China: AS Kembali ke Mentalitas Perang Dingin, Berisiko Perang Nuklir
A
A
A
SHENZHEN - Pemerintah China menyalahkan serentetan perilaku Amerika Serikat (AS) yang dianggap kembali ke mentalitas Perang Dingin. Menurut Beijing, perilaku Washington mengikis stabilitas global yang mengarah pada perlombaan senjata dan berisiko menjadi perang nuklir.
Kritik keras Beijing terhadap Washington disampaikan oleh Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri China Fu Cong dalam pidato pembukaan Seminar PIIC Beijing ke-16 tentang Keamanan Internasional yang diselenggarakan di Shenzhen, Rabu (16/10/2019).
Seminar diselenggarakan oleh Asosiasi dan Perlucutan Senjata China (CACDA), Program Ilmu Pengetahuan dan Studi Keamanan Nasional (PSNSS), dan Prakarsa Ancaman Nuklir (NTI). Para ahli dan pakar dari China, AS, Rusia, AS, Jerman, Italia, Belgia, Jepang, Korea Selatan, Mongolia, dan negara lain berpartisipasi dalam seminar ini.
Beijing, kata Fu Cong, menyerukan semua pihak untuk menjaga stabilitas strategis global dan mengurangi risiko konflik nuklir. Menurutnya, situasi keamanan strategis global telah memburuk secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. Unilateralisme dan hegemonisme meningkat dalam hubungan internasional, yang menimbulkan ancaman besar terhadap tatanan internasional berdasarkan hukum internasional.
"Kembali ke mentalitas Perang Dingin, AS telah menarik diri dari atau mengundurkan diri dari sejumlah perjanjian pengendalian senjata multilateral, dengan tujuan mencari superioritas militer yang unilateral dan luar biasa," kata Fu Cong, yang dikutip SINDOnews.com, dari situs resmi Kementerian Luar Negeri China, Kamis (17/10/2019).
Menurutnya, rasa saling percaya dan kerja sama antara kekuatan-kekuatan besar telah sangat terkikis. "Stabilitas strategis global sedang dirusak secara serius, norma-norma internasional dan rezim multilateral berada di bawah tekanan yang parah, dan defisit tata kelola keamanan global menjadi lebih menonjol," paparnya.
Fu Cong menekankan bahwa berlanjutnya erosi stabilitas strategis global yang tak terelakkan akan mengarah pada kambuhnya perlombaan senjata nuklir. "Dan risiko konflik nuklir akan meningkat," katanya.
"Semua negara yang memiliki senjata nuklir harus mengambil tindakan untuk mengurangi peran senjata nuklir dalam doktrin keamanan nasional mereka. Negara-negara yang memiliki senjata nuklir harus memberikan jaminan keamanan tanpa syarat dan tidak ambigu kepada negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir," paparnya.
Dia mendesak setiap negara untuk menahan diri dalam membangun dan menggunakan kemampuan strategis. "Perlucutan nuklir harus dilakukan dengan cara yang masuk akal dan pragmatis. Negara-negara yang memiliki senjata nuklir harus meningkatkan dialog tentang doktrin dan strategi nuklir," imbuh dia.
Masalah non-proliferasi nuklir, sambung dia, harus diselesaikan melalui cara politik dan diplomatik. Tantangan yang diciptakan oleh teknologi yang muncul harus ditangani dengan benar.
Lebih lanjut, Fu Cong menyampaikan penyesalan China yang mendalam atas penarikan diri AS dari Perjanjian INF. Menurut pandangan China, penarikan diri AS akan memiliki dampak negatif langsung pada stabilitas strategis global, pada perdamaian dan keamanan di kawasan Eropa dan Asia-Pasifik, serta rezim kendali senjata internasional.
"Fakta bahwa AS telah melakukan uji coba rudal jelajah jarak menengah berbasis darat kurang dari tiga minggu setelah penarikannya dari perjanjian itu menunjukkan bahwa penarikannya dimaksudkan untuk membebaskan tangannya dalam mengembangkan persenjataan canggih guna mencari keuntungan militer sepihak. China dengan tegas menentang penyebaran misil jarak menengah berbasis darat AS di kawasan Asia-Pasifik," katanya.
