Bahasa China Akan Diajarkan di Sekolah-sekolah Arab Saudi
A
A
A
RIYADH - Kerajaan Arab Saudi akan memasukkan bahasa China atau bahasa Mandarin sebagai bahasa ketiga yang diajarkan di setiap sekolah dan universitas. Pengajaran bahasa Mandarin ini sebagai upaya meningkatkan persahabatan dan kerja sama antara Riyadh dan Beijing.
Ini adalah hasil langsung dari kunjungan Putra Mahkota Mohammad bin Salman ke Beijing Februari 2019 lalu, di mana ia menandatangani sejumlah perjanjian dan nota kesepahaman di bidang energi, investasi, transportasi dan teknologi, yang kesemuanya diharapkan membawa hubungan bilateral ke level yang lebih tinggi.
China dilaporkan akan mendanai sebagian dari program bahasa, yang diperkirakan akan membuka pintu bagi warga negara Arab Saudi untuk mengisi sekitar 50.000 pekerjaan.
Anggota Dewan Direksi Masyarakat Saudi untuk Ilmu Politik, Suliman al-Ogaily, mengatakan kepada The Media Line bahwa langkah itu bagian dari kebijakan keterbukaan baru dalam mendukung program Saudi Vision 2030, sebuah rencana yang bertujuan untuk mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan nasional dan restrukturisasi ekonomi dari minyak.
“Ini adalah keputusan yang bertujuan mempromosikan keanekaragaman budaya dan memperluas konsep pendidikan untuk mencapai tingkat interaksi dengan kekuatan ekonomi China yang melampaui impor dan ekspor, hingga investasi bersama serta pariwisata China," kata Ogaily, yang dilansir The Jerusalem Post, Selasa (21/1/2020).
Dia mencatat bahwa perdagangan antara kedua negara mencapai sekitar USD60 miliar pada tahun 2018, meningkat hampir sepertiga dari tahun sebelumnya.
Ogaily menjelaskan bahwa pada tahap implementasi pertama, prakarsa bahasa baru akan terbatas pada delapan sekolah menengah di tiga kota; Riyadh, Jeddah dan Dammam, yang pada akhirnya program akan diperluas untuk mencakup lebih banyak sekolah dan universitas di wilayah tambahan.
"Bahasa China, tidak akan bersaing dengan bahasa Inggris, yang merupakan bahasa kedua di kerajaan ini, setelah bahasa Arab. Itu akan selalu dilihat sebagai suplemen yang berguna dalam perdagangan luar negeri dan untuk pertukaran budaya dan pariwisata," ujarnya.
Dia menunjukkan bahwa meskipun bahasa China adalah salah satu bahasa yang paling sulit untuk dipelajari, itu akan membantu kaum muda Saudi memanfaatkan pengetahuan China dan pengalaman sukses negara itu dengan artificial intelligence (kecerdasan buatan), pengembangan industri, dan ilmu ekonomi.
“Ini adalah area yang menjadi fokus Arab Saudi dalam proyek ekonomi barunya (Saudi Vision 2030)," jelasnya. “Ambisi Saudi menyatu dengan aspirasi China. Mengingat Riyadh memiliki tujuan strategis untuk mengeluarkan minyak pada tahun 2030 dan mendiversifikasi sumber kekayaannya, Beijing bercita-cita untuk menjadi powerhouse (ekonomi dunia) pada waktu yang hampir bersamaan."
Rencana dari program Saudi Vision 2030 juga berupaya mengembangkan tenaga kerja negara Arab Saudi. Sebagai contoh, selama dua tahun terakhir, rencana tersebut telah memungkinkan perempuan Saudi untuk mengemudi dan mencari pekerjaan di berbagai bidang, sedangkan di masa lalu mereka terbatas pada sektor-sektor seperti pendidikan.
Khaled bin Ali Batafi, seorang profesor studi sosial di Universitas Alfaisal di Riyadh, mengatakan kepada The Media Line bahwa China menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat dalam hal perdagangan dengan Arab Saudi.
Ada investasi besar China di wilayah Jazan, yang berada di bagian barat daya kerajaan, di samping investasi lain di bidang pariwisata dan petrokimia. Selain itu, kerajaan memiliki beberapa proyek industri dan minyak sendiri di China.
"Dalam 20 tahun, ekonomi China diharapkan menjadi yang terbesar di dunia," katanya. "Oleh karena itu, berinvestasi dalam hubungan dengan negara berkembang ini, yang merupakan negara paling berkembang di dunia, adalah keputusan yang baik," ujarnya.
Kharima al-Boukhari, seorang aktivis terkemuka Saudi, mengatakan kepada The Media Line bahwa keputusan itu merupakan langkah positif karena akan membuka pintu baru antara orang-orang Saudi dan China.
"Ketika Anda memahami bahasa, Anda memahami budaya dan proses berpikir orang-orang itu," jelasnya.
Boukhari mengatakan budaya China kaya dan unik, sementara masyarakat China memiliki tradisi indah yang membuat hubungan yang lebih baik menjadi penting.
"Orang-orang China brilian," katanya. "Dan mendahului banyak orang di bidang teknologi dan penemuan."
Dia menjelaskan bahwa orang-orang Saudi sangat ingin tahu tentang Timur, terutama budaya Korea dan Jepang. "Orang Saudi menonton serial televisi Korea dan Jepang, dan beberapa orang Saudi telah menguasai bahasa Korea."
