Ngerinya RS al-Shifa Gaza akibat Invasi Israel: Mayat Berserakan, Tidak Manusiawi

Rabu, 15 November 2023 - 10:08 WIB
Mayat-mayat berserakan di kompleks RS al-Shifa di Gaza, Palestina. Mereka merupakan korban invasi Israel dalam perang melawan Hamas. Foto/Dr Ahmed El Mokhallalati
GAZA - Rumah Sakit (RS) al-Shifa, fasilitas media terbesar di Gaza, Palestina, telah menguburkan 179 orang, termasuk bayi, di sebuah kuburan massal di dalam kompleksnya.

Itu disampaikan Direktur RS al-Shifa Mohammad Abu Salmiyah pada hari Selasa, menggarisbawahi krisis kemanusiaan yang sangat parah di rumah sakit tersebut akibat serangan kejam Israel dalam perang melawan Hamas.

"Kami terpaksa menguburkan mereka di kuburan massal,” katanya, seperti dikutip dari NDTV, Rabu (15/11/2023).





Tujuh bayi dan 29 pasien dari unit perawatan intensif dimakamkan setelah persediaan bahan bakar rumah sakit habis.

"Ada mayat berserakan di kompleks rumah sakit. Tidak ada listrik lagi..." papar Salmiyah.

Seorang jurnalis yang bekerja sama dengan AFP mengatakan bau busuk mayat tercium ada di mana-mana.

Seorang ahli bedah di rumah sakit, yang bekerja dengan Medecins Sans Frontieres atau Doctors Without Borders menyebut situasi tersebut “tidak manusiawi”.

“Kami tidak punya listrik. Tidak ada air. Tidak ada makanan," katanya.

RS al-Shifa adalah yang terbesar di Kota Gaza dan terputus dari dunia luar selama lebih dari 72 jam pada minggu lalu setelah blokade mematikan oleh pasukan Israel yang mencakup tank di gerbang depan.

Militer Zionis mengatakan RS itu berada di atas jaringan terowongan yang merupakan bagian dari markas bawah tanah Hamas.

Israel menuduh kelompok Hamas menggunakan RS dan pasien sebagai tameng manusia, sebuah tuduhan yang dibantah oleh pejabat kesehatan Hamas dan Palestina.

Dalam insiden terpisah, Israel mengeklaim telah menemukan terowongan menuju rumah sakit lain dari rumah seorang agen Hamas.

PBB yakin ribuan, dan mungkin lebih dari 10.000 orang—termasuk pasien, staf, dan warga sipil yang mengungsi—mungkin berada di dalam RS al-Shifa dan tidak dapat melarikan diri karena pertempuran sengit di dekatnya.

Al-Quds, rumah sakit terbesar kedua di wilayah tersebut, telah terputus dari dunia luar selama seminggu.

RS dan tenaga medis, dilindungi berdasarkan hukum humaniter internasional dan pihak-pihak yang berkonflik harus memastikan perlindungan mereka.

Mereka tidak dapat digunakan untuk melindungi sasaran militer dari serangan, namun operasi apa pun di sekitar atau di dalam harus melindungi pasien, staf, dan warga sipil lainnya, kata Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB dalam laporan terbarunya dari Gaza.

Israel telah berjanji untuk membantu mengevakuasi bayi-bayi di RS al-Shifa. Sejauh ini hal itu belum terjadi.

Sebelumnya pada hari Selasa, sebuah gambar yang memilukan muncul dari rumah sakit yang sama—memperlihatkan tujuh bayi yang dibundel menjadi satu, beberapa di antaranya menggunakan kain berwarna hijau rumah sakit yang tidak dapat dideskripsikan dan lainnya dengan selang yang mencuat di dalamnya.

Ketujuh bayi tersebut termasuk di antara 39 bayi yang lahir prematur dengan berat masing-masing kurang dari 1,5 kg.

Masing-masing harus berada di inkubator agar suhu tubuh bisa diatur.

Sebaliknya, mereka dipindahkan ke tempat tidur biasa—ditempatkan berdampingan dan ditutupi dengan paket popok dan kotak kardus berisi kain kasa steril—selama akhir pekan karena tidak ada lagi bahan bakar untuk menjalankan generator yang menggerakkan inkubator.

“Kemarin saya memiliki 39 bayi... hari ini 36 bayi,” kata dokter Mohamed Tabasha, kepala bagian anak RS setempat, kepada Reuters.

"Saya tidak bisa mengatakan berapa lama mereka bisa bertahan. Saya bisa kehilangan dua bayi lagi hari ini... atau dalam satu jam."

Pada akhir hari yang sama, tiga orang lagi (dan sembilan pasien dewasa) telah meninggal, menurut laporan AFP.

Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas mengatakan serangan Israel telah menewaskan 11.240 orang, sebagian besar adalah warga sipil dan setidaknya 40 persen di antaranya adalah anak-anak.

Israel telah bersumpah untuk “membalas dendam” atas serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 orang. Namun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu berada di bawah tekanan internasional yang semakin besar—setelah banyak negara Barat menolak untuk secara terbuka mengkritik Israel atas serangan brutalnya.

Dalam menghadapi tekanan tersebut, Israel telah setuju untuk menghentikan operasi militer setiap hari di sekitar “koridor” kemanusiaan tertentu untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri dari pertempuran.

Namun, Israel sejauh ini menolak seruan untuk melakukan gencatan senjata yang lebih luas, dan bersikeras bahwa hal tersebut tidak akan diizinkan sebelum semua sandera yang ditawan Hamas dibebaskan.
(mas)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More