Risiko Perang Nuklir AS-China Meningkat, Pakar Sarankan Dipantau dengan Hati-hati

Selasa, 29 September 2020 - 12:33 WIB
Rudal-rudal DF-26 China yang dijuluki sebagai rudal pembunuh kapal induk. Foto/Xinhua
SYDNEY - Risiko konfrontasi nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin meningkat, karena Beijing memperoleh senjata baru yang memungkinkannya untuk menyerang musuh-musuhnya terlebih dahulu.

Ketika kedua negara memasuki periode baru persaingan strategis yang ketat, ada risiko kecil penggunaan nuklir yang disengaja dan risiko yang lebih besar jika AS atau China secara tidak sengaja menggunakan senjata nuklir untuk melawan negara lain.(Baca: Sekjen PBB: Tak Ada Pemenang dalam Perang Nuklir! )

Hal ini dapat terjadi jika salah satu negara menurunkan persenjataan nuklir negara lain dengan menggunakan senjata konvensional, baik secara tidak sengaja maupun kerusakan tambahan, sehingga negara tersebut merespons dengan senjata nuklir.



Sebuah laporan baru olehUnited States Studies Centre(Pusat Studi AS) mengatakan serangan senjata konvensional AS atau pun serangan siber yang melumpuhkan kemampuan China untuk meluncurkan rudal balistik konvensional dapat secara tidak sengaja merusak rudal nuklirnya. Beijing kemudian dapat melihat serangan ini sebagai awal untuk melucuti senjata nuklirnya, dan memilih untuk menggunakannya terlebih dahulu sebelum semakin terdegradasi.

Atau, China dapat melancarkan serangan luar angkasa terhadap satelit AS, atau pun serangan siber, untuk mengganggu pertahanan rudal AS, yang memicu serangan balik nuklir AS.(Baca: Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan )

Strategi nuklir China selama beberapa dekade terakhir telah difokuskan untuk mencegah ancaman nuklir, tetapi negara itu telah memperoleh kemampuan baru—seperti peluncur untuk rudal balistik jarak menengah DF-26—yang dapat memungkinkan peralihan ke strategi "first-use(pengguna pertama)" senjata nuklir.

Laporan baru olehfellow non-residentdi Pusat Studi AS, Fiona Cunningham, menyerukan Australia dan negara-negara lain untuk mendesak AS dan China kembali ke pembicaraan pengendalian senjata.

Beijing telah menolak untuk bergabung dalam pembicaraan antara AS dan Rusia tentang kontrol senjata nuklir, dengan mengatakan pihaknya hanya akan melakukannya jika Washington mengurangi persenjataannya ke level yang sama.(Baca: Pentagon: China Lirik Indonesia untuk Dijadikan Pangkalan Militernya )

Cunningham mengatakan kemampuan baru Beijing tidak selalu menunjukkan bahwa mereka mengejar strategi pengguna pertama senjata nuklir, tetapi hal itu merusak kredibilitas argumennya bahwa mereka hanya memiliki strategi "retaliatory-only(hanya pembalasan)".
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More