"Keterbukaan yang disaksikan di Arab Saudi sangat bagus," lanjut dia. "Ini membantu orang Saudi membuka diri terhadap budaya lain dan menerima yang lain, dan dengan demikian memfasilitasi interaksi mereka dengan negara-negara lain di seluruh dunia."
Ini adalah hasil langsung dari kunjungan Putra Mahkota Mohammad bin Salman ke Beijing Februari 2019 lalu, di mana ia menandatangani sejumlah perjanjian dan nota kesepahaman di bidang energi, investasi, transportasi dan teknologi, yang kesemuanya diharapkan membawa hubungan bilateral ke level yang lebih tinggi.
China dilaporkan akan mendanai sebagian dari program bahasa, yang diperkirakan akan membuka pintu bagi warga negara Arab Saudi untuk mengisi sekitar 50.000 pekerjaan.
Anggota Dewan Direksi Masyarakat Saudi untuk Ilmu Politik, Suliman al-Ogaily, mengatakan kepada The Media Line bahwa langkah itu bagian dari kebijakan keterbukaan baru dalam mendukung program Saudi Vision 2030, sebuah rencana yang bertujuan untuk mendiversifikasi sumber-sumber pendapatan nasional dan restrukturisasi ekonomi dari minyak.
“Ini adalah keputusan yang bertujuan mempromosikan keanekaragaman budaya dan memperluas konsep pendidikan untuk mencapai tingkat interaksi dengan kekuatan ekonomi China yang melampaui impor dan ekspor, hingga investasi bersama serta pariwisata China," kata Ogaily, yang dilansir The Jerusalem Post, Selasa (21/1/2020).
Dia mencatat bahwa perdagangan antara kedua negara mencapai sekitar USD60 miliar pada tahun 2018, meningkat hampir sepertiga dari tahun sebelumnya.
Ogaily menjelaskan bahwa pada tahap implementasi pertama, prakarsa bahasa baru akan terbatas pada delapan sekolah menengah di tiga kota; Riyadh, Jeddah dan Dammam, yang pada akhirnya program akan diperluas untuk mencakup lebih banyak sekolah dan universitas di wilayah tambahan.
"Bahasa China, tidak akan bersaing dengan bahasa Inggris, yang merupakan bahasa kedua di kerajaan ini, setelah bahasa Arab. Itu akan selalu dilihat sebagai suplemen yang berguna dalam perdagangan luar negeri dan untuk pertukaran budaya dan pariwisata," ujarnya.
Dia menunjukkan bahwa meskipun bahasa China adalah salah satu bahasa yang paling sulit untuk dipelajari, itu akan membantu kaum muda Saudi memanfaatkan pengetahuan China dan pengalaman sukses negara itu dengan artificial intelligence (kecerdasan buatan), pengembangan industri, dan ilmu ekonomi.
“Ini adalah area yang menjadi fokus Arab Saudi dalam proyek ekonomi barunya (Saudi Vision 2030)," jelasnya. “Ambisi Saudi menyatu dengan aspirasi China. Mengingat Riyadh memiliki tujuan strategis untuk mengeluarkan minyak pada tahun 2030 dan mendiversifikasi sumber kekayaannya, Beijing bercita-cita untuk menjadi powerhouse (ekonomi dunia) pada waktu yang hampir bersamaan."
Rencana dari program Saudi Vision 2030 juga berupaya mengembangkan tenaga kerja negara Arab Saudi. Sebagai contoh, selama dua tahun terakhir, rencana tersebut telah memungkinkan perempuan Saudi untuk mengemudi dan mencari pekerjaan di berbagai bidang, sedangkan di masa lalu mereka terbatas pada sektor-sektor seperti pendidikan.
Khaled bin Ali Batafi, seorang profesor studi sosial di Universitas Alfaisal di Riyadh, mengatakan kepada The Media Line bahwa China menempati urutan kedua setelah Amerika Serikat dalam hal perdagangan dengan Arab Saudi.
Ada investasi besar China di wilayah Jazan, yang berada di bagian barat daya kerajaan, di samping investasi lain di bidang pariwisata dan petrokimia. Selain itu, kerajaan memiliki beberapa proyek industri dan minyak sendiri di China.
"Dalam 20 tahun, ekonomi China diharapkan menjadi yang terbesar di dunia," katanya. "Oleh karena itu, berinvestasi dalam hubungan dengan negara berkembang ini, yang merupakan negara paling berkembang di dunia, adalah keputusan yang baik," ujarnya.
Kharima al-Boukhari, seorang aktivis terkemuka Saudi, mengatakan kepada The Media Line bahwa keputusan itu merupakan langkah positif karena akan membuka pintu baru antara orang-orang Saudi dan China.
"Ketika Anda memahami bahasa, Anda memahami budaya dan proses berpikir orang-orang itu," jelasnya.
Boukhari mengatakan budaya China kaya dan unik, sementara masyarakat China memiliki tradisi indah yang membuat hubungan yang lebih baik menjadi penting.
"Orang-orang China brilian," katanya. "Dan mendahului banyak orang di bidang teknologi dan penemuan."
Dia menjelaskan bahwa orang-orang Saudi sangat ingin tahu tentang Timur, terutama budaya Korea dan Jepang. "Orang Saudi menonton serial televisi Korea dan Jepang, dan beberapa orang Saudi telah menguasai bahasa Korea."
"Keterbukaan yang disaksikan di Arab Saudi sangat bagus," lanjut dia. "Ini membantu orang Saudi membuka diri terhadap budaya lain dan menerima yang lain, dan dengan demikian memfasilitasi interaksi mereka dengan negara-negara lain di seluruh dunia."
(mas)