Sosok Karl Marx, yang Buku Pemikirannya Jadi Target Razia di Indonesia

Senin, 05 Agustus 2019 - 16:50 WIB
Sosok Karl Marx, yang...
Sosok Karl Marx, yang Buku Pemikirannya Jadi Target Razia di Indonesia
A A A
JAKARTA - Buku tentang pemikiran Karl Marx jadi target razia sekelompok orang di Gramedia Trans Studio Mall Makassar. Padahal, hukum di Indonesia melarang siapa pun, termasuk jaksa, merazia buku tanpa izin pengadilan.

Sekadar diketahui, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Oktober 2010 telah mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk melarang buku. Pelarangan buku hanya bisa dilakukan setelah ada putusan pengadilan.

Siapa sejatinya Karl Marx , sehingga buku-buku tentang pemikirannya jadi target razia? SINDOnews.com mengutip laman history.com, mengulas singkat sosok Marx. Berikut ulasannya;

Karl Marx lahir 5 Mei 1818 di Trier, Prusia yang sekarang adalah negara Jerman. Dia meninggal 14 Maret 1883 pada usia 64 tahun di Makam Highgate, London, Inggris. Semasa hidup, dia pernah tinggal di Jerman, Prancis, Belgia, Inggris Raya. Dia memiliki istri bernama Jenny von westphalen yang meninggal tahun 1881. Pasangan itu dikaruniai tujuh anak.

Hidup Marx mulai dikenal ketika dia menjadi mahasiswa, yang kala itu ia bergabung dengan sebuah gerakan yang dikenal sebagai Hegelian Muda (Young Hegelian). Gerakan ini sangat mengkritik pendirian politik dan budaya saat itu.

Karl Marx pernah menjadi seorang jurnalis, dan sifat radikal dari tulisannya pada akhirnya akan membuatnya dikeluarkan oleh pemerintah Jerman, Prancis dan Belgia. Pada tahun 1848, Marx dan rekannya sesama pemikir asal Jerman; Friedrich Engels, menerbitkan “The Communist Manifesto" atau "Manifesto Komunis". Manifesto itu memperkenalkan konsep sosialisme mereka sebagai hasil alami dari konflik yang melekat dalam sistem kapitalis.

Gara-gara didepak dari tiga negara itu, Marx akhirnya pindah ke London, tempat dia tinggal selama sisa hidupnya. Pada tahun 1867, dia menerbitkan volume pertama "Capital" atau "Das Kapital", di mana ia menjabarkan visinya tentang kapitalisme dan kecenderungannya yang tak terhindarkan menuju penghancuran diri, dan mengambil bagian dalam gerakan buruh internasional yang berkembang berdasarkan teori revolusionernya.

Karl Marx merupakan anak laki-laki tertua dari sembilan anak bersaudara. Kedua orang tuanya adalah orang Yahudi, dan berasal dari garis panjang rabi (pemuka agama Yahudi). Namun, ayahnya yang seorang pengacara pindah keyakinan menjadi Lutheranisme pada tahun 1816 karena hukum kontemporer saat itu melarang orang Yahudi dari masyarakat yang lebih tinggi. Karl muda dibaptis di gereja yang sama pada usia 6 tahun, tetapi kemudian menjadi seorang ateis.

Agama Adalah Candu?

Marx selama ini dianggap sebagai sosok yang menentang agama gara-gara kutipan terkenal darinya dalam bahasa Jerman "Die Religion...ist das Opium des Volkes" yang artinya; "Agama...adalah opium bagi masyarakat".

Kutipan terkenal sekaligus sepotong-sepotong dari tulisan Karl Marx itu sering disalahartikan. Kutipan ini sering digunakan untuk menyerang Marx, yang membuat ajarannya seolah-olah memusuhi agama.

Kutipan ini berasal dari karya Marx berjudul "A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right" yang mulai ditulis pada tahun 1843 namun tidak diterbitkan hingga waktu kematiannya. Pengenalan karya ini dimulai terpisah-pisah sejak 1844, dalam jurnal Marx Deutsch–Französische Jahrbücher, yang berkolaborasi dengan Arnold Ruge.

Lebih jauh, kutipan ini kadang dipelesetkan menjadi "Tuhan adalah candu", padahal yang dimaksud Karl Marx bukanlah Tuhan sendiri, tetapi agama.

Kutipan itu sendiri terpotong, yang sebenarnya membuatnya melenceng jauh dari tulisan lengkapnya: "Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people."

Sacara harfiah kutipan itu bermakna; "Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat."

