Ekspansi Industri Global China Diduga Libatkan Praktik Eksploitatif
Kamis, 02 Januari 2025 - 08:19 WIB
Volkswagen, misalnya, meski menyatakan komitmennya terhadap hak asasi manusia, mengakui bahwa mereka "tidak memiliki transparansi" tentang hubungan pemasok dalam usaha patungannya di China. Bahkan perusahaan Tesla, yang telah memberikan informasi lebih rinci tentang sumber aluminiumnya, tidak dapat sepenuhnya menjamin rantai pasokannya bebas dari hubungan kerja paksa.
Ketidakjelasan dalam rantai pasokan memungkinkan bahan-bahan yang berpotensi “tercemar” memasuki pasar global tanpa terdeteksi, khususnya melalui jaringan perdagangan industri aluminium yang kompleks.
Setelah batangan aluminium dicairkan dan dicampur dengan bahan lain, asal-usulnya menjadi tidak mungkin ditentukan, sehingga aluminium yang tercemar dapat menyusup ke rantai pasokan global tanpa terdeteksi. Kurangnya penelusuran ini menciptakan “badai sempurna” di mana pelanggaran hak asasi manusia dapat berkembang biak di balik kedok operasi bisnis yang sah.
Penutupan pabrik baru-baru ini di Brasil dan Angola seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusahaan. Keduanya menunjukkan bahwa praktik ketenagakerjaan bermasalah yang terkait dengan operasi industri China tidak terbatas pada Xinjiang, tetapi merupakan masalah sistemik dalam ekspansi industri China secara global.
Insiden ini menunjukkan pola meresahkan di mana keuntungan diprioritaskan daripada martabat manusia, dan di mana upaya untuk memperluas kapasitas industri mengorbankan hak asasi manusia yang mendasar.
Di saat China terus mengejar visi Presiden Xi Jinping untuk menjadi "kekuatan otomotif”, dunia harus menuntut akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar. Perusahaan yang membuat mobil di China atau mendapatkan suku cadang dari pemasok China harus mematuhi hak asasi manusia dan standar ketenagakerjaan yang sama seperti yang mereka terapkan di tempat lain.
Situasi saat ini, di mana kepentingan bisnis berulang kali mengalahkan masalah hak asasi manusia, tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga tidak dapat dipertahankan secara moral.
Pola pelanggaran yang terungkap di Brasil, Angola, dan tempat lain menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan penegakan hukum internasional yang kuat, ekspansi industri China berisiko melemahkan standar ketenagakerjaan secara global. Komunitas internasional harus bertindak tegas untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan martabat dan hak asasi manusia.
Ketidakjelasan dalam rantai pasokan memungkinkan bahan-bahan yang berpotensi “tercemar” memasuki pasar global tanpa terdeteksi, khususnya melalui jaringan perdagangan industri aluminium yang kompleks.
Setelah batangan aluminium dicairkan dan dicampur dengan bahan lain, asal-usulnya menjadi tidak mungkin ditentukan, sehingga aluminium yang tercemar dapat menyusup ke rantai pasokan global tanpa terdeteksi. Kurangnya penelusuran ini menciptakan “badai sempurna” di mana pelanggaran hak asasi manusia dapat berkembang biak di balik kedok operasi bisnis yang sah.
Penutupan pabrik baru-baru ini di Brasil dan Angola seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah dan perusahaan. Keduanya menunjukkan bahwa praktik ketenagakerjaan bermasalah yang terkait dengan operasi industri China tidak terbatas pada Xinjiang, tetapi merupakan masalah sistemik dalam ekspansi industri China secara global.
Insiden ini menunjukkan pola meresahkan di mana keuntungan diprioritaskan daripada martabat manusia, dan di mana upaya untuk memperluas kapasitas industri mengorbankan hak asasi manusia yang mendasar.
Di saat China terus mengejar visi Presiden Xi Jinping untuk menjadi "kekuatan otomotif”, dunia harus menuntut akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar. Perusahaan yang membuat mobil di China atau mendapatkan suku cadang dari pemasok China harus mematuhi hak asasi manusia dan standar ketenagakerjaan yang sama seperti yang mereka terapkan di tempat lain.
Situasi saat ini, di mana kepentingan bisnis berulang kali mengalahkan masalah hak asasi manusia, tidak hanya tidak berkelanjutan, tetapi juga tidak dapat dipertahankan secara moral.
Pola pelanggaran yang terungkap di Brasil, Angola, dan tempat lain menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan penegakan hukum internasional yang kuat, ekspansi industri China berisiko melemahkan standar ketenagakerjaan secara global. Komunitas internasional harus bertindak tegas untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan martabat dan hak asasi manusia.
(mas)
Lihat Juga :
tulis komentar anda