Benarkah Warga Korea Utara Memakan Manusia karena Kelaparan?
Senin, 19 Juni 2023 - 09:09 WIB
SEOUL - Sebuah laporan mengejutkan dari media Korea Selatan (Korsel), The Korea Herald, menyebut warga Korea Utara (Korut) yang kelaparan beralih ke kanibalisme atau memakan sesama manusia untuk bertahan hidup.
Laporan yang diterbitkan 13 Juni ini patut diuji kebenarannya karena mengutip kesaksian para pembelot yang melintasi perbatasan antar-Korea pada pertengahan Mei.
Laporan tersebut mengatakan bahwa warga Korea Utara yang putus asa kemungkinan memakan manusia lain saat harga gandum naik.
Klaim mengejutkan itu patut dikritisi akurasinya. Pertama, laporan itu didasarkan pada informasi yang didengar melalui selentingan—datang dari otoritas Korea Selatan yang diduga diberitahu tentang kanibalisme oleh para pembelot, yang dilaporkan mendengar tentang hal ini dari orang lain.
Kedua, tidak mungkin untuk memverifikasi klaim tersebut ke pemerintah Korea Utara yang terkenal sangat tertutup, terlebih pelaporan desas-desus dan dongeng yang tidak bermoral tentang Korea Utara kerap diajdikan sebagai berita aktual oleh sebagian media Korea Selatan.
Meskipun Korea Utara telah mengakui bahwa mereka menghadapi masalah pasokan pangan, dan harga beras dan biji-bijian penting lainnya juga meningkat drastis selama pandemi, kasus kelaparan secara nasional di negara itu perlu bukti akurat.
Pada Kamis pekan lalu, BBC menerbitkan wawancara dengan warga Korea Utara di dalam negeri yang mengatakan bahwa mereka takut mati akibat kelaparan atau dieksekusi karena melanggar tindakan penguncian (lockdown).
Itu sejalan dengan klaim dari pemerintah Korea Selatan dan media-media di negara tersebut bahwa sejumlah besar orang kelaparan di salah satu provinsi di Korea Utara.
Kendati kerawanan pangan yang serius mengancam Korea Utara karena pengendalian pandemi meluas hingga tahun ketiga, klaim kanibalisme kemungkinan hanya dibuat-buat.
Klaim perihal kanibalisme terbaru bukanlah yang pertama keluar dari Korea Utara. Pada 1990-an, ratusan ribu hingga jutaan warga Korea Utara tewas selama kelaparan yang sekarang dikenal sebagai "Arduous March".
Dalam satu laporan yang dirilis selama ini, pekerja bantuan Prancis dari Doctors Without Borders mengatakan bahwa seorang pengungsi Korea Utara memberi tahu mereka bahwa dia melihat tetangganya memakan putri mereka.
Laporan itu juga menceritakan tentang seorang wanita yang memakan bayinya yang berusia dua tahun, mengutip seorang China-Korea yang kadang-kadang melintasi perbatasan, dan direktur panti asuhan di kota perbatasan China yang mengatakan bahwa dia bertemu dengan seorang pengungsi yang mengeklaim tetangganya membunuh, mengasinkan dan memakan anak yatim piatu.
Di sisi lain, tak lama setelah perjalanan ke Korea Utara pada tahun yang sama, direktur eksekutif Program Pangan Dunia mengatakan dia tidak melihat bukti kanibalisme.
Namun, dulu seperti sekarang, kerahasiaan Korea Utara membuat hampir tidak mungkin untuk mengonfirmasi kasus kanibalisme tertentu.
Seperti yang dijelaskan oleh salah satu pekerja bantuan Prancis, “Tidak ada yang bisa membuktikan apa pun di Korea Utara saat ini karena tidak ada yang memiliki akses ke realitas, kecuali mereka yang melarikan diri dari negara tersebut.”
Korea Utara terus menghadapi kekurangan pangan kronis pada tahun-tahun setelah kelaparan, dan sementara laporan kanibalisme secara berkala muncul dari negara itu sejak saat itu, situasinya tidak pernah benar-benar memburuk hingga titik terendah saat "Arduous March".
Sekarang, tiga tahun setelah Korea Utara menutup diri dari dunia pada Januari 2020, kerawanan pangan tampaknya menjadi yang terburuk dalam beberapa dekade.
Namun, dengan hanya sedikit diplomat asing di negara itu, tidak ada pekerja bantuan kemanusiaan dan sejumlah kecil pembelot yang berhasil mencapai Korea Selatan, hanya sedikit yang dapat memverifikasi situasi di lapangan.
