AS: Pembantaian Muslim Rohingya oleh Tentara Myanmar Terkoordinasi

Selasa, 25 September 2018 - 13:56 WIB
AS: Pembantaian Muslim Rohingya oleh Tentara Myanmar Terkoordinasi
AS: Pembantaian Muslim Rohingya oleh Tentara Myanmar Terkoordinasi
A A A
WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam laporan penyelidikannya menyimpulkan bahwa militer Myanmar melancarkan kampanye pembunuhan massal yang direncanakan dan terkoordinasi terhadap minoritas Muslim Rohingya. Militer juga disebut terlibat dalam pemerkosaan dan tindak kekejaman lain.

Laporan berasal dari Departemen Luar Negeri AS. Laporan itu telah ditinjau oleh kantor berita Reuters menjelang waktu perilisan. Menurut seorang pejabat Washington, laporan itu bisa menjadi dasar penjatuhan sanksi lebih lanjut terhadap pemerintah Myanmar.

Kendati demikian, laporan itu tidak secara jelas mengkategorikan tindakan tentara Myanmar sebagai genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Penyelidikan oleh AS melibatkan lebih dari 1.000 wawancara terhadap pria dan wanita Rohingya di kamp-kamp pengungsi di negara Bangladesh. Negara tentangga Myanmar itu telah menjadi tempat pengungsian sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Rakhine tahun lalu.

"Survei itu mengungkapkan bahwa kekerasan baru-baru ini di negara bagian Rakhine utara adalah ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror penduduk dan mengusir warga Rohingya," bunyi laporan setebal 20 halaman itu.

"Ruang lingkup dan skala operasi militer menunjukkan mereka terencana dan terkoordinasi dengan baik," lanjut laporan tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (25/9/2018).

Pada 25 Agustus 2017, Myanmar melancarkan serangan militer—yang diistilahkan oleh PBB sebagai contoh buku teks pembersihan etnis—setelah kelompok bersenjata Rohingya melakukan serangan terhadap pasukan keamanan di perbatasan.

Mereka yang selamat menceritakan detail peristiwa mengerikan yang mereka saksikan, termasuk tentara yang membunuh bayi dan anak-anak kecil, penembakan orang-orang yang tidak bersenjata, dan korban yang dikubur hidup-hidup atau dilemparkan ke lubang kuburan massal.

Mereka menggambarkan serangan seksual yang meluas dan pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya oleh militer Myanmar, yang sering dilakukan di depan umum.

Seorang saksi menggambarkan bagaimana empat gadis Rohingya diculik, diikat dan diperkosa selama tiga hari. Mereka dibiarkan berdarah hebat dan dalam kondisi yang disebut saksi "setengah mati".

Laporan Departemen Luar Negeri bertepatan dengan waktu di mana AS menjanjikan bantuan USD185 juta untuk pengungsi Rohingya.

Pada hari Senin kemarin, duta besar AS untuk PBB Nikki Haley mengumumkan pendanaan baru untuk makanan, air, perawatan kesehatan dan bantuan penting lainnya selama pertemuan tingkat menteri mengenai krisis Myanmar di sela-sela pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Laporan AS muncul hampir satu bulan setelah sebuah tim penyelidik PBB mengeluarkan laporannya sendiri. Versi laporan PBB, militer Myanmar bertindak dengan "niat genosida". Laporan itu menyerukan agar panglima tertinggi negara itu berserta lima jenderal Myanmar diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional atau ICC.

Sementara itu, Panglima Militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, pada hari Senin memperingatkan asing untuk tidak campur tangan masalah penanganan Myanmar terhadap minoritas Rohingya.

Dalam komentar publik pertamanya sejak laporan PBB keluar, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan Myanmar mematuhi pakta PBB. Tapi, dia memperingatkan bahwa pembicaraan untuk ikut campur dalam urusan internal dapat menyebabkan kesalahpahaman.

"Karena negara-negara menetapkan standar dan norma yang berbeda," katanya. "Negara, organisasi dan kelompok mana pun tidak memiliki hak untuk ikut campur dan membuat keputusan atas kedaulatan suatu negara," lanjut dia di situs resminya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.9106 seconds (0.1#10.140)