Milenial Kecewa Sistem Demokrasi
Senin, 26 Oktober 2020 - 06:01 WIB
Secara global, generasi milenial gelombang pertama yang masuk perguruan tinggi masih memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi daripada pendahulunya. Tapi tingkat kepuasan itu menurun secara drastis menyusul banyaknya tantangan yang menguji demokrasi, mulai dari krisis keuangan, perang di timur tengah hingga wabah penyakit menular.
Adapun di AS, hampir 63% generasi milenial mengaku puas dengan sistem demokrasi di negaranya saat mereka berusia 20 tahunan. Namun saat memasuki usia 30 tahunan atau pasca-2010, jumlahnya menurun menjadi 50%. Padahal saat itu sebanyak 74% generasi baby boomers mengaku puas dan 68% di antaranya tetap puas sampai sekarang.
Generasi milenial dan generasi X terus mengalami penurunan kepuasan terhadap sistem demokrasi. Jika ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi terus berlanjut, hal itu akan memicu revolusi baru. Kenyataannya kebijakan di berbagai negara kini mulai berubah, mulai dari tingginya nasionalisme hingga perombakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Negara yang mampu membangun ekonomi secara merata cenderung stabil. Islandia dan Austria misalnya. Generasi milenial, generasi X, baby boomers, dan interwar di kedua negara itu hampir memiliki kepuasan yang sama tinggi. Sebaliknya di negara besar dengan jumlah penduduk banyak dan ketimpangan yang luas, perbedaannya kentara dan terus meningkat di setiap tahun. (Baca juga: Ilmuwan Ciptakan Laboratorium Pembentukan Bintang dan Planet)
“Tumpukan utang yang menggunung, rendahnya peluang memiliki rumah sendiri, sulitnya memulai rumah tangga, dan ketergantungan terhadap warisan bila dibandingkan dengan kerja keras dan bakat untuk meraih kesuksesan menyebabkan generasi muda saat ini merasa hampa dengan sistem demokrasi. Mereka merasa sistem ini tidak optimal,” kata Foa.
Adapun di negara lain di luar Eropa dan AS, sistem demokrasi juga kurang dirasakan manfaatnya oleh generasi muda. Di Amerika Latin dan Afrika, penelitian ini menunjukkan generasi muda di dua kawasan itu tampak jenuh dan lesu setelah 25 tahun berada di bawah sistem demokrasi mengingat penerapannya tidak sesuai dengan kampanye.
“Di seluruh dunia kami melihat adanya jurang pemisah antara generasi muda dan generasi sebelumnya dalam memandang fungsi demokrasi,” kata Foa. “Pemutusan hubungan demokrasi ini bukan berasal dari luar, tapi justru dari dalam. Para pemegang kebijakan gagal membuahkan hasil yang berarti bagi generasi muda sehingga tercipta ketidaksetaraan,” imbuhnya.
Kelompok yang diyakini sukses menerapkan sistem demokrasi dalam lima tahun terakhir ialah kelompok populis dan sayap kiri. Hal itu banyak terjadi di Eropa dan dibuktikan dengan naiknya Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Viktor Orban di Hungaria, dan Partai Law and Justice di Polandia. Generasi muda di bawah pimpinan kelompok populis mengaku puas.
“Populis kini lebih populer daripada moderat,” kata Daniella Wenger, salah satu peneliti dari University of Cambridge. “Di negara Barat, generasi milenial kini mengaku dapat menilai baik atau buruknya seorang pemimpin dari paham politiknya. Tantangannya ialah para pemimpin harus dapat mengambil aksi nyata sehingga demokrasi terjaga,” imbuhnya. (Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Unjuk Rasa)
Tantangan Indonesia
Adapun di AS, hampir 63% generasi milenial mengaku puas dengan sistem demokrasi di negaranya saat mereka berusia 20 tahunan. Namun saat memasuki usia 30 tahunan atau pasca-2010, jumlahnya menurun menjadi 50%. Padahal saat itu sebanyak 74% generasi baby boomers mengaku puas dan 68% di antaranya tetap puas sampai sekarang.
Generasi milenial dan generasi X terus mengalami penurunan kepuasan terhadap sistem demokrasi. Jika ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi terus berlanjut, hal itu akan memicu revolusi baru. Kenyataannya kebijakan di berbagai negara kini mulai berubah, mulai dari tingginya nasionalisme hingga perombakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Negara yang mampu membangun ekonomi secara merata cenderung stabil. Islandia dan Austria misalnya. Generasi milenial, generasi X, baby boomers, dan interwar di kedua negara itu hampir memiliki kepuasan yang sama tinggi. Sebaliknya di negara besar dengan jumlah penduduk banyak dan ketimpangan yang luas, perbedaannya kentara dan terus meningkat di setiap tahun. (Baca juga: Ilmuwan Ciptakan Laboratorium Pembentukan Bintang dan Planet)
“Tumpukan utang yang menggunung, rendahnya peluang memiliki rumah sendiri, sulitnya memulai rumah tangga, dan ketergantungan terhadap warisan bila dibandingkan dengan kerja keras dan bakat untuk meraih kesuksesan menyebabkan generasi muda saat ini merasa hampa dengan sistem demokrasi. Mereka merasa sistem ini tidak optimal,” kata Foa.
Adapun di negara lain di luar Eropa dan AS, sistem demokrasi juga kurang dirasakan manfaatnya oleh generasi muda. Di Amerika Latin dan Afrika, penelitian ini menunjukkan generasi muda di dua kawasan itu tampak jenuh dan lesu setelah 25 tahun berada di bawah sistem demokrasi mengingat penerapannya tidak sesuai dengan kampanye.
“Di seluruh dunia kami melihat adanya jurang pemisah antara generasi muda dan generasi sebelumnya dalam memandang fungsi demokrasi,” kata Foa. “Pemutusan hubungan demokrasi ini bukan berasal dari luar, tapi justru dari dalam. Para pemegang kebijakan gagal membuahkan hasil yang berarti bagi generasi muda sehingga tercipta ketidaksetaraan,” imbuhnya.
Kelompok yang diyakini sukses menerapkan sistem demokrasi dalam lima tahun terakhir ialah kelompok populis dan sayap kiri. Hal itu banyak terjadi di Eropa dan dibuktikan dengan naiknya Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Viktor Orban di Hungaria, dan Partai Law and Justice di Polandia. Generasi muda di bawah pimpinan kelompok populis mengaku puas.
“Populis kini lebih populer daripada moderat,” kata Daniella Wenger, salah satu peneliti dari University of Cambridge. “Di negara Barat, generasi milenial kini mengaku dapat menilai baik atau buruknya seorang pemimpin dari paham politiknya. Tantangannya ialah para pemimpin harus dapat mengambil aksi nyata sehingga demokrasi terjaga,” imbuhnya. (Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Unjuk Rasa)
Tantangan Indonesia
tulis komentar anda