Jelas bahwa Karl Marx justru menganggap agama sebagai opium yang maksudnya sarana meringankan beban bagi manusia, bukannya menuduhnya sebagai sebagai candu yang menyebabkan ketergantungan. Konteks opium adalah sebagai obat peringan beban pikiran. Namun, kutipan lengkap ini terlanjur dipotong-dipotong dan disalahartikan.

Tahukah Anda tentang Revolusi Rusia 1917 yang menggulingkan pemerintahan Tsar yang berkuasa selama tiga abad? Revolusi itu berakar pada kepercayaan Marxis. Pemimpin revolusi, Vladimir Lenin, membangun pemerintahan proletar barunya berdasarkan interpretasinya terhadap pemikiran Marxis, mengubah Karl Marx menjadi seorang tokoh terkenal internasional lebih dari 30 tahun setelah kematiannya.

Setelah satu tahun di Universitas Bonn—di mana Marx dipenjara karena mabuk dan berkelahi dengan mahasiswa lain—orang tuanya yang cemas mendaftarkan putra mereka di Universitas Berlin, tempat ia belajar hukum dan filsafat. Di sana, ia diperkenalkan dengan filusuf Berlin, profesor GWF Hegel dan bergabung dengan kelompok yang dikenal sebagai Hegelian Muda. Kelompok ini menantang lembaga dan gagasan yang ada di semua lini, termasuk agama, filsafat, etika, dan politik.

Karl Marx Jadi Sang Revolusioner

Setelah menerima gelarnya, Marx mulai menulis untuk surat kabar demokrasi liberal; Rheinische Zeitung, dan dia menjadi editor surat kabar itu pada tahun 1842. Pemerintah Prusia melarang surat kabar itu pada tahun-tahun berikutnya karena terlalu radikal.

Dengan istri barunya, Jenny von Westphalen, Marx pindah ke Paris pada tahun 1843. Di sana Marx bertemu dengan sesama imigran Jerman, Friedrich Engels, yang kemudian menjadi kolaborator dan teman seumur hidupnya. Pada tahun 1845, Engels dan Marx menerbitkan kritik terhadap filosofi Hegelian Muda yang berjudul "The Holy Father."

Pada saat itu, pemerintah Prusia melakukan intervensi untuk mengusir Marx dari Prancis, dan ia dan Engels telah pindah ke Brussels, Belgia, di mana Marx melepaskan kewarganegaraan Prusia-nya. Pada tahun 1847, Liga Komunis yang baru didirikan di London, Inggris, merancang Marx dan Engels untuk menulis "Manifesto Komunis" yang diterbitkan pada tahun berikutnya. Di dalamnya, kedua filsuf itu menggambarkan semua sejarah sebagai serangkaian perjuangan kelas (materialisme historis), dan meramalkan bahwa revolusi proletar yang akan datang akan menyapu bersih sistem kapitalis untuk kebaikan, menjadikan para pekerja kelas berkuasa baru di dunia.

Hidup Karl Marx di London dan 'Das Kapital'

Dengan pemberontakan revolusioner melanda Eropa pada tahun 1848, Marx meninggalkan Belgia sesaat sebelum diusir oleh pemerintah negara itu. Dia sebentar kembali ke Paris dan Jerman sebelum menetap di London, di mana dia akan tinggal selama sisa hidupnya, meskipun ditolak memiliki kewarganegaraan Inggris. Dia bekerja sebagai jurnalis di sana, termasuk 10 tahun sebagai koresponden untuk New York Daily Tribune, tetapi tidak pernah berhasil mendapatkan upah layak, dan didukung secara finansial oleh Engels.

Belakangan, Marx menjadi semakin terisolasi dari rekan-rekan Komunis London, dan lebih fokus pada pengembangan teori ekonominya. Pada tahun 1864, ia membantu mendirikan Asosiasi Pekerja Internasional (dikenal sebagai First International) dan menulis pidato pengukuhannya.

Tiga tahun kemudian, Marx menerbitkan volume pertama "Capital" atau "Das Kapital", yang merupakan karya besarnya tentang teori ekonomi. Di dalamnya dia menyatakan keinginan untuk mengungkapkan "hukum ekonomi mosi masyarakat modern" dan meletakkan teorinya tentang kapitalisme sebagai sistem dinamis yang berisi benih-benih kehancuran dirinya sendiri dan kemenangan komunisme selanjutnya.

Marx menghabiskan sisa hidupnya dengan menulis naskah untuk volume tambahan buku tersebut, tetapi karya itu tetap belum selesai sampai kematiannya tiba. Dia meninggal, setelah menderita radang selaput dada, pada 14 Maret 1883.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1025 seconds (0.1#10.140)