Rouhani Sebut Sanksi AS Tindakan Terorisme
A
A
A
PARIS - Presiden Iran Hassan Rouhani menyebut sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) kepada Teheran sebagai tindakan terorisme dan memperingatkan bahwa jika perang ekonomi akan mempengaruhi dunia. Hal itu diungkapkan Rouhani kepada koleganya Presiden Prancis Emmanuel Macron saat keduanya melakukan pembicaraan via telepon.
"Dia (Rouhani) juga menggambarkan sanksi AS terhadap negara Iran itu sebagai tindakan terorisme dan perang ekonomi sepenuhnya," kata layanan pers kepresidenan Prancis dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di situs resmi presiden seperti dilansir dari Sputnik, Minggu (7/7/2019).
Pemimpin Iran itu mengatakan kepada Macron bahwa jika tekanan ekonomi di pihak AS terus bertahan, hal itu akan memiliki konsekuensi bagi kawasan dan seluruh dunia.
"Kelanjutan perang ekonomi ini dapat menyebabkan ancaman lain di kawasan dan dunia", kata Rouhani, yang dikutip dalam pernyataan itu.
Selama pembicaraan telepon, presiden Iran juga mendesak Uni Eropa untuk berbuat lebih banyak guna mempertahankan kesepakatan nuklir Iran, di mana AS menarik diri lebih dari setahun yang lalu.
"Rouhani mengatakan bahwa meskipun ada sanksi AS, Iran telah berusaha menyelamatkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) selama 14 bulan terakhir dengan kesabaran strategis," kata pernyataan itu.
Percakapan Macron dengan Rouhani berlangsung selama lebih dari satu jam. Presiden Prancis mengatakan bahwa dalam beberapa hari mendatang ia akan berkonsultasi dengan pihak berwenang Iran dan penandatangan lainnya pada pakta 2015 untuk mencapai "pengurangan ketegangan yang diperlukan", dan bersumpah untuk "mengeksplorasi kondisi untuk memulai kembali dialog dengan semua pihak pada 15 Juli".
Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada Mei 2018 bahwa negaranya menarik diri dari JCPOA 2015 atas dugaan pelanggaran perjanjian oleh Iran. Segera setelah meninggalkan JCPOA, AS menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, yang dicabut berdasarkan perjanjian nuklir.
Pada bulan Mei, Iran mengumumkan bahwa negara itu menangguhkan sebagian kewajibannya berdasarkan perjanjian nuklir, memberikan penandatangan JCPOA lainnya waktu 60 hari - sampai 7 Juli - untuk menyelamatkan perjanjian dengan menemukan cara untuk melindungi Iran dari tekanan sanksi AS.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif membenarkan bahwa negara itu telah melampaui batas persediaan uranium yang diperkaya 300 kilogram (660 pon), yang sebelumnya disetujui berdasarkan perjanjian nuklir.
Iran juga telah memperingatkan bahwa negara itu akan mulai memperkaya uranium di atas ambang 3,67 persen yang disediakan oleh JCPOA, mulai dari 7 Juli, jika kondisi Teheran tidak terpenuhi.
"Dia (Rouhani) juga menggambarkan sanksi AS terhadap negara Iran itu sebagai tindakan terorisme dan perang ekonomi sepenuhnya," kata layanan pers kepresidenan Prancis dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di situs resmi presiden seperti dilansir dari Sputnik, Minggu (7/7/2019).
Pemimpin Iran itu mengatakan kepada Macron bahwa jika tekanan ekonomi di pihak AS terus bertahan, hal itu akan memiliki konsekuensi bagi kawasan dan seluruh dunia.
"Kelanjutan perang ekonomi ini dapat menyebabkan ancaman lain di kawasan dan dunia", kata Rouhani, yang dikutip dalam pernyataan itu.
Selama pembicaraan telepon, presiden Iran juga mendesak Uni Eropa untuk berbuat lebih banyak guna mempertahankan kesepakatan nuklir Iran, di mana AS menarik diri lebih dari setahun yang lalu.
"Rouhani mengatakan bahwa meskipun ada sanksi AS, Iran telah berusaha menyelamatkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) selama 14 bulan terakhir dengan kesabaran strategis," kata pernyataan itu.
Percakapan Macron dengan Rouhani berlangsung selama lebih dari satu jam. Presiden Prancis mengatakan bahwa dalam beberapa hari mendatang ia akan berkonsultasi dengan pihak berwenang Iran dan penandatangan lainnya pada pakta 2015 untuk mencapai "pengurangan ketegangan yang diperlukan", dan bersumpah untuk "mengeksplorasi kondisi untuk memulai kembali dialog dengan semua pihak pada 15 Juli".
Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada Mei 2018 bahwa negaranya menarik diri dari JCPOA 2015 atas dugaan pelanggaran perjanjian oleh Iran. Segera setelah meninggalkan JCPOA, AS menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran, yang dicabut berdasarkan perjanjian nuklir.
Pada bulan Mei, Iran mengumumkan bahwa negara itu menangguhkan sebagian kewajibannya berdasarkan perjanjian nuklir, memberikan penandatangan JCPOA lainnya waktu 60 hari - sampai 7 Juli - untuk menyelamatkan perjanjian dengan menemukan cara untuk melindungi Iran dari tekanan sanksi AS.
Awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif membenarkan bahwa negara itu telah melampaui batas persediaan uranium yang diperkaya 300 kilogram (660 pon), yang sebelumnya disetujui berdasarkan perjanjian nuklir.
Iran juga telah memperingatkan bahwa negara itu akan mulai memperkaya uranium di atas ambang 3,67 persen yang disediakan oleh JCPOA, mulai dari 7 Juli, jika kondisi Teheran tidak terpenuhi.
(ian)