuk melakukan sesuatu yang membuat mereka bangga," ungkapnya.
Rahhal mengatakan, perang telah meninggalkannya dengan luka fisik dan psikologis. Tetapi, ia memilih untuk tidak membicarakan pengalamannya. Dia tidak melarikan diri dari Suriah sebagai pengungsi, tetapi mendaftar untuk belajar di Jerman setelah mendapatkan gelar dalam ilmu farmasi dari Universitas Damaskus.
(Baca: Vaksin Covid-19 Bisa Digunakan jika Efektivitasnya di Atas 50% )
Ketekunan Rahhal telah membuatnya dinominasikan sebagai siswa internasional terbaik di Universitas Kassel, di mana dia menerima gelar master dalam ilmu nano bulan ini, dengan nilai tertinggi. Dia juga belajar bahasa Jerman, bekerja pada penelitian obat kanker dan membantu proyek mendongeng dwibahasa untuk anak-anak pengungsi.
tulis komentar anda