Skeptisisme terhadap klaim kanibalisme di Korea Utara akan tetap diperlukan selama verifikasi tidak mungkin dilakukan. Namun, bukti dari kelaparan di negara lain menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan bagi orang yang kelaparan untuk beralih ke daging manusia.
“Setidaknya 2.505 orang dihukum karena kanibalisme pada tahun 1932 dan 1933 di Soviet Ukraina selama bencana kelaparan Holodomor buatan manusia," kata cendekiawan Timothy Synder dalam bukunya “Bloodlands.”
“Meskipun,” imbuh dia, “jumlah kasus sebenarnya pasti lebih besar.”
Di China, pada awal kelaparan 1958-1962, orang akan menggali bangkai ternak yang sakit untuk dimakan. Tetapi ketika situasi semakin memburuk, yang lain menggali, merebus, dan memakan mayat manusia.
“Di bawah rezim di mana hanya menyebut kelaparan saja bisa membuat kader dalam masalah, kasus kanibalisme ditutup-tutupi di mana pun mereka muncul,” kata sejarawan Belanda, Frank Dikotter, dalam bukunya “Mao’s Great Famine".
Namun demikian, dia menambahkan, beberapa catatan yang cukup komprehensif selamat, termasuk laporan tahun 1961 dari satu kota di China barat laut yang mengeklaim 54.000 orang telah meninggal dalam dua tahun.
Di antara yang meninggal di Linxia, terdaftar dengan cara yang sebenarnya, adalah 76 korban kanibalisme: 64 yang dimakan setelah mereka meninggal, serta 12 yang dibunuh dan kemudian dimakan.
Sama seperti Uni Soviet dan China Maois, Korea Utara kemungkinan akan mencoba menutupi kasus kanibalisme apa pun sehingga tidak ada yang tahu sepenuhnya betapa buruknya hal-hal di bawah pemerintahan keluarga Kim.
Dunia luar hanya akan mengetahui skala sebenarnya dari kekurangan pangan jika dan ketika sistem Korea Utara direformasi dan dibuka. Tetapi pada saat itu, bagi banyak warga Korea Utara yang sedang berjuang, semuanya sudah terlambat.
Pada akhirnya, apakah klaim kanibalisme baru-baru ini benar tidak secara serius mengubah pemahaman banyak pihak tentang gambaran yang lebih besar: Banyak warga Korea Utara yang kelaparan, dan semakin lama hal itu terjadi, situasinya akan semakin putus asa.
Laporan yang diterbitkan 13 Juni ini patut diuji kebenarannya karena mengutip kesaksian para pembelot yang melintasi perbatasan antar-Korea pada pertengahan Mei.
Laporan tersebut mengatakan bahwa warga Korea Utara yang putus asa kemungkinan memakan manusia lain saat harga gandum naik.
Klaim mengejutkan itu patut dikritisi akurasinya. Pertama, laporan itu didasarkan pada informasi yang didengar melalui selentingan—datang dari otoritas Korea Selatan yang diduga diberitahu tentang kanibalisme oleh para pembelot, yang dilaporkan mendengar tentang hal ini dari orang lain.
Kedua, tidak mungkin untuk memverifikasi klaim tersebut ke pemerintah Korea Utara yang terkenal sangat tertutup, terlebih pelaporan desas-desus dan dongeng yang tidak bermoral tentang Korea Utara kerap diajdikan sebagai berita aktual oleh sebagian media Korea Selatan.
Meskipun Korea Utara telah mengakui bahwa mereka menghadapi masalah pasokan pangan, dan harga beras dan biji-bijian penting lainnya juga meningkat drastis selama pandemi, kasus kelaparan secara nasional di negara itu perlu bukti akurat.
Pada Kamis pekan lalu, BBC menerbitkan wawancara dengan warga Korea Utara di dalam negeri yang mengatakan bahwa mereka takut mati akibat kelaparan atau dieksekusi karena melanggar tindakan penguncian (lockdown).
Itu sejalan dengan klaim dari pemerintah Korea Selatan dan media-media di negara tersebut bahwa sejumlah besar orang kelaparan di salah satu provinsi di Korea Utara.
Kendati kerawanan pangan yang serius mengancam Korea Utara karena pengendalian pandemi meluas hingga tahun ketiga, klaim kanibalisme kemungkinan hanya dibuat-buat.
Riwayat Klaim Kanibalisme Korea Utara
Klaim perihal kanibalisme terbaru bukanlah yang pertama keluar dari Korea Utara. Pada 1990-an, ratusan ribu hingga jutaan warga Korea Utara tewas selama kelaparan yang sekarang dikenal sebagai "Arduous March".
