Putri Soleimani: Donald Trump Monster, Bukan Ayah Saya
Kamis, 17 Desember 2020 - 14:37 WIB
TEHERAN - Putri dari jenderal Iran yang terbunuh dalam serangan drone Amerika Serikat (AS) di Irak, Qasem Soleimani , buka suara dalam wawancara internasional pertamanya hampir setahun setelah ayahnya dibunuh.
(Baca juga : Terinspirasi Pesawat Jet Tempur, Pagani Luncurkan Mobil Rp97,4 M )
Jenderal Soleimani, komandan pasukan Quds dalam Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran, tewas di luar ibu kota Irak Baghdad pada awal Januari dalam serangan yang diperintahkan langsung Presiden AS Donald Trump . Jenderal itu menjadi sasaran serangan pesawat tak berawak AS yang melenyapkan sebuah mobil yang ditumpangi Soleimani. Pejabat militer berpangkat tinggi lainnya, termasuk kepala paramiliter Irak Abu Mahdi al-Muhandis, juga tewas.
(Baca juga : Hidup Mewah Putin: Kekayaan Rp3.066 T, Istana hingga Armada Kapal Pesiar )
Pembunuhan itu dilakukan oleh Trump karena dia sangat marah dengan Soleimani dan pekerjaannya.
Terkait peristiwa itu putri Soleimani, Zeinab, percaya bahwa ayahnya telah mengganggu rencana AS di Timur Tengah. Dulu, Trump membual tentang pembunuhan itu, menggambarkan jenderal yang terbunuh itu sebagai "monster".
(Baca juga : Perempuan di Balik Sukses Lewandowski Jadi Pemain Terbaik Dunia )
Namun di mata Zeinab sebutan itu hampir tidak sesuai dengan kepribadian Soleimani, yang menyelamatkan banyak nyawa dalam perjuangannya melawan ISIS dan kelompok teroris Al-Qaeda.
"(Trump) adalah monsternya, bukan ayahku. Ayahku melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dan membuat mereka sangat marah," ujarnya.(Baca juga: Jenderal Iran Ancam Balas Semua yang Terlibat Pembunuhan Soleimani )
"Ayah saya menghancurkan rencana mereka (di Timur Tengah), tentu saja mereka akan senang jika mereka membunuhnya - dan mereka bangga,” katanya.
“Tentu saja bagi mereka ayahku adalah monster besar, tapi ayahku adalah penyelamat,” tegasnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (17/12/2020).
Pembunuhan Soleimani, kata Zeinab, telah menjadi bumerang bagi Washington, karena hal itu mendorong lebih banyak orang untuk melawan AS.(Baca juga: Pompeo: AS Bunuh Soleimani untuk Tunjukan 'Garis Merah' pada Iran )
“Setelah membunuh ayah saya, Amerika mengira semuanya akan dihentikan, karena mereka membunuh Jenderal Soleimani, kekuatan Timur Tengah. Tapi mereka salah,” ucap Zeinab.
"Mereka salah besar dalam berpikir bahwa ini akan menjadi akhir dari Jenderal Soleimani, ini adalah permulaan," tegasnya.
Pembunuhan Soleimani tidak hanya memicu kemarahan Teheran, juga meninggalkan kerusakan besar dalam hubungan antara Washington dan Baghdad, memicu tuduhan bahwa AS mengkhianati sekutunya. Pembunuhan itu mendorong parlemen Irak untuk mengadopsi resolusi tidak mengikat yang mendesak penarikan penuh pasukan asing dari negara itu, sementara Iran melancarkan serangan rudal di beberapa fasilitas militer yang menampung pasukan Amerika.(Baca juga: Eks Pemimpin Irak Bantah Baghdad Restui Pembunuhan Soleimani )
Insiden itu juga memicu serangkaian serangan terhadap instalasi AS di seluruh negeri, termasuk kedutaan besarnya di Baghdad. Serangan tersebut, yang dikaitkan dengan pasukan paramiliter Irak pro-Iran, telah melanda Amerika dan pasukan koalisi lainnya selama berbulan-bulan. Pada akhirnya, menyebabkan penarikan pasukan asing dari berbagai lokasi di seluruh Irak.
