Konflik Gaza Ungkap Kelemahan China di Timur Tengah
Jum'at, 02 Februari 2024 - 13:32 WIB
BEIJING - China menyatakan diri sebagai pemain global yang bertanggung jawab. Kenyataannya, meski berulang kali menyerukan netralitasnya, Beijing cenderung bias dalam kaitannya dengan berbagai krisis global, termasuk perang Israel-Hamas di Gaza saat ini.
Mengutip dari laman ANI, Jumat (2/2/2024), perang di Jalur Gaza, Palestina, telah memperlihatkan sifat mementingkan diri sendiri China dalam hubungan luar negerinya.
Dalam perang di Gaza, China mengambil langkah hati-hati sekaligus berupaya melemahkan Amerika Serikat (AS) serta “menjilat” negara-negara Arab. Strategi penghindaran risikonya mungkin bisa digambarkan sebagai netralitas anti-Barat.
Sekitar 1 juta warga China bekerja di Timur Tengah, sementara sebagian besar impor minyaknya berasal dari kawasan tersebut—87,5 juta ton pada tahun 2022, dengan Arab Saudi menjadi pemasok minyak mentah terbesar.
Pada 26-27 Januari 2024, Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan di Bangkok. Transkrip pertemuan yang dirilis China menyebutkan bahwa isu-isu regional seperti Timur Tengah telah dibahas tanpa mengelaborasi. China tidak menyebutkan apa-apa mengenai krisis Laut Merah atau pun Gaza.
Sebaliknya, AS mengatakan pihaknya berusaha membujuk Beijing untuk menekan Iran agar menghentikan serangan pemberontak Houthi terhadap kapal-kapal komersial di Laut Merah. Menurut seorang pejabat Gedung Putih, China setuju untuk mengungkapkan masalah ini kepada Iran.
Meski demikian, seorang pejabat AS merenungkan, “Apakah China akan memilih untuk menggunakan pengaruhnya dengan cara seperti itu, saya pikir hal itu masih harus dilihat lagi."
China tidak melakukan apa pun untuk mengekang aspirasi nuklir Korea Utara. Ditambah lagi, Beijing telah menawarkan dukungan diam-diam terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Mengandalkan China untuk hal-hal substantif adalah harapan yang sia-sia. China memediasi kesepakatan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran pada Maret 2023, namun Beijing tidak memiliki pengaruh nyata atas Teheran dan tentu saja tidak bisa membuat Teheran menentang Hamas.
Menariknya, dalam hal ada di pihak mana China sebenarnya berada, Houthi mengatakan kapal-kapal Rusia dan China tidak akan menjadi sasaran di Laut Merah.
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) telah memiliki satuan tugas anti-pembajakan di Teluk Aden sejak tahun 2008. Namun, laporan menunjukkan bahwa tiga kapal perang China, yang berlayar di dekat kapal dagang yang diserang bajak laut Somalia dan rudal Houthi pada akhir November 2023, menolak merespons terhadap panggilan darurat dari kapal yang dibajak.
Pada 15 Oktober 2023, Wang Yi mengkritik pembunuhan warga sipil yang dilakukan Israel. Dia mengatakan tindakan Israel "lebih dari sekedar pembelaan diri”, dan menggambarkan kampanye Israel sebagai "hukuman kolektif" terhadap Palestina.
Sikap China tersebut menunjukkan kepada Israel bahwa persahabatan sebelumnya hanyalah demi kenyamanan—Beijing tidak memiliki kedekatan nyata dengan Israel dan negara ini tidak termasuk dalam prioritas strategisnya.
Israel mengatakan pihaknya "sangat kecewa" dengan tanggapan Beijing. Di sisi lain, Wang mengatakan pada 20 November di komite menteri Arab dan Islam mengenai perang di Gaza yang diadakan di Beijing: "China adalah teman baik dan saudara negara-negara Arab dan Islam."
"Kami selalu dengan tegas menjaga keamanan negara-negara Arab dan Islam, hak dan kepentingan sah negara-negara Arab Islam dan selalu dengan tegas mendukung perjuangan adil rakyat Palestina," ucap Wang kala itu.
