AS tekankan kolaborasi dan kerja sama

Minggu, 10 Februari 2013 - 11:54 WIB
AS tekankan kolaborasi...
AS tekankan kolaborasi dan kerja sama
A A A
Sindonews.com - Amerika Serikat (AS) telah mendengungkan kata-kata pivot perubahan fokus dan re-balancing atau penyeimbangan ulang kawasan Asia dalam dua tahun belakangan ini. Tapi, seperti apakah definisi pivot atau rebalancing itu tak terlalu jelas.

Banyak pihak yang menilai re-balancing ini adalah usaha AS untuk mengkonter kekuatan China yang kian dominan di kawasan. Tapi, Washington berulangkali membantah bahwa langkah itu tameng untuk membendung Beijing. Dalam diskusi terbuka yang digelar di Jakarta pada Jumat (8/2) lalu, Panglima Komando Pasukan Pasifik Militer AS Laksamana Samuel J Locklear III menegaskan, istilah re-balancing itu sebenarnya digunakan untuk memastikan kepada rakyat Amerika bahwa Asia dalam kondisi stabil.

“Ini bukan untuk mengepung China,”ujar dia. “Ini juga bukan merupakan ancaman, melainkan sebuah peluang untuk menciptakan lingkungan yang aman.” Menurut Locklear, re-balancing adalah strategi AS untuk berkolaborasi dan bekerja sama dengan negara-negara yang ada di kawasan dan bukanlah sebagai ancaman terhadap kekuatan mana pun. Terkait perkembangan militer China yang dipandang banyak pihak sebagai sesuatu yang mengancam stabilitas kawasan, Locklear menilai perkembangan tersebut adalah wajar.

Kemajuan militer China itu berjalan seiring meningkatnya perekonomian China.“Perkembangan militer China membuat kompetisi antara AS dan China tidak akan terelakkan. Namun, AS menginginkan kompetisi tersebut berlangsung sehat karena AS memiliki hubungan ekonomi yang cukup dekat dengan China,” papar Locklear.

“Kami justru ingin merangkul China untuk berpartisipasi dalam menjaga keamanan dunia,kini kami sedang membangun kondisi yang dapat mempermudah militer China untuk berpartisipasi dalam arsitektur keamanan dunia.”

Tentu bukanlah hal mudah merangkul China saat ini. Negeri Panda sedang menghadapi banyak sengketa wilayah dengan negara tetangganya. Beijing terlibat perebutan klaim wilayah di Laut China Selatan dengan beberapa negara anggota Perhimpunan Bangsa- BangsaAsia Tenggara (ASEAN) seperti Malaysia, Brunei, Vietnam,dan Filipina. Sementara di kawasan Asia Timur, China juga terlibat persengketaan sengit dengan Jepang terkait gugusan kepulauan di Laut China Timur yang disebut Beijing sebagai Diaoyu dan Senkaku oleh Tokyo.

Bukan perkara mudah menyelesaikan sengketa demi sengketa itu. Perselisihan antara China dan Jepang justru terus meruncing akhir-akhir ini dengan satu sama lain saling tuding melakukan pelanggar-an wilayah. Persengketaan itu kian sengit setelah Tokyo menasionalisasi kawasan sengketa tahun lalu. Sementara sengketa di Laut China Selatan belum jelas solusinya. Code of conduct yang diharapkan menjadi penyelesaian tak kunjung disepakati.

Sejauh ini AS tampak menjauhkan diri untuk tidak terlibat langsung dalam sengketa yang dikhawatirkan akan berujung pada bentrokan bersenjata itu. Menurut Locklear, semua pihak yang bersengketa seharusnya menahan diri dan mencari mekanisme penyelesaian masalah dengan jalan damai.

“Yang kita butuhkan di Laut China Selatan adalah mekanisme yang mencegah kita menyerahkan diplomasi kepada komando (angkatan laut) untuk membuat keputusan di laut yang menyebabkan masalah (yang dapat meningkat) menjadi konflik militer yang mungkin tidak bisa kita kendalikan,” papar dia.

Locklear memaparkan, pemerintah dan para pemimpinnya seharusnya memahami potensi ihwal itu tidak akan mampu dikendalikan.“Dalam kasus ini, saya kira poin itu sudah jelas,” ujar dia. Pada masa Perang Dingin AS dan Uni Soviet, menurut Locklear, ada semacam prosedur yang digunakan ketika kedua negara itu berhadapan di lapangan. Prosedur inilah yang membantu mencegah pecahnya eskalasi konflik meski saat itu keduanya tengah bermusuhan.

Dalam pandangan Locklear, hal semacam itu sebenarnya bisa diterapkan oleh China dan Jepang dalam sengketa di Laut China Timur. Tapi, dalam menjalankan kebijakan re-balancing ini, Presiden AS Barack Obama juga dituntut untuk berhati-hati. Jika salah langkah sedikit saja, Washington bisa merusak hubungan yang terbina baik antara Paman Sam dan China. Tahun ini China bakal melakukan transisi kekuasaan, di mana dalam pandangan lembaga think tank tertua dan paling dihormati di Washington, The Brookings Institution, akan muncul serangkaian peluang dan ancaman yang berbeda.

“(Wakil Presiden yang juga calon Presiden China) Xi (Jinping) mungkin ditekan untuk melakukan pendekatan konfrontasi dalam kebijakan luar negeri untuk menjawab kritik atas hubungan luar negerinya yang kuat,” ujar surat terbuka untuk Obama yang dirilis Cheng Li dari John L Thornton China Center, yang dikutipAsia Times Online.

Cheng Li menyarankan agar Obama secara personal mengembangkan hubungan dekat dengan Xi dan mempromosikan hubungan antarmiliter dan menekan semua pihak agar menghindari penggunaan kekuatan dalam sengketa teritorial. Tapi, dia juga menyarankan agar presiden AS itu melakukan sesuatu yang mustahil. “Klarifikasi kepada publik China bahwa AS tidak berusaha mengepung China atau melupakan sentimen nasional dan sejarah mereka akan membantu mengurangi kecemasan dan kemungkinan permusuhan di Pasifik,” kata dia.
(esn)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6504 seconds (0.1#10.140)