Mereka yang Menolak Lupa Jadi Korban Tes Bom Nuklir AS dan Inggris...
Jum'at, 21 Maret 2025 - 11:20 WIB
Dengan latar belakang ini, politisi, aktivis, dan perwakilan lainnya berkumpul di markas besar PBB di New York bulan ini untuk berdiskusi selama seminggu tentang cara mendapatkan lebih banyak dukungan untuk TPNW.
Hinamoeura Morgant-Cross, seorang perwakilan dari majelis Polinesia Prancis, termasuk di antara anggota Parlemen. Dia mengatakan keluarganya sangat terdampak oleh ledakan nuklir Prancis di atol Moruroa dan Fangataufa antara tahun 1966 hingga 1996.
Morgant-Cross mengatakan kepada forum tersebut bahwa tingginya angka kanker akibat radiasi di keluarganya telah memotivasinya untuk menjadi aktivis anti-nuklir dan anggota majelis.
“Semua berawal dari nenek saya yang menderita kanker tiroid,” katanya.
“Kemudian putri pertamanya—bibi saya—menderita kanker tiroid. Dia juga menderita kanker payudara. Ibu dan saudara perempuan saya menderita penyakit tiroid. Saya menderita leukemia kronis saat berusia 24 tahun. Saya masih berjuang melawan leukemia ini,” keluhnya.
Perwakilan Selandia Baru untuk PBB di Jenewa, Deborah Geels, menekankan pentingnya perjanjian tersebut di Pasifik. "Ketegangan antara negara-negara bersenjata nuklir dan risiko nuklir meningkat, dan tidak ada kawasan yang kebal—bahkan Pasifik Selatan," katanya.
Kepulauan Marshall, tempat AS meledakkan 67 bom nuklir selama tahun 1940-an hingga 1950-an, belum bergabung dengan TPNW.
Kepulauan Marshall telah menyatakan kekhawatiran bahwa pasal enam perjanjian tersebut—yang menyerukan negara-negara yang terikat oleh perjanjian tersebut untuk memberikan bantuan bagi korban dan pemulihan lingkungan—dapat membebaskan AS dari tanggung jawab untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh uji coba nuklir.
Upaya untuk membangun perjanjian internasional dana perwalian untuk mendukung pasal enam masih berlangsung.
“Meskipun kami ingin memastikan tidak ada uji coba nuklir dan perang nuklir…kami merasa TPNW tidak cukup jauh untuk mengatasi masalah yang memengaruhi kita semua,” kata Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB John Silk.
Hinamoeura Morgant-Cross, seorang perwakilan dari majelis Polinesia Prancis, termasuk di antara anggota Parlemen. Dia mengatakan keluarganya sangat terdampak oleh ledakan nuklir Prancis di atol Moruroa dan Fangataufa antara tahun 1966 hingga 1996.
Morgant-Cross mengatakan kepada forum tersebut bahwa tingginya angka kanker akibat radiasi di keluarganya telah memotivasinya untuk menjadi aktivis anti-nuklir dan anggota majelis.
“Semua berawal dari nenek saya yang menderita kanker tiroid,” katanya.
“Kemudian putri pertamanya—bibi saya—menderita kanker tiroid. Dia juga menderita kanker payudara. Ibu dan saudara perempuan saya menderita penyakit tiroid. Saya menderita leukemia kronis saat berusia 24 tahun. Saya masih berjuang melawan leukemia ini,” keluhnya.
Perwakilan Selandia Baru untuk PBB di Jenewa, Deborah Geels, menekankan pentingnya perjanjian tersebut di Pasifik. "Ketegangan antara negara-negara bersenjata nuklir dan risiko nuklir meningkat, dan tidak ada kawasan yang kebal—bahkan Pasifik Selatan," katanya.
Kepulauan Marshall, tempat AS meledakkan 67 bom nuklir selama tahun 1940-an hingga 1950-an, belum bergabung dengan TPNW.
Kepulauan Marshall telah menyatakan kekhawatiran bahwa pasal enam perjanjian tersebut—yang menyerukan negara-negara yang terikat oleh perjanjian tersebut untuk memberikan bantuan bagi korban dan pemulihan lingkungan—dapat membebaskan AS dari tanggung jawab untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh uji coba nuklir.
Upaya untuk membangun perjanjian internasional dana perwalian untuk mendukung pasal enam masih berlangsung.
“Meskipun kami ingin memastikan tidak ada uji coba nuklir dan perang nuklir…kami merasa TPNW tidak cukup jauh untuk mengatasi masalah yang memengaruhi kita semua,” kata Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB John Silk.
Lihat Juga :
tulis komentar anda