Memang, secara historis, China selalu bersimpati dengan Palestina, dan sejak awal Mao Zedong juga telah mengirimkan senjata kepada Palestina untuk digunakan dalam perjuangannya melawan Israel.
China jelas memposisikan dirinya di pihak negara-negara Arab dan Muslim. Namun hal ini bersifat quid pro quo, karena Beijing mengharapkan dukungan mereka dari organisasi internasional dalam isu-isu seperti Taiwan dan tata kelola global.
Namun, Ahmed Aboudouh, seorang peneliti non-residen di Atlantic Council—sebuah lembaga think tank Amerika, menilai: "Kebijakan Beijing kemungkinan besar akan menjadi bumerang. China tidak memiliki kepercayaan dari Israel maupun Palestina. Posisi China bertentangan dengan negara-negara Arab yang berpengaruh dan tidak memiliki kredibilitas serta pengaruh untuk mengendalikan Iran dan proksinya di kawasan. Israel, pihak yang lebih kuat dalam konflik ini, tidak lagi melihat China sebagai mediator kredibel."
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi Beijing pada Juni 2023, di mana hubungan tersebut ditingkatkan menjadi "kemitraan strategis”, yang merupakan tingkat tertinggi kedua dalam dunia diplomasi. Namun Beijing hanya menyalurkan bantuan kemanusiaan yang relatif kecil sebesar USD4 juta kepada Palestina sejak konflik di Gaza pecah, yang menunjukkan level kepedulian China kepada Palestina.
Palestina tidak akan tertipu oleh omongan China yang bertele-tele seperti halnya Israel. Bahkan negara-negara Arab tetangga Israel telah berbuat lebih banyak dibandingkan China dalam mengkritik serangan Hamas.
Beijing menolak menyalahkan Hamas atau bahkan menyebut nama organisasi ini dalam pernyataannya terkait perang 7 Oktober di Gaza. Intinya, China telah mengangkat Hamas ke tingkat yang sama dengan Otoritas Palestina. Dengan menyamakan Hamas dan isu perjuangan Palestina, China menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap dinamika yang rumit ini. Lebih jauh lagi, mereka secara keliru menyebutnya sebagai "konflik Palestina-Israel" dan bukan konflik "Hamas-Israel”.
Aboudouh menyimpulkan; "Puncak dari semua tantangan di atas menciptakan dilema yang tidak dapat dimitigasi bagi Beijing. Di satu sisi, jika China memilih mengubah kebijakannya di masa depan dan memainkan peran penting dalam konflik tersebut, tidak ada bukti bahwa China akan bersedia mengeluarkan modal politik dalam jumlah besar untuk menghadirkan solusi alternatif terhadap pandangan AS mengenai Solusi Dua Negara atau Inisiatif Perdamaian Arab."
"China tidak memiliki visi untuk penyelesaian politik, dan kemungkinan besar tidak akan menawarkannya dalam waktu dekat. Hal ini memperparah defisit kredibilitas yang mendominasi posisi China sejak konflik dimulai, yang diperkirakan akan meningkat selama tidak ada seorang pun di Israel dan Jalur Gaza, Tepi Barat, atau kawasan yang lebih luas yang menganggap serius usulan China," ucapnya.
"Meski China tertarik untuk tidak memberikan tekanan terhadap pendirian AS, China tidak mempunyai keinginan untuk secara langsung menentang peran historisnya sebagai satu-satunya lawan bicara dalam konflik tersebut," papar Aboudouh.
China telah mengeluarkan dokumen mengenai konflik Palestina-Israel pada 30 November 2023. Dokumen tersebut menekankan perlunya gencatan senjata segera dan mengakhiri pertempuran, memastikan bahwa koridor kemanusiaan aman dan tanpa hambatan, serta mencegah perluasan konflik.
Solusi yang dilakukan Beijing adalah menerapkan gencatan senjata komprehensif dan mengakhiri pertempuran, melindungi warga sipil secara efektif, memastikan bantuan kemanusiaan; meningkatkan mediasi diplomatic, dan mencari penyelesaian politik.