(Baca juga : Terinspirasi Pesawat Jet Tempur, Pagani Luncurkan Mobil Rp97,4 M )
Jenderal Soleimani, komandan pasukan Quds dalam Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran, tewas di luar ibu kota Irak Baghdad pada awal Januari dalam serangan yang diperintahkan langsung Presiden AS Donald Trump . Jenderal itu menjadi sasaran serangan pesawat tak berawak AS yang melenyapkan sebuah mobil yang ditumpangi Soleimani. Pejabat militer berpangkat tinggi lainnya, termasuk kepala paramiliter Irak Abu Mahdi al-Muhandis, juga tewas.
(Baca juga : Hidup Mewah Putin: Kekayaan Rp3.066 T, Istana hingga Armada Kapal Pesiar )
Pembunuhan itu dilakukan oleh Trump karena dia sangat marah dengan Soleimani dan pekerjaannya.
Terkait peristiwa itu putri Soleimani, Zeinab, percaya bahwa ayahnya telah mengganggu rencana AS di Timur Tengah. Dulu, Trump membual tentang pembunuhan itu, menggambarkan jenderal yang terbunuh itu sebagai "monster".
(Baca juga : Perempuan di Balik Sukses Lewandowski Jadi Pemain Terbaik Dunia )
Namun di mata Zeinab sebutan itu hampir tidak sesuai dengan kepribadian Soleimani, yang menyelamatkan banyak nyawa dalam perjuangannya melawan ISIS dan kelompok teroris Al-Qaeda.
"(Trump) adalah monsternya, bukan ayahku. Ayahku melakukan pekerjaannya dengan sangat baik dan membuat mereka sangat marah," ujarnya.(Baca juga: Jenderal Iran Ancam Balas Semua yang Terlibat Pembunuhan Soleimani )
"Ayah saya menghancurkan rencana mereka (di Timur Tengah), tentu saja mereka akan senang jika mereka membunuhnya - dan mereka bangga,” katanya.
“Tentu saja bagi mereka ayahku adalah monster besar, tapi ayahku adalah penyelamat,” tegasnya seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (17/12/2020).
Pembunuhan Soleimani, kata Zeinab, telah menjadi bumerang bagi Washington, karena hal itu mendorong lebih banyak orang untuk melawan AS.(Baca juga: Pompeo: AS Bunuh Soleimani untuk Tunjukan 'Garis Merah' pada Iran )
“Setelah membunuh ayah saya, Amerika mengira semuanya akan dihentikan, karena mereka membunuh Jenderal Soleimani, kekuatan Timur Tengah. Tapi mereka salah,” ucap Zeinab.
"Mereka salah besar dalam berpikir bahwa ini akan menjadi akhir dari Jenderal Soleimani, ini adalah permulaan," tegasnya.
Pembunuhan Soleimani tidak hanya memicu kemarahan Teheran, juga meninggalkan kerusakan besar dalam hubungan antara Washington dan Baghdad, memicu tuduhan bahwa AS mengkhianati sekutunya. Pembunuhan itu mendorong parlemen Irak untuk mengadopsi resolusi tidak mengikat yang mendesak penarikan penuh pasukan asing dari negara itu, sementara Iran melancarkan serangan rudal di beberapa fasilitas militer yang menampung pasukan Amerika.(Baca juga: Eks Pemimpin Irak Bantah Baghdad Restui Pembunuhan Soleimani )
Insiden itu juga memicu serangkaian serangan terhadap instalasi AS di seluruh negeri, termasuk kedutaan besarnya di Baghdad. Serangan tersebut, yang dikaitkan dengan pasukan paramiliter Irak pro-Iran, telah melanda Amerika dan pasukan koalisi lainnya selama berbulan-bulan. Pada akhirnya, menyebabkan penarikan pasukan asing dari berbagai lokasi di seluruh Irak.
(ber)
tulis komentar anda