3 Konsekuensi Buruk bagi Rakyat Turki karena Erdogan Berkuasa 5 Tahun Lagi
Senin, 29 Mei 2023 - 12:24 WIB
Di bawah pemerintahan Erdogan di mana dia pertama kali berkuasa sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003, negara tersebut telah mundur ke arah otoritarianisme. Erdogan telah mengkonsolidasikan kekuasaan melalui perubahan konstitusional, mengikis institusi demokrasi negara, termasuk peradilan dan media. Bahkan, Erdogan memenjarakan lawan politikus dan kritikus.
Institut V-Dem Swedia menyebut berbagai kebijakan Erdogan membuat Turki ditunjuk sebagai salah satu dari 10 negara otokratis tertinggi di dunia. Pada 2018, Freedom House menurunkan status negara dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” bagi Turki selama pemerintahan Erdogan.
Dengan lima tahun lagi berkuasa, kecil kemungkinan Erdogan memilih untuk mengubah agenda domestiknya. Jika ada, dia kemungkinan akan melangkah lebih jauh. “Ketika para pemimpin otoriter menghadapi konteks domestik yang tidak stabil, mereka melipatgandakan represi,” kata Gonul Tol, penulis Erdogan War: A Strongman’s Struggle at Home and in Syria, dilansir TIME.
2. Krisis Ekonomi Terus Berlanjut
Foto/Reuters
Erdogan telah menjanjikan kebangkitan Turki pada 2023, yang merupakan peringatan 100 tahun berdirinya republik. Idealnya, Turki seharusnya masuk 10 ekonomi teratas di dunia saat itu. Namun, Turki hanya berada di 20 besar, di urutan ke-19.
"Ekonomi telah mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Nilai lira Turki anjlok, mengarah ke ekonomi berbasis dolar," kata Mehmet Ozalp, pakar kajian Islam di Universitas Charles Sturt, dilansir The Conversation.
Bank Sentral Turki menjaga ekonomi tetap bertahan dengan mengosongkan cadangannya dalam beberapa bulan terakhir. Bank Sentral telah mengalami defisit neraca berjalan sebesar USD8-10 miliar dolar setiap bulan. Cadangan devisa pun jatuh ke angka negatif untuk pertama kalinya sejak 2002.
Institut V-Dem Swedia menyebut berbagai kebijakan Erdogan membuat Turki ditunjuk sebagai salah satu dari 10 negara otokratis tertinggi di dunia. Pada 2018, Freedom House menurunkan status negara dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” bagi Turki selama pemerintahan Erdogan.
Dengan lima tahun lagi berkuasa, kecil kemungkinan Erdogan memilih untuk mengubah agenda domestiknya. Jika ada, dia kemungkinan akan melangkah lebih jauh. “Ketika para pemimpin otoriter menghadapi konteks domestik yang tidak stabil, mereka melipatgandakan represi,” kata Gonul Tol, penulis Erdogan War: A Strongman’s Struggle at Home and in Syria, dilansir TIME.
2. Krisis Ekonomi Terus Berlanjut
Foto/Reuters
Erdogan telah menjanjikan kebangkitan Turki pada 2023, yang merupakan peringatan 100 tahun berdirinya republik. Idealnya, Turki seharusnya masuk 10 ekonomi teratas di dunia saat itu. Namun, Turki hanya berada di 20 besar, di urutan ke-19.
"Ekonomi telah mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Nilai lira Turki anjlok, mengarah ke ekonomi berbasis dolar," kata Mehmet Ozalp, pakar kajian Islam di Universitas Charles Sturt, dilansir The Conversation.
Bank Sentral Turki menjaga ekonomi tetap bertahan dengan mengosongkan cadangannya dalam beberapa bulan terakhir. Bank Sentral telah mengalami defisit neraca berjalan sebesar USD8-10 miliar dolar setiap bulan. Cadangan devisa pun jatuh ke angka negatif untuk pertama kalinya sejak 2002.
tulis komentar anda