Tidak diragukan lagi, hal ini akan sama bergunanya seperti dokumen China yang berisi 12 poin mengenai perang Rusia-Ukraina, yang cepat dilupakan semua orang. China telah mendorong Solusi Dua Negara sejak awal, meski Hamas dengan tegas menolak apa pun kecuali penghancuran Israel.
Jajak pendapat publik yang dilakukan Universitas Tsinghua pada November 2022 menunjukkan bahwa hanya 3,3 persen responden China yang percaya bahwa perdamaian di Timur Tengah harus menjadi prioritas internasional utama China. Faktanya, isu ini merupakan isu dengan peringkat terendah setelah isu-isu seperti hubungan AS-China, pandemi Covid-19, dan sengketa wilayah.
Jelas terlihat kurangnya simpati terhadap penderitaan Israel dan kekhawatiran keamanan yang sah di pihak China. Empat warga negara China telah tewas, enam terluka dan dua orang masih hilang sejak konflik Gaza pecah pada 7 Oktober 2023. Namun yang mengejutkan, hal ini tidak diberitakan secara luas di media sosial China, dan oleh karena itu tidak ada dorongan kuat dari masyarakat agar pemerintah mengambil tindakan. Konflik di Gaza ini merupakan topik yang jauh dari kehidupan sebagian besar masyarakat China.
Noa Argamani, seorang wanita Israel keturunan China, diculik Hamas dan masih menjadi sandera. Ibunya memohon kepada pemerintah China melalui unggahan yang telah ditonton 260 juta kali di Sina Weibo pada akhir Oktober. Namun hingga kini, pejabat China dan media pemerintah tetap bungkam. Sebaliknya, banyak warganet yang keras hati mengkritik ibu tersebut karena "lancang" dalam meminta bantuan Beijing.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu opini di Baidu: "Lagipula, seperti orang Israel, mereka mengambil kitab suci dan mengeklaim bahwa Tuhan meminta mereka untuk membangun kembali negara mereka di sini, dan menggunakan kekerasan untuk mengusir jutaan orang yang telah tinggal di negeri ini selama ribuan tahun. Adat istiadat seperti ini, ibarat merpati menempati sarang burung murai, tidak dapat diterima oleh kami warga China."
Sebagian orang mungkin memandang hal tersebut mirip dengan yang dilakukan China terhadap wilayah seperti Tibet dan Xinjiang.
Sikap resmi Beijing dalam konflik di Gaza adalah harus ada gencatan senjata untuk kemudian berakhir pada Solusi Dua Negara. Hal tersebut tercermin dalam sebuah unggahan di media sosial: "Kematian warga China tidak bisa dimaafkan. Hamas memang tidak seharusnya memimpin Palestina, namun Palestina sebenarnya tidak punya pilihan lain. Namun bukan berarti kita harus memberikan dukungan sepihak kepada Israel. Kita harus melihat pandangan Kementerian Luar Negeri: perundingan gencatan senjata, penerapan Solusi Dua Negara. Biarkan kelompok seperti Hamas kehilangan tempat untuk bertahan hidup. Tidak bertanggung jawab jika Israel melakukan hal sebaliknya. Terakhir, perang ini di Timur Tengah tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Ayo cepat evakuasi warga China."
Sentimen umum lainnya di China adalah bahwa AS merupakan penghasut dan pemicu konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya. Ini adalah narasi dari media yang didukung pemerintah China, dan unggahan daring yang merujuk pada korban di Palestina dan mendukung posisi resmi Beijing tidak akan disensor.
Platform media sosial China juga penuh dengan anti-Semitisme, meski undang-undang di negara tersebut melarang warga menggunakan internet untuk mempromosikan ekstremisme, kebencian etnis, atau informasi diskriminatif.
Media China cenderung kurang dalam meliput serangan Hamas dan hanya terpaku pada kampanye pembalasan Israel. Teori konspirasi juga berlimpah. Seorang penulis di Baidu menyerukan: "Kami, etnis China, tidak berutang apa pun kepada orang-orang Yahudi, namun sekarang Israel dengan putus asa menyalahkan China. Ini adalah kasus tipikal membalas kebaikan dengan permusuhan. Jika Israel tidak mau menghormati kami, maka mereka tidak pantas mendapat rasa hormat dari kami."