Dalam satu laporan yang dirilis selama ini, pekerja bantuan Prancis dari Doctors Without Borders mengatakan bahwa seorang pengungsi Korea Utara memberi tahu mereka bahwa dia melihat tetangganya memakan putri mereka.
Laporan itu juga menceritakan tentang seorang wanita yang memakan bayinya yang berusia dua tahun, mengutip seorang China-Korea yang kadang-kadang melintasi perbatasan, dan direktur panti asuhan di kota perbatasan China yang mengatakan bahwa dia bertemu dengan seorang pengungsi yang mengeklaim tetangganya membunuh, mengasinkan dan memakan anak yatim piatu.
Di sisi lain, tak lama setelah perjalanan ke Korea Utara pada tahun yang sama, direktur eksekutif Program Pangan Dunia mengatakan dia tidak melihat bukti kanibalisme.
Namun, dulu seperti sekarang, kerahasiaan Korea Utara membuat hampir tidak mungkin untuk mengonfirmasi kasus kanibalisme tertentu.
Seperti yang dijelaskan oleh salah satu pekerja bantuan Prancis, “Tidak ada yang bisa membuktikan apa pun di Korea Utara saat ini karena tidak ada yang memiliki akses ke realitas, kecuali mereka yang melarikan diri dari negara tersebut.”
Korea Utara terus menghadapi kekurangan pangan kronis pada tahun-tahun setelah kelaparan, dan sementara laporan kanibalisme secara berkala muncul dari negara itu sejak saat itu, situasinya tidak pernah benar-benar memburuk hingga titik terendah saat "Arduous March".
Sekarang, tiga tahun setelah Korea Utara menutup diri dari dunia pada Januari 2020, kerawanan pangan tampaknya menjadi yang terburuk dalam beberapa dekade.
Namun, dengan hanya sedikit diplomat asing di negara itu, tidak ada pekerja bantuan kemanusiaan dan sejumlah kecil pembelot yang berhasil mencapai Korea Selatan, hanya sedikit yang dapat memverifikasi situasi di lapangan.
Skeptisisme terhadap klaim kanibalisme di Korea Utara akan tetap diperlukan selama verifikasi tidak mungkin dilakukan. Namun, bukti dari kelaparan di negara lain menunjukkan bahwa tidak menutup kemungkinan bagi orang yang kelaparan untuk beralih ke daging manusia.
“Setidaknya 2.505 orang dihukum karena kanibalisme pada tahun 1932 dan 1933 di Soviet Ukraina selama bencana kelaparan Holodomor buatan manusia," kata cendekiawan Timothy Synder dalam bukunya “Bloodlands.”
“Meskipun,” imbuh dia, “jumlah kasus sebenarnya pasti lebih besar.”
Di China, pada awal kelaparan 1958-1962, orang akan menggali bangkai ternak yang sakit untuk dimakan. Tetapi ketika situasi semakin memburuk, yang lain menggali, merebus, dan memakan mayat manusia.
“Di bawah rezim di mana hanya menyebut kelaparan saja bisa membuat kader dalam masalah, kasus kanibalisme ditutup-tutupi di mana pun mereka muncul,” kata sejarawan Belanda, Frank Dikotter, dalam bukunya “Mao’s Great Famine".
Namun demikian, dia menambahkan, beberapa catatan yang cukup komprehensif selamat, termasuk laporan tahun 1961 dari satu kota di China barat laut yang mengeklaim 54.000 orang telah meninggal dalam dua tahun.
Di antara yang meninggal di Linxia, terdaftar dengan cara yang sebenarnya, adalah 76 korban kanibalisme: 64 yang dimakan setelah mereka meninggal, serta 12 yang dibunuh dan kemudian dimakan.
Sama seperti Uni Soviet dan China Maois, Korea Utara kemungkinan akan mencoba menutupi kasus kanibalisme apa pun sehingga tidak ada yang tahu sepenuhnya betapa buruknya hal-hal di bawah pemerintahan keluarga Kim.
Dunia luar hanya akan mengetahui skala sebenarnya dari kekurangan pangan jika dan ketika sistem Korea Utara direformasi dan dibuka. Tetapi pada saat itu, bagi banyak warga Korea Utara yang sedang berjuang, semuanya sudah terlambat.
Pada akhirnya, apakah klaim kanibalisme baru-baru ini benar tidak secara serius mengubah pemahaman banyak pihak tentang gambaran yang lebih besar: Banyak warga Korea Utara yang kelaparan, dan semakin lama hal itu terjadi, situasinya akan semakin putus asa.
(mas)
tulis komentar anda