Habisi Jenderal Top Iran, AS Tempatkan Arab Saudi dalam Bahaya
A
A
A
RIYADH - Amerika Serikat (AS) telah menempatkan sekutunya, Arab Saudi, dalam bahaya setelah serangan udaranya di Baghdad menewaskan jenderal top Iran, Qassem Soleimani . Riyadh berpotensi jadi target balas dendam yang telah dikobarkan rezim para Mullah.
Para pejabat Washington, yang dikutip AFP secara anonim, mengatakan Riyadh menghadapi "risiko tinggi" serangan pesawat tak berawak dan rudal Teheran setelah pembunuhan Soleimani. Jenderal top Teheran itu merupakan komandan Pasukan Quds, sebuah pasukan elite dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Pembunuhan itu telah memicu kekhawatiran akan konflik besar-besaran di kawasan regional, di mana Arab Saudi menyebutnya sebagai "momen yang sangat berbahaya".
Riyadh telah berusaha menjauhkan diri dari serangan AS, dengan seorang pejabat Saudi mengatakan kepada AFP bahwa kerajaan itu "tidak diajak berkonsultasi" oleh Washington sebelum pembunuhan Soleimani. (Baca: Jenderal Soleimani Dibunuh, AS dan Iran di Ambang Perang Besar-besaran )
Koran-koran Saudi yang dekat dengan kerajaan berusaha menonjolkan peran rival Riyadh, Doha, dalam aksi militer Washington terhadap Soleimani. Menurut media-media tersebut pesawat nirawak MQ-9 Reaper yang menyerang Soleimani lepas landas dari pangkalan militer di Qatar.
Delegasi Arab Saudi yang dipimpin oleh Pangeran Khalid bin Salman—Wakil Menteri Pertahanan—tiba di Washington pada hari Senin untuk pembicaraan de-eskalasi. Sedangkan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud mendesak Irak untuk mengambil langkah-langkah untuk meredakan ketegangan.
"Sudah cukup jelas bahwa Saudi tidak menyambut krisis ini meskipun mereka harus diam-diam senang dengan pembunuhan Soleimani," kata Hussein Ibish, seorang sarjana di Arab Gulf States Institute di Washington, Selasa (7/1/2020).
"Mereka tahu bahwa mereka akan berada dalam baku tembak jika perang meletus, jadi mereka melakukan segala yang mereka bisa untuk menurunkan tensi," ujarnya. (Baca: Kata Analis, Sekutu AS Takut Jadi Target Balas Dendam Iran )
Putus Asa
Dalam beberapa bulan terakhir, Arab Saudi dan pesaingnya, Iran, telah mengambil langkah-langkah menuju perundingan yang ditengahi Irak dalam upaya untuk meredakan ketegangan yang telah membawa Timur Tengah ke ambang perang.
Perdana Menteri Irak Adel Abdel Mahdi mengatakan pada hari Minggu bahwa ia mengharapkan untuk bertemu Soleimani pada hari ia terbunuh, dengan mengatakan bahwa jenderal tersebut telah melakukan perjalanan untuk memberikan tanggapan dari Teheran terhadap pesan Saudi sebelumnya.
Pendekatan ini menandai pergeseran sikap dari penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Mohammad bin Salman, yang sebelumnya bersikap agresif terhadap Iran. Sikap agresif itu telah membuat ketegangan regional melonjak.
Para analis khawatir bahwa para pemimpin Arab Saudi—yang frustrasi dengan pendekatan mantan presiden AS Barack Obama terhadap Iran dan yang menyambut sikap bermusuhan Donald Trump—akan menyeret Washington ke dalam konflik lain yang tidak bisa diselesaikan.
Namun, Riyadh telah dihajar oleh serangan terkoordinasi yang menargetkan kilang minyak utama pada 14 September 2019 lalu. Washington menyalahkan Iran atas serangan itu, namun Teheran membantahnya. (Baca: Habisi Jenderal Soleimani, AS Tak Konsultasi dengan Saudi )
Para analis mengatakan, tanggapan Washington yang "hangat" setelah serangan 14 September menegaskan pandangan bahwa Kerajaan Arab Saudi tidak dapat bergantung pada sekutu Barat-nya untuk membantu, jika konflik meletus.
"Serangan 14 September di Arab Saudi menunjukkan ketidakmampuannya untuk melindungi infrastruktur kritis mereka terhadap serangan asimetris," kata Kristian Ulrichsen, seorang fellow di Baker Institute di Rice University, Amerika Serikat.
