Rusia Sebut Israel Sumber Masalah di Timur Tengah

Rabu, 09 Desember 2020 - 07:39 WIB
Dinamika antara Rusia, Iran, dan Israel terbukti kompleks di Suriah. Moskow dan Teheran berkoordinasi erat dalam upaya bersama mereka untuk mendukung Damaskus dalam perang selama hampir satu dekade melawan pemberontak dan kelompok militan seperti Negara Islam (ISIS), tetapi kepentingan mereka tidak selalu sejalan.

Namun, Rusia sebagian besar menyalahkan kekuatan asing yang bertindak di Suriah tanpa dukungan pemerintah yang mengganggu pekerjaan untuk mencapai perdamaian di negara yang dilanda perang itu. Pada hari Jumat, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memuji upaya Moskow untuk "mematahkan punggung" terorisme di Suriah sejak intervensi militer 2015 di sana, dan mengkritik kehadiran Amerika Serikat (AS) di negara itu.

"Tugas untuk menyediakan kondisi kehidupan yang layak bagi jutaan warga Suriah, yang telah selamat dari perang yang menghancurkan itu, semakin mengemuka. Ini membutuhkan partisipasi dari seluruh komunitas dunia," kata Lavrov dalam Dialog Mediterania 2020 di Roma. (Baca juga: Pakar yang Klaim Putin Idap Parkinson dan Kanker Ditangkap Polisi Rusia )

"Kami dengan menyesal harus menyatakan bahwa dalam menanggapi perubahan konstruktif dalam penyelesaian politik, Damaskus menerima kehadiran ilegal pasukan AS di wilayahnya, yang secara terang-terangan digunakan untuk mendorong separatisme dan untuk menghalangi pemulihan persatuan negara," cetusnya.

Diplomat top Rusia itu berbicara secara khusus menentang sanksi intensif AS yang dijatuhkan terhadap pemerintah Suriah selama pandemi Covid-19, yang telah mendatangkan malapetaka lebih lanjut pada runtuhnya ekonomi Suriah.

"Barat menunjukkan standar ganda yang menolak bantuan untuk Suriah, bahkan ketika masalah kemanusiaan diangkat," ucap Lavrov.

"Di tengah pandemi, Barat berpegang teguh pada kebijakan ekonomi yang mencekik Suriah," imbuhnya.

Meskipun Washington tidak menentang kehadiran Moskow di Suriah, mereka berupaya menarik pasukan yang terkait dengan Teheran, seperti yang telah dikomunikasikan Departemen Luar Negeri AS kepada Newsweek.

Sikap oposisi pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap jejak Iran di Timur Tengah adalah salah satu alasan yang dikutip untuk kepergian sepihak Gedung Putih dua setengah tahun yang lalu dari kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani oleh kedua negara, bersama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia. dan Inggris.

Kesepakatan itu memberikan keringanan sanksi internasional kepada Iran sebagai imbalan untuk menyetujui secara substansial mengekang program nuklir yang selalu dibantah oleh para pejabat Teheran yang dimaksudkan untuk menghasilkan bom. Tetapi skeptisisme, terutama dari AS, Israel, dan monarki Muslim seperti Arab Saudi, terus menyelimuti niat Iran.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More