Penulis Patricia M. Kim, Kevin Dong dan Mallie Prytherch dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur menulis untuk Brookings Institute: "Baik para pemimpin China maupun masyarakat China tidak membayangkan peran besar pemerintah mereka dalam krisis yang sedang berlangsung."
"Beijing tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggunakan krisis saat ini dan di masa mendatang untuk mendiskreditkan Amerika Serikat sambil memperkuat posisi keberpihakannya dengan negara-negara non-Barat. China kemungkinan akan tetap menjadi perantara kekuatan nominal di Timur Tengah," sambung mereka.
Presiden China Xi Jinping telah memprakarsai KTT China-Arab dan KTT Dewan Kerja Sama China-Teluk untuk mendorong keterlibatan Beijing. Ketika semakin banyak negara Arab yang meragukan komitmen AS terhadap keamanan Timur Tengah, semakin banyak negara yang terbuka terhadap pendekatan dari negara-negara seperti China.
Sine Ozkarasahin, seorang analis di program penelitian pertahanan EDAM—Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri di Turki—lebih mengapresiasi pengaruh China di Timur Tengah. Dia menulis untuk The Jamestown Foundation: "Lewat strategi yang terencana dengan baik dan eksploitasi hati-hati terhadap kesenjangan akibat perubahan kebijakan luar negeri AS, China telah berhasil meningkatkan perannya sebagai aktor strategis di Timur Tengah, termasuk dalam mendapatkan pijakan di pasar senjata regional."
Ozkarasahin berkomentar, "Meski Beijing dikenal menggunakan investasi infrastruktur dan pengaruh ekonomi untuk meningkatkan pengaruhnya di luar negeri, hubungan Sino-Arab tidak bersifat transaksional seperti anggapan beberapa orang. Dalam bidang teknologi dan transfer senjata, pengaruh China di kawasan ini sudah lebih luas dari yang disadari banyak orang. Ketika China meningkatkan hubungannya dengan sekutu dekat AS, Washington menghadapi dua risiko."
"Risiko pertama adalah risiko ekonomi, sedangkan bahaya kedua adalah risiko strategis. Risiko ekonominya adalah Washington telah kehilangan pasar senjata yang paling menguntungkan karena saingan terbesarnya," sambung dia.
"Risiko kedua berkaitan dengan geopolitik dan mempunyai implikasi strategis. Selain mengisi pasar senjata yang sedang berkembang dengan alternatif pemasok Barat, China juga memperluas hubungan strategis dengan negara-negara Arab terkemuka, yang dapat mengatur ulang keseimbangan kekuatan di seluruh kawasan," tutur Ozkarasahin.
Hubungan diplomatik China-Arab Saudi terjalin pada 1990, tetapi tiga tahun sebelumnya Beijing telah memasok kerajaan tersebut dengan rudal balistik jarak menengah DF-3. Tampaknya China juga mendukung Arab Saudi dengan program rudal balistiknya saat ini.
Citra satelit yang diambil pada Oktober 2021 menunjukkan bahwa Saudi telah mulai memproduksi rudalnya sendiri di kota Dawadmi. Arab Saudi adalah mitra dagang terbesar China di Timur Tengah, dan juga berpartisipasi dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).
Namun bahkan ketika hubungan dengan Arab Saudi semakin erat, hal ini menempatkan China dalam situasi sulit, karena Beijing secara tradisional juga berteman dengan Iran. Jika Riyadh mengembangkan rudal balistik, hal itu dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan dengan musuh bebuyutannya, Iran.
Selama ini China akan cenderung berdiam diri dan menyalahkan pihak lain, alih-alih memberikan kontribusi positif terhadap sebuah solusi. Tentu saja, jika AS terlibat dan disalahkan, maka itu adalah alasan yang cukup bagi Beijing untuk tidak terlibat. Harapan akan adanya pengaruh China di Timur Tengah pupus akibat sikap semacam itu.
Kata-kata China, tanpa tindakan cadangan apa pun, menunjukkan bahwa China berada dalam posisi yang lemah. Kepentingan pribadi adalah hal yang utama bagi China, dan Beijing kemungkinan akan tetap cenderung menghindari risiko di kawasan Timur Tengah.