"Rudal AS, jika dikerahkan di wilayah itu akan hampir di ambang pintu China. Jika itu terjadi, China tidak akan punya pilihan selain mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mempertahankan keamanan nasionalnya."
Kritik keras Beijing terhadap Washington disampaikan oleh Direktur Jenderal Departemen Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri China Fu Cong dalam pidato pembukaan Seminar PIIC Beijing ke-16 tentang Keamanan Internasional yang diselenggarakan di Shenzhen, Rabu (16/10/2019).
Seminar diselenggarakan oleh Asosiasi dan Perlucutan Senjata China (CACDA), Program Ilmu Pengetahuan dan Studi Keamanan Nasional (PSNSS), dan Prakarsa Ancaman Nuklir (NTI). Para ahli dan pakar dari China, AS, Rusia, AS, Jerman, Italia, Belgia, Jepang, Korea Selatan, Mongolia, dan negara lain berpartisipasi dalam seminar ini.
Beijing, kata Fu Cong, menyerukan semua pihak untuk menjaga stabilitas strategis global dan mengurangi risiko konflik nuklir. Menurutnya, situasi keamanan strategis global telah memburuk secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. Unilateralisme dan hegemonisme meningkat dalam hubungan internasional, yang menimbulkan ancaman besar terhadap tatanan internasional berdasarkan hukum internasional.
"Kembali ke mentalitas Perang Dingin, AS telah menarik diri dari atau mengundurkan diri dari sejumlah perjanjian pengendalian senjata multilateral, dengan tujuan mencari superioritas militer yang unilateral dan luar biasa," kata Fu Cong, yang dikutip SINDOnews.com, dari situs resmi Kementerian Luar Negeri China, Kamis (17/10/2019).
Menurutnya, rasa saling percaya dan kerja sama antara kekuatan-kekuatan besar telah sangat terkikis. "Stabilitas strategis global sedang dirusak secara serius, norma-norma internasional dan rezim multilateral berada di bawah tekanan yang parah, dan defisit tata kelola keamanan global menjadi lebih menonjol," paparnya.
Fu Cong menekankan bahwa berlanjutnya erosi stabilitas strategis global yang tak terelakkan akan mengarah pada kambuhnya perlombaan senjata nuklir. "Dan risiko konflik nuklir akan meningkat," katanya.
"Semua negara yang memiliki senjata nuklir harus mengambil tindakan untuk mengurangi peran senjata nuklir dalam doktrin keamanan nasional mereka. Negara-negara yang memiliki senjata nuklir harus memberikan jaminan keamanan tanpa syarat dan tidak ambigu kepada negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir," paparnya.
Dia mendesak setiap negara untuk menahan diri dalam membangun dan menggunakan kemampuan strategis. "Perlucutan nuklir harus dilakukan dengan cara yang masuk akal dan pragmatis. Negara-negara yang memiliki senjata nuklir harus meningkatkan dialog tentang doktrin dan strategi nuklir," imbuh dia.
Masalah non-proliferasi nuklir, sambung dia, harus diselesaikan melalui cara politik dan diplomatik. Tantangan yang diciptakan oleh teknologi yang muncul harus ditangani dengan benar.
Lebih lanjut, Fu Cong menyampaikan penyesalan China yang mendalam atas penarikan diri AS dari Perjanjian INF. Menurut pandangan China, penarikan diri AS akan memiliki dampak negatif langsung pada stabilitas strategis global, pada perdamaian dan keamanan di kawasan Eropa dan Asia-Pasifik, serta rezim kendali senjata internasional.
"Fakta bahwa AS telah melakukan uji coba rudal jelajah jarak menengah berbasis darat kurang dari tiga minggu setelah penarikannya dari perjanjian itu menunjukkan bahwa penarikannya dimaksudkan untuk membebaskan tangannya dalam mengembangkan persenjataan canggih guna mencari keuntungan militer sepihak. China dengan tegas menentang penyebaran misil jarak menengah berbasis darat AS di kawasan Asia-Pasifik," katanya.
"Rudal AS, jika dikerahkan di wilayah itu akan hampir di ambang pintu China. Jika itu terjadi, China tidak akan punya pilihan selain mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mempertahankan keamanan nasionalnya."
(mas)