Bak Penjara, Pasukan Israel Kepung 750 Keluarga di Hebron Lebih dari Sebulan
Selasa, 14 November 2023 - 08:17 WIB
TEPI BARAT - Militer Israel telah memberlakukan jam malam, yang kini berlaku hampir 24 jam sehari, di 11 lingkungan di Area H2 di Hebron, Tepi Barat, sejak permusuhan dengan Hamas dimulai pada 7 Oktober 2023.
Kabar itu diungkap kelompok hak asasi manusia Israel B’tselem pada Minggu (12/11/2023).
B’tselem mengatakan, selama lebih dari sebulan, toko-toko dan bisnis warga Palestina di wilayah yang terkepung dan dikuasai militer Israel, telah ditutup, sementara sekitar 750 keluarga yang terdiri dari ribuan orang, telah “dipenjara di rumah”.
Organisasi tersebut menuduh pemerintah Israel menerapkan “hukuman kolektif” terhadap penduduk Tepi Barat ketika perhatian dunia beralih ke perang di Gaza.
“Tidak ada pembenaran untuk menahan ratusan orang di bawah larangan pergerakan, dikurung di rumah selama berminggu-minggu,” papar pernyataan B’tselem.
“Israel mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa perhatian lokal dan internasional saat ini dialihkan dari Tepi Barat untuk menerapkan tindakan yang berdampak luas yang merupakan hukuman kolektif, yang dilarang berdasarkan hukum internasional. Tindakan ini merupakan bagian integral dari rezim apartheid Israel, yang paling mencolok di Hebron,” tegas pernyataan itu.
B'tselem mengatakan, setelah memberlakukan jam malam penuh selama dua pekan, militer Israel pada 21 Oktober mulai mengizinkan warga meninggalkan rumah mereka hanya pada hari Minggu, Selasa, dan Kamis, selama satu jam di pagi hari dan satu jam lagi di malam hari.
Namun, ketika warga Palestina meninggalkan rumah mereka, mereka harus melewati pos pemeriksaan dan menanggung perlakuan memalukan dari tentara Israel, termasuk penggeledahan tubuh.
Pemeriksaan semacam itu menghabiskan sebagian besar waktu satu jam, yang menyebabkan banyak warga Palestina tidak dapat memasuki kembali wilayah dan rumah mereka sampai pos pemeriksaan dibuka kembali.
“Jam malam benar-benar mengganggu kehidupan di H2. Warga tidak bisa bekerja dan bersekolah atau mengunjungi keluarga, dan semua bisnis tutup. Mereka hidup dalam ketidakpastian, tanpa mengetahui kapan mereka akan kembali normal,” ungkap kelompok hak asasi manusia tersebut.
“Sementara itu, pemukim (Zionis) di Hebron menikmati kebebasan bergerak penuh, yang mereka gunakan untuk mengganggu warga dan merusak properti mereka,” papar lembaga itu.
Dalam kesaksiannya kepada B'Tselem, Arij al-Ja'bari, ibu berusia 41 tahun dari lima anak dari lingkungan a-Ras di Hebron, mengatakan mereka dibangunkan pada tanggal 7 Oktober oleh megafon tentara yang mengumumkan jam malam di kota itu.
“Sejak jam malam dimulai, sesekali tentara naik ke atap kami pada malam hari, berteriak dan membangunkan kami. Mereka mencoba membuka paksa pintu beberapa kali,” ujar dia.
Dia mengaku kehabisan air dua hari setelah jam malam dimulai, memaksa mereka meminjam air dari tetangga selama lebih dari 10 hari.
"Hidup kami menjadi tak tertahankan. Kondisi mental saya sangat buruk. Kami makan satu atau dua kali sehari dan sangat hemat air. Rumah kami telah menjadi penjara. Kami tidak diperbolehkan membuka jendela dan pintu, pergi keluar ke halaman atau naik ke atap,” papar dia.