Mengutip dari laman ANI, Jumat (2/2/2024), perang di Jalur Gaza, Palestina, telah memperlihatkan sifat mementingkan diri sendiri China dalam hubungan luar negerinya.
Dalam perang di Gaza, China mengambil langkah hati-hati sekaligus berupaya melemahkan Amerika Serikat (AS) serta “menjilat” negara-negara Arab. Strategi penghindaran risikonya mungkin bisa digambarkan sebagai netralitas anti-Barat.
Sekitar 1 juta warga China bekerja di Timur Tengah, sementara sebagian besar impor minyaknya berasal dari kawasan tersebut—87,5 juta ton pada tahun 2022, dengan Arab Saudi menjadi pemasok minyak mentah terbesar.
Pada 26-27 Januari 2024, Menteri Luar Negeri China Wang Yi bertemu Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan di Bangkok. Transkrip pertemuan yang dirilis China menyebutkan bahwa isu-isu regional seperti Timur Tengah telah dibahas tanpa mengelaborasi. China tidak menyebutkan apa-apa mengenai krisis Laut Merah atau pun Gaza.
Sebaliknya, AS mengatakan pihaknya berusaha membujuk Beijing untuk menekan Iran agar menghentikan serangan pemberontak Houthi terhadap kapal-kapal komersial di Laut Merah. Menurut seorang pejabat Gedung Putih, China setuju untuk mengungkapkan masalah ini kepada Iran.
Meski demikian, seorang pejabat AS merenungkan, “Apakah China akan memilih untuk menggunakan pengaruhnya dengan cara seperti itu, saya pikir hal itu masih harus dilihat lagi."
China tidak melakukan apa pun untuk mengekang aspirasi nuklir Korea Utara. Ditambah lagi, Beijing telah menawarkan dukungan diam-diam terhadap invasi Rusia ke Ukraina.
Mengandalkan China untuk hal-hal substantif adalah harapan yang sia-sia. China memediasi kesepakatan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran pada Maret 2023, namun Beijing tidak memiliki pengaruh nyata atas Teheran dan tentu saja tidak bisa membuat Teheran menentang Hamas.
Menariknya, dalam hal ada di pihak mana China sebenarnya berada, Houthi mengatakan kapal-kapal Rusia dan China tidak akan menjadi sasaran di Laut Merah.
Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) telah memiliki satuan tugas anti-pembajakan di Teluk Aden sejak tahun 2008. Namun, laporan menunjukkan bahwa tiga kapal perang China, yang berlayar di dekat kapal dagang yang diserang bajak laut Somalia dan rudal Houthi pada akhir November 2023, menolak merespons terhadap panggilan darurat dari kapal yang dibajak.
Pada 15 Oktober 2023, Wang Yi mengkritik pembunuhan warga sipil yang dilakukan Israel. Dia mengatakan tindakan Israel "lebih dari sekedar pembelaan diri”, dan menggambarkan kampanye Israel sebagai "hukuman kolektif" terhadap Palestina.
Sikap China tersebut menunjukkan kepada Israel bahwa persahabatan sebelumnya hanyalah demi kenyamanan—Beijing tidak memiliki kedekatan nyata dengan Israel dan negara ini tidak termasuk dalam prioritas strategisnya.
Israel mengatakan pihaknya "sangat kecewa" dengan tanggapan Beijing. Di sisi lain, Wang mengatakan pada 20 November di komite menteri Arab dan Islam mengenai perang di Gaza yang diadakan di Beijing: "China adalah teman baik dan saudara negara-negara Arab dan Islam."
"Kami selalu dengan tegas menjaga keamanan negara-negara Arab dan Islam, hak dan kepentingan sah negara-negara Arab Islam dan selalu dengan tegas mendukung perjuangan adil rakyat Palestina," ucap Wang kala itu.
Memang, secara historis, China selalu bersimpati dengan Palestina, dan sejak awal Mao Zedong juga telah mengirimkan senjata kepada Palestina untuk digunakan dalam perjuangannya melawan Israel.