"Dengan Saudi dan sekutunya, Uni Emirat Arab, bersiap untuk acara global tahun ini—KTT G-20 di Riyadh dan Dubai Expo 2020—keduanya akan putus asa untuk menghindari eskalasi yang bisa membuat mereka ragu," ujarnya.
Hadiah untuk Pendekatan
Riyadh diam-diam mencoba melepaskan diri dari krisis regional lainnya. Kerajaan itu diketahui telah meningkatkan pembicaraan langsung dengan pemberontak Houthi Yaman pro-Iran yang telah mereka perangi selama hampir lima tahun. Usaha kerajaan itu terlihat dari penurunan nyata serangan oleh kedua belah pihak. (Baca juga: Mengenal Jenderal Soleimani yang Dibunuh AS di Baghdad )
Riyadh juga diketahui terlibat dalam pembicaraan dengan Qatar mengenai cara-cara untuk meredakan boikot terhadap Doha yang sudah berjalan dua tahun. Boikot itu dilakukan kuartet Arab, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir dan Bahrain.
"Pembunuhan Soleimani...mengancam akan menghambat kemajuan ini," kata Stephen Seche, wakil presiden Arab Gulf States Institute di Washington.
"Ini sangat meningkatkan kemungkinan bahwa unsur-unsur dalam kelompok Houthi yang dekat dengan Teheran akan tergoda untuk menyerang jauh ke Arab Saudi, sebuah langkah yang hampir pasti akan membatalkan inisiatif perdamaian yang sedang berlangsung," ujarnya.
Pemberontak Houthi Yaman, yang secara mengejutkan terbukti tahan terhadap arsenal militer Arab Saudi yang mahal, telah berjanji melakukan "pembalasan cepat" dan menyuarakan solidaritas dengan Teheran.
Tetapi Iran dan para proksinya cenderung untuk menargetkan instalasi Amerika. "Karena Iran perlu mengejar sesuatu (dari) Amerika, mereka dapat menemukan cara untuk melakukannya tanpa harus menghancurkan pendekatan mereka ke Arab Saudi," kata Ryan Bohl, dari kelompok think tank geopolitik Stratfor yang berbasis di AS.
"Itu bisa menjadi hadiah untuk Riyadh karena pendekatannya," ujarnya.
Para pejabat Washington, yang dikutip AFP secara anonim, mengatakan Riyadh menghadapi "risiko tinggi" serangan pesawat tak berawak dan rudal Teheran setelah pembunuhan Soleimani. Jenderal top Teheran itu merupakan komandan Pasukan Quds, sebuah pasukan elite dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Pembunuhan itu telah memicu kekhawatiran akan konflik besar-besaran di kawasan regional, di mana Arab Saudi menyebutnya sebagai "momen yang sangat berbahaya".
Riyadh telah berusaha menjauhkan diri dari serangan AS, dengan seorang pejabat Saudi mengatakan kepada AFP bahwa kerajaan itu "tidak diajak berkonsultasi" oleh Washington sebelum pembunuhan Soleimani. (Baca: Jenderal Soleimani Dibunuh, AS dan Iran di Ambang Perang Besar-besaran )
Koran-koran Saudi yang dekat dengan kerajaan berusaha menonjolkan peran rival Riyadh, Doha, dalam aksi militer Washington terhadap Soleimani. Menurut media-media tersebut pesawat nirawak MQ-9 Reaper yang menyerang Soleimani lepas landas dari pangkalan militer di Qatar.
Delegasi Arab Saudi yang dipimpin oleh Pangeran Khalid bin Salman—Wakil Menteri Pertahanan—tiba di Washington pada hari Senin untuk pembicaraan de-eskalasi. Sedangkan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud mendesak Irak untuk mengambil langkah-langkah untuk meredakan ketegangan.
"Sudah cukup jelas bahwa Saudi tidak menyambut krisis ini meskipun mereka harus diam-diam senang dengan pembunuhan Soleimani," kata Hussein Ibish, seorang sarjana di Arab Gulf States Institute di Washington, Selasa (7/1/2020).
