Saudi Disebut Perluas Program Rudal Balistik dengan Bantuan China
A
A
A
WASHINGTON - Intelijen Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa Arab Saudi memperluas program rudal balistiknya dengan bantuan pemerintah China. Bocoran informasi intelijen itu dilaporkan CNN yang mengutip beberapa sumber yang mengetahui hal tersebut.
Rahasia intelijen, yang sebelumnya tidak dilaporkan, mengindikasikan Kerajaan Arab Saudi telah melakukan pembelian dari China baru-baru ini yang memungkinkannya untuk secara signifikan memperluas infrastruktur dan teknologi rudal.
Menurut laporan CNN, Pemerintahan Trump tidak segera mengungkapkan temuan intelijen tersebut kepada anggota kunci Kongres, yang menyebabkan beberapa politisi Demokrat menyimpulkan bahwa itu sengaja dihilangkan dari briefing rahasia.
Badan Intelijen Pusat (CIA) dan Kantor Direktur Intelijen Nasional tidak segera menanggapi permintaan komentar dari yang diajukan The Hill tentang laporan tersebut.
Salah satu sumber mengatakan kepada CNN bahwa tujuan akhir Saudi, meskipun media AS itu mencatat bahwa pengembangan rudal dapat menjadi bagian dari upaya Saudi untuk memberikan hulu ledak nuklir jika memang pernah mendapatkannya.
Baik pemerintah Arab Saudi maupun China belum menanggapi laporan tersebut. Pemerintah AS juga belum berkomentar.
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengatakan Kerajaan akan bekerja untuk mendapatkan senjata nuklir jika musuh regionalnya, Iran, mengembangkannya juga.
"Tanpa ragu, jika Iran mengembangkan bom nuklir, kami akan mengikutinya sesegera mungkin," katanya dalam program berita "60 Minutes" tahun lalu.
Arab Saudi dilarang membeli rudal balistik dari AS di bawah kesepahaman bersama bernama "1987 Missile Technology Control Regime". Kesepahaman ini dibuat 35 negara anggota yang berupaya membatasi penyebaran teknologi misil dan rudal. Kesepahaman itu dibentuk pada 1987 oleh negara-negara industri G-7.
AS berusaha mencegah Arab Saudi agar tidak mencari rudal dengan jaminan kekuatan pasukan udaranya unggul di wilayah tersebut melalui penjualan pesawat militer Amerika.
"Arab Saudi tidak perlu berlomba dengan Iran untuk memproduksi atau mendapatkan rudal balistik. Itu sudah memiliki keunggulan militer konvensional yang signifikan," kata Behnam Taleblu dari kelompok think tank Foundation for Defense of Democracies, yang berbasis di Washington, kepada CNN, yang dikutip Kamis (6/6/2019).
Namun, dalam beberapa bulan terakhir ketegangan meningkat antara AS dan Iran, di mana Teheran menanggapi penarikan Amerika Serikat dari perjanjian nuklir era Obama 2015 dengan mengurangi sebagian dari komitmennya sendiri.
Ketegangan juga berkobar antara Kongres dan administrasi Trump atas masalah Iran, di mana anggota parlemen marah dalam beberapa pekan terakhir atas keputusan Presiden Trump yang menghindari legislator untuk menjual senjata ke Arab Saudi dan sekutu Teluk lainnya.
Anggota parlemen memberikan suara awal tahun ini untuk memblokir AS dari dukungannya kepada Saudi dalam perang di Yaman. Trump memvetonya setelah melangkahi Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, dan Senat gagal untuk mengesampingkan veto bulan lalu.
Rahasia intelijen, yang sebelumnya tidak dilaporkan, mengindikasikan Kerajaan Arab Saudi telah melakukan pembelian dari China baru-baru ini yang memungkinkannya untuk secara signifikan memperluas infrastruktur dan teknologi rudal.
Menurut laporan CNN, Pemerintahan Trump tidak segera mengungkapkan temuan intelijen tersebut kepada anggota kunci Kongres, yang menyebabkan beberapa politisi Demokrat menyimpulkan bahwa itu sengaja dihilangkan dari briefing rahasia.
Badan Intelijen Pusat (CIA) dan Kantor Direktur Intelijen Nasional tidak segera menanggapi permintaan komentar dari yang diajukan The Hill tentang laporan tersebut.
Salah satu sumber mengatakan kepada CNN bahwa tujuan akhir Saudi, meskipun media AS itu mencatat bahwa pengembangan rudal dapat menjadi bagian dari upaya Saudi untuk memberikan hulu ledak nuklir jika memang pernah mendapatkannya.
Baik pemerintah Arab Saudi maupun China belum menanggapi laporan tersebut. Pemerintah AS juga belum berkomentar.
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengatakan Kerajaan akan bekerja untuk mendapatkan senjata nuklir jika musuh regionalnya, Iran, mengembangkannya juga.
"Tanpa ragu, jika Iran mengembangkan bom nuklir, kami akan mengikutinya sesegera mungkin," katanya dalam program berita "60 Minutes" tahun lalu.
Arab Saudi dilarang membeli rudal balistik dari AS di bawah kesepahaman bersama bernama "1987 Missile Technology Control Regime". Kesepahaman ini dibuat 35 negara anggota yang berupaya membatasi penyebaran teknologi misil dan rudal. Kesepahaman itu dibentuk pada 1987 oleh negara-negara industri G-7.
AS berusaha mencegah Arab Saudi agar tidak mencari rudal dengan jaminan kekuatan pasukan udaranya unggul di wilayah tersebut melalui penjualan pesawat militer Amerika.
"Arab Saudi tidak perlu berlomba dengan Iran untuk memproduksi atau mendapatkan rudal balistik. Itu sudah memiliki keunggulan militer konvensional yang signifikan," kata Behnam Taleblu dari kelompok think tank Foundation for Defense of Democracies, yang berbasis di Washington, kepada CNN, yang dikutip Kamis (6/6/2019).
Namun, dalam beberapa bulan terakhir ketegangan meningkat antara AS dan Iran, di mana Teheran menanggapi penarikan Amerika Serikat dari perjanjian nuklir era Obama 2015 dengan mengurangi sebagian dari komitmennya sendiri.
Ketegangan juga berkobar antara Kongres dan administrasi Trump atas masalah Iran, di mana anggota parlemen marah dalam beberapa pekan terakhir atas keputusan Presiden Trump yang menghindari legislator untuk menjual senjata ke Arab Saudi dan sekutu Teluk lainnya.
Anggota parlemen memberikan suara awal tahun ini untuk memblokir AS dari dukungannya kepada Saudi dalam perang di Yaman. Trump memvetonya setelah melangkahi Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat, dan Senat gagal untuk mengesampingkan veto bulan lalu.
(mas)