Studi: AS Tidak Siap Melawan China
Rabu, 25 Januari 2023 - 04:23 WIB
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) tidak memiliki persediaan amunisi yang cukup atau kapasitas industri untuk mengisinya kembali buat konfrontasi militer besar-besaran dengan China . Hal itu diungkapkan sebuah lembaga think tank AS, mengutip serangkaian latihan perang yang dilakukannya.
Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), yang menjalankan simulasi, telah mendesak Pentagon untuk menimbun senjata dan bahan untuk memproduksinya, dan memberi insentif kepada produsen untuk membangun fasilitas baru dengan menawarkan persyaratan yang lebih baik.
CSIS, sebuah organisasi nirlaba yang mencantumkan kontraktor pertahanan utama di antara donornya, termasuk Lockheed Martin, Boeing, dan General Dynamics, mengkritik keadaan industri pertahanan AS sebagai tidak memadai untuk lingkungan kompetitif saat ini.
Dalam laporannya yang dirilis awal pekan ini, CSIS mengatakan basis produksi tidak dapat mendukung konflik intensitas tinggi yang berlarut-larut. Negara kehabisan senjata tertentu dalam simulasi, termasuk rudal Javelin dan Stinger, howitzer 155 mm dan radar kontra-artileri, karena ini telah dikirim ke Ukraina.
Dalam kemungkinan konflik dengan China atas Taiwan, yang dinilai CSIS dapat pecah dengan sedikit waktu persiapan, skenario ini dapat direplikasi.
“Dalam hampir dua lusin pengulangan permainan perang CSIS yang memeriksa perang AS-China di Selat Taiwan, Amerika Serikat biasanya mengeluarkan lebih dari 5.000 rudal jarak jauh dalam tiga minggu konflik: 4.000 JASSM, 450 LRASM, 400 Harpoon, dan 400 rudal serangan darat (TLAM) Tomahawk,” kata laporan itu seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (25/1/2023).
Lembaga think tank itu memperkirakan bahwa LRASM, Rudal Anti-Kapal Jarak Jauh, akan menjadi sangat penting jika angkatan laut China memberlakukan blokade terhadap pulau yang diperintah sendiri itu.
CSIS mencatat bahwa AS menghabiskan inventaris senjata-senjata itu pada minggu pertama di setiap iterasi konflik yang dimodelkan, menambahkan bahwa waktu produksi senjata adalah dua tahun.
Laporan tersebut mengidentifikasi sejumlah kelemahan mendasar, termasuk status Pentagon sebagai satu-satunya pembeli senjata, dan aturan akuisisinya, yang memprioritaskan efisiensi dan pengendalian biaya atas kecepatan dan kapasitas.
"Produsen tidak menikmati permintaan amunisi yang dapat diprediksi, yang dapat disediakan oleh kontrak multi-tahun, misalnya," laporan tersebut menjelaskan.
"Jadi berinvestasi secara serius dalam modal dan personel bukanlah keputusan bisnis yang baik bagi mereka," sambung laporan itu.
Peraturan AS untuk ekspor senjata berarti bahwa untuk melewati pipa membutuhkan waktu ekstra berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
"Beberapa senjata canggih yang ditawarkan oleh China dan Rusia mendapatkan keunggulan kompetitif karena ini, dan karena harganya yang lebih murah," klaim laporan itu.
Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), yang menjalankan simulasi, telah mendesak Pentagon untuk menimbun senjata dan bahan untuk memproduksinya, dan memberi insentif kepada produsen untuk membangun fasilitas baru dengan menawarkan persyaratan yang lebih baik.
CSIS, sebuah organisasi nirlaba yang mencantumkan kontraktor pertahanan utama di antara donornya, termasuk Lockheed Martin, Boeing, dan General Dynamics, mengkritik keadaan industri pertahanan AS sebagai tidak memadai untuk lingkungan kompetitif saat ini.
Dalam laporannya yang dirilis awal pekan ini, CSIS mengatakan basis produksi tidak dapat mendukung konflik intensitas tinggi yang berlarut-larut. Negara kehabisan senjata tertentu dalam simulasi, termasuk rudal Javelin dan Stinger, howitzer 155 mm dan radar kontra-artileri, karena ini telah dikirim ke Ukraina.
Dalam kemungkinan konflik dengan China atas Taiwan, yang dinilai CSIS dapat pecah dengan sedikit waktu persiapan, skenario ini dapat direplikasi.
“Dalam hampir dua lusin pengulangan permainan perang CSIS yang memeriksa perang AS-China di Selat Taiwan, Amerika Serikat biasanya mengeluarkan lebih dari 5.000 rudal jarak jauh dalam tiga minggu konflik: 4.000 JASSM, 450 LRASM, 400 Harpoon, dan 400 rudal serangan darat (TLAM) Tomahawk,” kata laporan itu seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (25/1/2023).
Lembaga think tank itu memperkirakan bahwa LRASM, Rudal Anti-Kapal Jarak Jauh, akan menjadi sangat penting jika angkatan laut China memberlakukan blokade terhadap pulau yang diperintah sendiri itu.
CSIS mencatat bahwa AS menghabiskan inventaris senjata-senjata itu pada minggu pertama di setiap iterasi konflik yang dimodelkan, menambahkan bahwa waktu produksi senjata adalah dua tahun.
Laporan tersebut mengidentifikasi sejumlah kelemahan mendasar, termasuk status Pentagon sebagai satu-satunya pembeli senjata, dan aturan akuisisinya, yang memprioritaskan efisiensi dan pengendalian biaya atas kecepatan dan kapasitas.
"Produsen tidak menikmati permintaan amunisi yang dapat diprediksi, yang dapat disediakan oleh kontrak multi-tahun, misalnya," laporan tersebut menjelaskan.
"Jadi berinvestasi secara serius dalam modal dan personel bukanlah keputusan bisnis yang baik bagi mereka," sambung laporan itu.
Peraturan AS untuk ekspor senjata berarti bahwa untuk melewati pipa membutuhkan waktu ekstra berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
"Beberapa senjata canggih yang ditawarkan oleh China dan Rusia mendapatkan keunggulan kompetitif karena ini, dan karena harganya yang lebih murah," klaim laporan itu.
(ian)
Lihat Juga :
tulis komentar anda