China jelas memposisikan dirinya di pihak negara-negara Arab dan Muslim. Namun hal ini bersifat quid pro quo, karena Beijing mengharapkan dukungan mereka dari organisasi internasional dalam isu-isu seperti Taiwan dan tata kelola global.
Namun, Ahmed Aboudouh, seorang peneliti non-residen di Atlantic Council—sebuah lembaga think tank Amerika, menilai: "Kebijakan Beijing kemungkinan besar akan menjadi bumerang. China tidak memiliki kepercayaan dari Israel maupun Palestina. Posisi China bertentangan dengan negara-negara Arab yang berpengaruh dan tidak memiliki kredibilitas serta pengaruh untuk mengendalikan Iran dan proksinya di kawasan. Israel, pihak yang lebih kuat dalam konflik ini, tidak lagi melihat China sebagai mediator kredibel."
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi Beijing pada Juni 2023, di mana hubungan tersebut ditingkatkan menjadi "kemitraan strategis”, yang merupakan tingkat tertinggi kedua dalam dunia diplomasi. Namun Beijing hanya menyalurkan bantuan kemanusiaan yang relatif kecil sebesar USD4 juta kepada Palestina sejak konflik di Gaza pecah, yang menunjukkan level kepedulian China kepada Palestina.
Palestina tidak akan tertipu oleh omongan China yang bertele-tele seperti halnya Israel. Bahkan negara-negara Arab tetangga Israel telah berbuat lebih banyak dibandingkan China dalam mengkritik serangan Hamas.
Beijing menolak menyalahkan Hamas atau bahkan menyebut nama organisasi ini dalam pernyataannya terkait perang 7 Oktober di Gaza. Intinya, China telah mengangkat Hamas ke tingkat yang sama dengan Otoritas Palestina. Dengan menyamakan Hamas dan isu perjuangan Palestina, China menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap dinamika yang rumit ini. Lebih jauh lagi, mereka secara keliru menyebutnya sebagai "konflik Palestina-Israel" dan bukan konflik "Hamas-Israel”.
Solusi Dua Negara
Aboudouh menyimpulkan; "Puncak dari semua tantangan di atas menciptakan dilema yang tidak dapat dimitigasi bagi Beijing. Di satu sisi, jika China memilih mengubah kebijakannya di masa depan dan memainkan peran penting dalam konflik tersebut, tidak ada bukti bahwa China akan bersedia mengeluarkan modal politik dalam jumlah besar untuk menghadirkan solusi alternatif terhadap pandangan AS mengenai Solusi Dua Negara atau Inisiatif Perdamaian Arab."
"China tidak memiliki visi untuk penyelesaian politik, dan kemungkinan besar tidak akan menawarkannya dalam waktu dekat. Hal ini memperparah defisit kredibilitas yang mendominasi posisi China sejak konflik dimulai, yang diperkirakan akan meningkat selama tidak ada seorang pun di Israel dan Jalur Gaza, Tepi Barat, atau kawasan yang lebih luas yang menganggap serius usulan China," ucapnya.
"Meski China tertarik untuk tidak memberikan tekanan terhadap pendirian AS, China tidak mempunyai keinginan untuk secara langsung menentang peran historisnya sebagai satu-satunya lawan bicara dalam konflik tersebut," papar Aboudouh.
China telah mengeluarkan dokumen mengenai konflik Palestina-Israel pada 30 November 2023. Dokumen tersebut menekankan perlunya gencatan senjata segera dan mengakhiri pertempuran, memastikan bahwa koridor kemanusiaan aman dan tanpa hambatan, serta mencegah perluasan konflik.
Solusi yang dilakukan Beijing adalah menerapkan gencatan senjata komprehensif dan mengakhiri pertempuran, melindungi warga sipil secara efektif, memastikan bantuan kemanusiaan; meningkatkan mediasi diplomatic, dan mencari penyelesaian politik.
Tidak diragukan lagi, hal ini akan sama bergunanya seperti dokumen China yang berisi 12 poin mengenai perang Rusia-Ukraina, yang cepat dilupakan semua orang. China telah mendorong Solusi Dua Negara sejak awal, meski Hamas dengan tegas menolak apa pun kecuali penghancuran Israel.