"Mereka tahu bahwa mereka akan berada dalam baku tembak jika perang meletus, jadi mereka melakukan segala yang mereka bisa untuk menurunkan tensi," ujarnya. (Baca: Kata Analis, Sekutu AS Takut Jadi Target Balas Dendam Iran )
Putus Asa
Dalam beberapa bulan terakhir, Arab Saudi dan pesaingnya, Iran, telah mengambil langkah-langkah menuju perundingan yang ditengahi Irak dalam upaya untuk meredakan ketegangan yang telah membawa Timur Tengah ke ambang perang.
Perdana Menteri Irak Adel Abdel Mahdi mengatakan pada hari Minggu bahwa ia mengharapkan untuk bertemu Soleimani pada hari ia terbunuh, dengan mengatakan bahwa jenderal tersebut telah melakukan perjalanan untuk memberikan tanggapan dari Teheran terhadap pesan Saudi sebelumnya.
Pendekatan ini menandai pergeseran sikap dari penguasa de facto Saudi, Putra Mahkota Mohammad bin Salman, yang sebelumnya bersikap agresif terhadap Iran. Sikap agresif itu telah membuat ketegangan regional melonjak.
Para analis khawatir bahwa para pemimpin Arab Saudi—yang frustrasi dengan pendekatan mantan presiden AS Barack Obama terhadap Iran dan yang menyambut sikap bermusuhan Donald Trump—akan menyeret Washington ke dalam konflik lain yang tidak bisa diselesaikan.
Namun, Riyadh telah dihajar oleh serangan terkoordinasi yang menargetkan kilang minyak utama pada 14 September 2019 lalu. Washington menyalahkan Iran atas serangan itu, namun Teheran membantahnya. (Baca: Habisi Jenderal Soleimani, AS Tak Konsultasi dengan Saudi )
Para analis mengatakan, tanggapan Washington yang "hangat" setelah serangan 14 September menegaskan pandangan bahwa Kerajaan Arab Saudi tidak dapat bergantung pada sekutu Barat-nya untuk membantu, jika konflik meletus.
"Serangan 14 September di Arab Saudi menunjukkan ketidakmampuannya untuk melindungi infrastruktur kritis mereka terhadap serangan asimetris," kata Kristian Ulrichsen, seorang fellow di Baker Institute di Rice University, Amerika Serikat.
"Dengan Saudi dan sekutunya, Uni Emirat Arab, bersiap untuk acara global tahun ini—KTT G-20 di Riyadh dan Dubai Expo 2020—keduanya akan putus asa untuk menghindari eskalasi yang bisa membuat mereka ragu," ujarnya.
Hadiah untuk Pendekatan
Riyadh diam-diam mencoba melepaskan diri dari krisis regional lainnya. Kerajaan itu diketahui telah meningkatkan pembicaraan langsung dengan pemberontak Houthi Yaman pro-Iran yang telah mereka perangi selama hampir lima tahun. Usaha kerajaan itu terlihat dari penurunan nyata serangan oleh kedua belah pihak. (Baca juga: Mengenal Jenderal Soleimani yang Dibunuh AS di Baghdad )
Riyadh juga diketahui terlibat dalam pembicaraan dengan Qatar mengenai cara-cara untuk meredakan boikot terhadap Doha yang sudah berjalan dua tahun. Boikot itu dilakukan kuartet Arab, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir dan Bahrain.
"Pembunuhan Soleimani...mengancam akan menghambat kemajuan ini," kata Stephen Seche, wakil presiden Arab Gulf States Institute di Washington.
"Ini sangat meningkatkan kemungkinan bahwa unsur-unsur dalam kelompok Houthi yang dekat dengan Teheran akan tergoda untuk menyerang jauh ke Arab Saudi, sebuah langkah yang hampir pasti akan membatalkan inisiatif perdamaian yang sedang berlangsung," ujarnya.
Pemberontak Houthi Yaman, yang secara mengejutkan terbukti tahan terhadap arsenal militer Arab Saudi yang mahal, telah berjanji melakukan "pembalasan cepat" dan menyuarakan solidaritas dengan Teheran.
Tetapi Iran dan para proksinya cenderung untuk menargetkan instalasi Amerika. "Karena Iran perlu mengejar sesuatu (dari) Amerika, mereka dapat menemukan cara untuk melakukannya tanpa harus menghancurkan pendekatan mereka ke Arab Saudi," kata Ryan Bohl, dari kelompok think tank geopolitik Stratfor yang berbasis di AS.
"Itu bisa menjadi hadiah untuk Riyadh karena pendekatannya," ujarnya.
(mas)