Konflik Gaza Ungkap Kelemahan China di Timur Tengah
Jum'at, 02 Februari 2024 - 13:32 WIB
Namun, Ahmed Aboudouh, seorang peneliti non-residen di Atlantic Council—sebuah lembaga think tank Amerika, menilai: "Kebijakan Beijing kemungkinan besar akan menjadi bumerang. China tidak memiliki kepercayaan dari Israel maupun Palestina. Posisi China bertentangan dengan negara-negara Arab yang berpengaruh dan tidak memiliki kredibilitas serta pengaruh untuk mengendalikan Iran dan proksinya di kawasan. Israel, pihak yang lebih kuat dalam konflik ini, tidak lagi melihat China sebagai mediator kredibel."
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi Beijing pada Juni 2023, di mana hubungan tersebut ditingkatkan menjadi "kemitraan strategis”, yang merupakan tingkat tertinggi kedua dalam dunia diplomasi. Namun Beijing hanya menyalurkan bantuan kemanusiaan yang relatif kecil sebesar USD4 juta kepada Palestina sejak konflik di Gaza pecah, yang menunjukkan level kepedulian China kepada Palestina.
Palestina tidak akan tertipu oleh omongan China yang bertele-tele seperti halnya Israel. Bahkan negara-negara Arab tetangga Israel telah berbuat lebih banyak dibandingkan China dalam mengkritik serangan Hamas.
Beijing menolak menyalahkan Hamas atau bahkan menyebut nama organisasi ini dalam pernyataannya terkait perang 7 Oktober di Gaza. Intinya, China telah mengangkat Hamas ke tingkat yang sama dengan Otoritas Palestina. Dengan menyamakan Hamas dan isu perjuangan Palestina, China menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap dinamika yang rumit ini. Lebih jauh lagi, mereka secara keliru menyebutnya sebagai "konflik Palestina-Israel" dan bukan konflik "Hamas-Israel”.
Aboudouh menyimpulkan; "Puncak dari semua tantangan di atas menciptakan dilema yang tidak dapat dimitigasi bagi Beijing. Di satu sisi, jika China memilih mengubah kebijakannya di masa depan dan memainkan peran penting dalam konflik tersebut, tidak ada bukti bahwa China akan bersedia mengeluarkan modal politik dalam jumlah besar untuk menghadirkan solusi alternatif terhadap pandangan AS mengenai Solusi Dua Negara atau Inisiatif Perdamaian Arab."
"China tidak memiliki visi untuk penyelesaian politik, dan kemungkinan besar tidak akan menawarkannya dalam waktu dekat. Hal ini memperparah defisit kredibilitas yang mendominasi posisi China sejak konflik dimulai, yang diperkirakan akan meningkat selama tidak ada seorang pun di Israel dan Jalur Gaza, Tepi Barat, atau kawasan yang lebih luas yang menganggap serius usulan China," ucapnya.
"Meski China tertarik untuk tidak memberikan tekanan terhadap pendirian AS, China tidak mempunyai keinginan untuk secara langsung menentang peran historisnya sebagai satu-satunya lawan bicara dalam konflik tersebut," papar Aboudouh.
China telah mengeluarkan dokumen mengenai konflik Palestina-Israel pada 30 November 2023. Dokumen tersebut menekankan perlunya gencatan senjata segera dan mengakhiri pertempuran, memastikan bahwa koridor kemanusiaan aman dan tanpa hambatan, serta mencegah perluasan konflik.
Solusi yang dilakukan Beijing adalah menerapkan gencatan senjata komprehensif dan mengakhiri pertempuran, melindungi warga sipil secara efektif, memastikan bantuan kemanusiaan; meningkatkan mediasi diplomatic, dan mencari penyelesaian politik.
Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas mengunjungi Beijing pada Juni 2023, di mana hubungan tersebut ditingkatkan menjadi "kemitraan strategis”, yang merupakan tingkat tertinggi kedua dalam dunia diplomasi. Namun Beijing hanya menyalurkan bantuan kemanusiaan yang relatif kecil sebesar USD4 juta kepada Palestina sejak konflik di Gaza pecah, yang menunjukkan level kepedulian China kepada Palestina.
Palestina tidak akan tertipu oleh omongan China yang bertele-tele seperti halnya Israel. Bahkan negara-negara Arab tetangga Israel telah berbuat lebih banyak dibandingkan China dalam mengkritik serangan Hamas.
Beijing menolak menyalahkan Hamas atau bahkan menyebut nama organisasi ini dalam pernyataannya terkait perang 7 Oktober di Gaza. Intinya, China telah mengangkat Hamas ke tingkat yang sama dengan Otoritas Palestina. Dengan menyamakan Hamas dan isu perjuangan Palestina, China menunjukkan kurangnya pemahaman mereka terhadap dinamika yang rumit ini. Lebih jauh lagi, mereka secara keliru menyebutnya sebagai "konflik Palestina-Israel" dan bukan konflik "Hamas-Israel”.
Solusi Dua Negara
Aboudouh menyimpulkan; "Puncak dari semua tantangan di atas menciptakan dilema yang tidak dapat dimitigasi bagi Beijing. Di satu sisi, jika China memilih mengubah kebijakannya di masa depan dan memainkan peran penting dalam konflik tersebut, tidak ada bukti bahwa China akan bersedia mengeluarkan modal politik dalam jumlah besar untuk menghadirkan solusi alternatif terhadap pandangan AS mengenai Solusi Dua Negara atau Inisiatif Perdamaian Arab."
"China tidak memiliki visi untuk penyelesaian politik, dan kemungkinan besar tidak akan menawarkannya dalam waktu dekat. Hal ini memperparah defisit kredibilitas yang mendominasi posisi China sejak konflik dimulai, yang diperkirakan akan meningkat selama tidak ada seorang pun di Israel dan Jalur Gaza, Tepi Barat, atau kawasan yang lebih luas yang menganggap serius usulan China," ucapnya.
"Meski China tertarik untuk tidak memberikan tekanan terhadap pendirian AS, China tidak mempunyai keinginan untuk secara langsung menentang peran historisnya sebagai satu-satunya lawan bicara dalam konflik tersebut," papar Aboudouh.
China telah mengeluarkan dokumen mengenai konflik Palestina-Israel pada 30 November 2023. Dokumen tersebut menekankan perlunya gencatan senjata segera dan mengakhiri pertempuran, memastikan bahwa koridor kemanusiaan aman dan tanpa hambatan, serta mencegah perluasan konflik.
Solusi yang dilakukan Beijing adalah menerapkan gencatan senjata komprehensif dan mengakhiri pertempuran, melindungi warga sipil secara efektif, memastikan bantuan kemanusiaan; meningkatkan mediasi diplomatic, dan mencari penyelesaian politik.
tulis komentar anda