Jajak pendapat publik yang dilakukan Universitas Tsinghua pada November 2022 menunjukkan bahwa hanya 3,3 persen responden China yang percaya bahwa perdamaian di Timur Tengah harus menjadi prioritas internasional utama China. Faktanya, isu ini merupakan isu dengan peringkat terendah setelah isu-isu seperti hubungan AS-China, pandemi Covid-19, dan sengketa wilayah.
Jelas terlihat kurangnya simpati terhadap penderitaan Israel dan kekhawatiran keamanan yang sah di pihak China. Empat warga negara China telah tewas, enam terluka dan dua orang masih hilang sejak konflik Gaza pecah pada 7 Oktober 2023. Namun yang mengejutkan, hal ini tidak diberitakan secara luas di media sosial China, dan oleh karena itu tidak ada dorongan kuat dari masyarakat agar pemerintah mengambil tindakan. Konflik di Gaza ini merupakan topik yang jauh dari kehidupan sebagian besar masyarakat China.
Noa Argamani, seorang wanita Israel keturunan China, diculik Hamas dan masih menjadi sandera. Ibunya memohon kepada pemerintah China melalui unggahan yang telah ditonton 260 juta kali di Sina Weibo pada akhir Oktober. Namun hingga kini, pejabat China dan media pemerintah tetap bungkam. Sebaliknya, banyak warganet yang keras hati mengkritik ibu tersebut karena "lancang" dalam meminta bantuan Beijing.
Seperti yang dinyatakan oleh salah satu opini di Baidu: "Lagipula, seperti orang Israel, mereka mengambil kitab suci dan mengeklaim bahwa Tuhan meminta mereka untuk membangun kembali negara mereka di sini, dan menggunakan kekerasan untuk mengusir jutaan orang yang telah tinggal di negeri ini selama ribuan tahun. Adat istiadat seperti ini, ibarat merpati menempati sarang burung murai, tidak dapat diterima oleh kami warga China."
Sebagian orang mungkin memandang hal tersebut mirip dengan yang dilakukan China terhadap wilayah seperti Tibet dan Xinjiang.
Sikap resmi Beijing dalam konflik di Gaza adalah harus ada gencatan senjata untuk kemudian berakhir pada Solusi Dua Negara. Hal tersebut tercermin dalam sebuah unggahan di media sosial: "Kematian warga China tidak bisa dimaafkan. Hamas memang tidak seharusnya memimpin Palestina, namun Palestina sebenarnya tidak punya pilihan lain. Namun bukan berarti kita harus memberikan dukungan sepihak kepada Israel. Kita harus melihat pandangan Kementerian Luar Negeri: perundingan gencatan senjata, penerapan Solusi Dua Negara. Biarkan kelompok seperti Hamas kehilangan tempat untuk bertahan hidup. Tidak bertanggung jawab jika Israel melakukan hal sebaliknya. Terakhir, perang ini di Timur Tengah tidak akan berakhir dalam waktu singkat. Ayo cepat evakuasi warga China."
Sentimen umum lainnya di China adalah bahwa AS merupakan penghasut dan pemicu konflik antara Israel dan negara-negara tetangganya. Ini adalah narasi dari media yang didukung pemerintah China, dan unggahan daring yang merujuk pada korban di Palestina dan mendukung posisi resmi Beijing tidak akan disensor.
Platform media sosial China juga penuh dengan anti-Semitisme, meski undang-undang di negara tersebut melarang warga menggunakan internet untuk mempromosikan ekstremisme, kebencian etnis, atau informasi diskriminatif.
Media China cenderung kurang dalam meliput serangan Hamas dan hanya terpaku pada kampanye pembalasan Israel. Teori konspirasi juga berlimpah. Seorang penulis di Baidu menyerukan: "Kami, etnis China, tidak berutang apa pun kepada orang-orang Yahudi, namun sekarang Israel dengan putus asa menyalahkan China. Ini adalah kasus tipikal membalas kebaikan dengan permusuhan. Jika Israel tidak mau menghormati kami, maka mereka tidak pantas mendapat rasa hormat dari kami."
