Perang Nagorno-Karabakh, Armenia Siap untuk Gencatan Senjata

Sabtu, 03 Oktober 2020 - 01:13 WIB
Armenia menyatakan kesiapannya untuk melakukan gencatan senjata di Nagorno Karabakh. Foto/BBC
YEREVAN - Armenia mengatakan pihaknya siap untuk bekerja dengan mediator internasional untuk mencapai gencatan senjata dengan Azerbaijan . Kedua negara terlibat pertempuran sengit memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri, yang telah memasuki hari keenam.

"Armenia siap untuk terlibat dengan Prancis, Rusia dan Amerika Serikat untuk membangun kembali rezim gencatan senjata," kata Kementerian Luar Negeri Armenia dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Al Jazeera, Sabtu (3/10/2020).

Prancis, Rusia dan Amerika Serikat (AS) adalah ketua bersama kelompok mediator OSCE untuk konflik di Nagorno Karabakh.



Namun, pernyataan itu menambahkan: "agresi terhadap Nagorno-Karabakh ini akan terus menerima tanggapan kami yang kuat dan tegas."

Perkembangan itu terjadi setelah pejabat etnis Armenia di wilayah Nargorno-Karabakh yang memisahkan diri melaporkan 54 korban militer lainnya di antara pasukan yang didukung Armenia. Ini menjadikan korban tewas di kubu Armenia menjadi 158 tentara.

Azerbaijan sendiri belum melaporkan adanya korban militer tetapi mengatakan 19 warga sipil tewas dalam aksi penembakan yang dilakukan oleh Armenia.

Meskipun pernyataan Armenia menandai tanda pertama bahwa dialog dapat dilakukan, Menteri Luar Negeri Turki mengatakan bahwa agar Azerbaijan menyetujui gencatan senjata, Armenia harus menarik pasukannya.

Berbicara pada konferensi pers bersama dengan mitranya dari Italia Luigi Di Maio, Mevlut Cavusoglu mengatakan pada hari Jumat bahwa kebuntuan mendorong Armenia untuk menyerang dan secara ilegal menempatkan orang-orang Armenia ke wilayah negara lain.

"Jika komunitas internasional ingin melakukan sesuatu tentang Karabakh Atas, mereka harus membuat Armenia segera meninggalkan tanah Azerbaijan," kata Cavusoglu, menambahkan bahwa Turki akan mendukung upaya apa pun ke arah itu.

Ada kekhawatiran bentrokan meluas menjadi perang multi-front habis-habisan yang dapat menyedot kekuatan regional Turki dan Rusia.

Turki adalah pendukung terkuat Azerbaijan di kancah internasional, sementara Rusia memiliki pangkalan militer di Armenia.

Ankara telah dituduh oleh Armenia memasok pejuang untuk konflik tersebut, menarik mereka keluar dari Suriah utara - tuduhan yang dibantah oleh Turki dan Azerbaijan.

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menyatakan keprihatinan serius pada hari Jumat atas laporan ini, sebuah pernyataan dari Kremlin mengatakan.(Baca juga: Rusia Khawatirkan Kabar Penggunaan Tentara Bayaran di Konflik Nagorno-Karabakh )

"Kedua belah pihak menyatakan keprihatinan yang serius atas informasi yang diterima tentang keterlibatan dalam aksi militer militan kelompok bersenjata ilegal dari Timur Tengah," bunyi pernyataan itu menyusul pembicaraan telepon antara kedua pemimpin.

Presiden Prancis Macron juga mengecam Turki pada Kamis, mengatakan laporan intelijen menunjukkan bahwa 300 pejuang dari kelompok jihadis di Suriah telah melewati Turki dalam perjalanan ke Azerbaijan.(Baca juga: Prancis Kantongi Bukti Milisi Suriah Ikut Bertempur di Nagorno Karabakh )

"Garis merah telah dilintasi," kata pemimpin Prancis itu, menambahkan bahwa negaranya menuntut penjelasan.

Dalam seruan bersama pada hari Kamis, Putin, Presiden AS Donald Trump dan Macron mendesak kedua belah pihak untuk kembali ke negosiasi yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa teritorial yang sudah lama ada.(Baca juga: AS, Prancis, dan Rusia Desak Gencatan Senjata Armenia dan Azerbaijan )

Rusia juga menyarankan pihaknya membuat kemajuan dalam upaya diplomatik dengan Turki, dengan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dan mitranya Cavusoglu mengatakan mereka siap untuk "koordinasi erat" guna menstabilkan situasi.

Armenia dan Azerbaijan telah terkunci dalam perselisihan selama puluhan tahun atas Nagorno-Karabakh, wilayah yang memisahkan diri yang berada di dalam Azerbaijan tetapi dikendalikan oleh etnis Armenia yang didukung oleh Yerevan.

Nagorno-Karabakh memisahkan diri dari Azerbaijan selama perang tahun 1990-an yang menewaskan 30.000 orang, tetapi tidak diakui oleh negara mana pun, termasuk Armenia, sebagai republik merdeka.

Pertempuran pecah secara berkala di wilayah tersebut dan pembicaraan untuk menyelesaikan konflik sebagian besar terhenti sejak perjanjian gencatan senjata tahun 1994.

Armenia dan Karabakh mengumumkan darurat militer dan mobilisasi militer pada Minggu, sementara Azerbaijan memberlakukan aturan militer dan jam malam di kota-kota besar.
(ber)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More