“Saya juga merindukan orang tua saya. Mereka tinggal di dekat permukiman Giv'at Ha'avot dan juga tidak diperbolehkan masuk atau keluar. Kami berbicara melalui telepon, tetapi ini tidak sama,” pungkas dia.
Kabar itu diungkap kelompok hak asasi manusia Israel B’tselem pada Minggu (12/11/2023).
B’tselem mengatakan, selama lebih dari sebulan, toko-toko dan bisnis warga Palestina di wilayah yang terkepung dan dikuasai militer Israel, telah ditutup, sementara sekitar 750 keluarga yang terdiri dari ribuan orang, telah “dipenjara di rumah”.
Organisasi tersebut menuduh pemerintah Israel menerapkan “hukuman kolektif” terhadap penduduk Tepi Barat ketika perhatian dunia beralih ke perang di Gaza.
“Tidak ada pembenaran untuk menahan ratusan orang di bawah larangan pergerakan, dikurung di rumah selama berminggu-minggu,” papar pernyataan B’tselem.
“Israel mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa perhatian lokal dan internasional saat ini dialihkan dari Tepi Barat untuk menerapkan tindakan yang berdampak luas yang merupakan hukuman kolektif, yang dilarang berdasarkan hukum internasional. Tindakan ini merupakan bagian integral dari rezim apartheid Israel, yang paling mencolok di Hebron,” tegas pernyataan itu.
B'tselem mengatakan, setelah memberlakukan jam malam penuh selama dua pekan, militer Israel pada 21 Oktober mulai mengizinkan warga meninggalkan rumah mereka hanya pada hari Minggu, Selasa, dan Kamis, selama satu jam di pagi hari dan satu jam lagi di malam hari.
Namun, ketika warga Palestina meninggalkan rumah mereka, mereka harus melewati pos pemeriksaan dan menanggung perlakuan memalukan dari tentara Israel, termasuk penggeledahan tubuh.
Pemeriksaan semacam itu menghabiskan sebagian besar waktu satu jam, yang menyebabkan banyak warga Palestina tidak dapat memasuki kembali wilayah dan rumah mereka sampai pos pemeriksaan dibuka kembali.
“Jam malam benar-benar mengganggu kehidupan di H2. Warga tidak bisa bekerja dan bersekolah atau mengunjungi keluarga, dan semua bisnis tutup. Mereka hidup dalam ketidakpastian, tanpa mengetahui kapan mereka akan kembali normal,” ungkap kelompok hak asasi manusia tersebut.
“Sementara itu, pemukim (Zionis) di Hebron menikmati kebebasan bergerak penuh, yang mereka gunakan untuk mengganggu warga dan merusak properti mereka,” papar lembaga itu.
Dalam kesaksiannya kepada B'Tselem, Arij al-Ja'bari, ibu berusia 41 tahun dari lima anak dari lingkungan a-Ras di Hebron, mengatakan mereka dibangunkan pada tanggal 7 Oktober oleh megafon tentara yang mengumumkan jam malam di kota itu.
“Sejak jam malam dimulai, sesekali tentara naik ke atap kami pada malam hari, berteriak dan membangunkan kami. Mereka mencoba membuka paksa pintu beberapa kali,” ujar dia.
Dia mengaku kehabisan air dua hari setelah jam malam dimulai, memaksa mereka meminjam air dari tetangga selama lebih dari 10 hari.
"Hidup kami menjadi tak tertahankan. Kondisi mental saya sangat buruk. Kami makan satu atau dua kali sehari dan sangat hemat air. Rumah kami telah menjadi penjara. Kami tidak diperbolehkan membuka jendela dan pintu, pergi keluar ke halaman atau naik ke atap,” papar dia.
“Saya juga merindukan orang tua saya. Mereka tinggal di dekat permukiman Giv'at Ha'avot dan juga tidak diperbolehkan masuk atau keluar. Kami berbicara melalui telepon, tetapi ini tidak sama,” pungkas dia.
(sya)
tulis komentar anda