China dan Negara-Negara Arab
Penulis Patricia M. Kim, Kevin Dong dan Mallie Prytherch dari Pusat Studi Kebijakan Asia Timur menulis untuk Brookings Institute: "Baik para pemimpin China maupun masyarakat China tidak membayangkan peran besar pemerintah mereka dalam krisis yang sedang berlangsung."
"Beijing tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggunakan krisis saat ini dan di masa mendatang untuk mendiskreditkan Amerika Serikat sambil memperkuat posisi keberpihakannya dengan negara-negara non-Barat. China kemungkinan akan tetap menjadi perantara kekuatan nominal di Timur Tengah," sambung mereka.
Presiden China Xi Jinping telah memprakarsai KTT China-Arab dan KTT Dewan Kerja Sama China-Teluk untuk mendorong keterlibatan Beijing. Ketika semakin banyak negara Arab yang meragukan komitmen AS terhadap keamanan Timur Tengah, semakin banyak negara yang terbuka terhadap pendekatan dari negara-negara seperti China.
Sine Ozkarasahin, seorang analis di program penelitian pertahanan EDAM—Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri di Turki—lebih mengapresiasi pengaruh China di Timur Tengah. Dia menulis untuk The Jamestown Foundation: "Lewat strategi yang terencana dengan baik dan eksploitasi hati-hati terhadap kesenjangan akibat perubahan kebijakan luar negeri AS, China telah berhasil meningkatkan perannya sebagai aktor strategis di Timur Tengah, termasuk dalam mendapatkan pijakan di pasar senjata regional."
Ozkarasahin berkomentar, "Meski Beijing dikenal menggunakan investasi infrastruktur dan pengaruh ekonomi untuk meningkatkan pengaruhnya di luar negeri, hubungan Sino-Arab tidak bersifat transaksional seperti anggapan beberapa orang. Dalam bidang teknologi dan transfer senjata, pengaruh China di kawasan ini sudah lebih luas dari yang disadari banyak orang. Ketika China meningkatkan hubungannya dengan sekutu dekat AS, Washington menghadapi dua risiko."
"Risiko pertama adalah risiko ekonomi, sedangkan bahaya kedua adalah risiko strategis. Risiko ekonominya adalah Washington telah kehilangan pasar senjata yang paling menguntungkan karena saingan terbesarnya," sambung dia.
"Risiko kedua berkaitan dengan geopolitik dan mempunyai implikasi strategis. Selain mengisi pasar senjata yang sedang berkembang dengan alternatif pemasok Barat, China juga memperluas hubungan strategis dengan negara-negara Arab terkemuka, yang dapat mengatur ulang keseimbangan kekuatan di seluruh kawasan," tutur Ozkarasahin.
Hubungan diplomatik China-Arab Saudi terjalin pada 1990, tetapi tiga tahun sebelumnya Beijing telah memasok kerajaan tersebut dengan rudal balistik jarak menengah DF-3. Tampaknya China juga mendukung Arab Saudi dengan program rudal balistiknya saat ini.
Citra satelit yang diambil pada Oktober 2021 menunjukkan bahwa Saudi telah mulai memproduksi rudalnya sendiri di kota Dawadmi. Arab Saudi adalah mitra dagang terbesar China di Timur Tengah, dan juga berpartisipasi dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative).
Namun bahkan ketika hubungan dengan Arab Saudi semakin erat, hal ini menempatkan China dalam situasi sulit, karena Beijing secara tradisional juga berteman dengan Iran. Jika Riyadh mengembangkan rudal balistik, hal itu dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan dengan musuh bebuyutannya, Iran.
Selama ini China akan cenderung berdiam diri dan menyalahkan pihak lain, alih-alih memberikan kontribusi positif terhadap sebuah solusi. Tentu saja, jika AS terlibat dan disalahkan, maka itu adalah alasan yang cukup bagi Beijing untuk tidak terlibat. Harapan akan adanya pengaruh China di Timur Tengah pupus akibat sikap semacam itu.
Kata-kata China, tanpa tindakan cadangan apa pun, menunjukkan bahwa China berada dalam posisi yang lemah. Kepentingan pribadi adalah hal yang utama bagi China, dan Beijing kemungkinan akan tetap cenderung menghindari risiko di kawasan Timur Tengah.
(mas)
tulis komentar anda