Mattis: China Ingkar Janji dengan Militerisasi Laut China Selatan
Kamis, 17 September 2020 - 00:00 WIB
multinasional tahun ini.
Jenderal AS itu menjawab bahwa China telah melanggar janji 2015 untuk tidak memiliterisasi rantai Spratly, dan bahwa militerisasi pulau-pulau itu telah melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang ditandatangani China tetapi AS tidak
meratifikasinya. (Baca: Debat di Radio, Indonesia Usir Kapal Coast Guard China dari Perairan Natuna )
Ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi AS pada 2015, dia mengatakan kedua negara memiliki banyak kepentingan yang sama di Laut China Selatan dan bahwa aktivitas konstruksi China di Spratly tidak menargetkan atau berdampak pada negara mana pun. Xi
juga mengatakan bahwa China tidak berniat untuk mengejar militerisasi.
Tetapi China telah membangun pulau-pulau buatan di perairan dan memasang sistem rudal dan landasan pendaratan untuk jet tempur dan pesawat pembom di Spratly. Kementerian Pertahanan China menyebutnya "fasilitas militer yang diperlukan", sementara media pemerintah China mengatakan fasilitas itu sah karena berada dalam kedaulatan China.
Beijing mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan yang kaya sumber energi, yang dilalui kapal perdagangan senilai sekitar USD3 triliun setiap tahun. Namun, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei juga memiliki klaim yang saling tumpah tindih di
kawasan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo pada Juli menolak klaim China atas Laut China Selatan, sejalan dengan putusan pengadilan 2016 di Den Haag yang tidak diakui oleh Beijing. (Baca: Pompeo kepada ASEAN: Jangan Biarkan Partai Komunis China Menginjak-injak Kita )
Menurut buku itu, Mattis memberi tahu Wei: “Kami ingin Anda bermain sesuai aturan. Tapi intinya adalah; bagaimana kita akan mengelola perbedaan kita ketika dua negara adidaya bersenjata nuklir saling menginjak kaki? Itulah pertanyaan mendasar dari zaman ini. Dan seluruh dunia sedang menonton."
Jenderal AS itu menjawab bahwa China telah melanggar janji 2015 untuk tidak memiliterisasi rantai Spratly, dan bahwa militerisasi pulau-pulau itu telah melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang ditandatangani China tetapi AS tidak
meratifikasinya. (Baca: Debat di Radio, Indonesia Usir Kapal Coast Guard China dari Perairan Natuna )
Ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi AS pada 2015, dia mengatakan kedua negara memiliki banyak kepentingan yang sama di Laut China Selatan dan bahwa aktivitas konstruksi China di Spratly tidak menargetkan atau berdampak pada negara mana pun. Xi
juga mengatakan bahwa China tidak berniat untuk mengejar militerisasi.
Tetapi China telah membangun pulau-pulau buatan di perairan dan memasang sistem rudal dan landasan pendaratan untuk jet tempur dan pesawat pembom di Spratly. Kementerian Pertahanan China menyebutnya "fasilitas militer yang diperlukan", sementara media pemerintah China mengatakan fasilitas itu sah karena berada dalam kedaulatan China.
Beijing mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan yang kaya sumber energi, yang dilalui kapal perdagangan senilai sekitar USD3 triliun setiap tahun. Namun, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei juga memiliki klaim yang saling tumpah tindih di
kawasan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo pada Juli menolak klaim China atas Laut China Selatan, sejalan dengan putusan pengadilan 2016 di Den Haag yang tidak diakui oleh Beijing. (Baca: Pompeo kepada ASEAN: Jangan Biarkan Partai Komunis China Menginjak-injak Kita )
Menurut buku itu, Mattis memberi tahu Wei: “Kami ingin Anda bermain sesuai aturan. Tapi intinya adalah; bagaimana kita akan mengelola perbedaan kita ketika dua negara adidaya bersenjata nuklir saling menginjak kaki? Itulah pertanyaan mendasar dari zaman ini. Dan seluruh dunia sedang menonton."
tulis komentar anda