Peringati Eksodus ke Bangladesh, Pengungsi Rohingya Lakukan Aksi Bungkam
loading...
A
A
A
DHAKA - Pengungsi Rohingya di Bangladesh melakukan aksi bungkam untuk memperingati tahun ketiga bentrokan antara pemberontak dengan paskan keamanan Myanmar yang memicu eksodus besar-besaran kelompok minoritas itu ke negara tetangga.
Lebih dari 1 juta warga Rohingya tinggal di pemukiman pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh selatan, dengan sedikit kemungkinan untuk kembali ke Myanmar, di mana mereka sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan dan hak-hak lainnya.(Baca: 7 Tahun di Makassar, Satu Keluarga Pengungsi Rohingya Kini Jadi Warga AS )
Tiga tahun lalu, pemberontak Rohingya menggerebek 30 pos polisi dan pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine Myanmar, menewaskan sedikitnya 12 anggota pasukan keamanan.
Sebagai aksi balasan, militer Myanmar melakukan tindak kekerasan yang memaksa 730.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, bergabung dengan lebih dari 200.000 yang sudah ada di sana.(Baca: 24 Pengungsi Rohingya Tenggelam di Malaysia )
Para pengungsi mengatakan bahwa karena virus Corona baru mereka tidak akan mengadakan pertemuan massal untuk menandai apa yang mereka sebut "Hari Peringatan". Pihak berwenang mengatakan 88 kasus virus Corona baru telah ditemukan di kamp-kamp tersebut dan enam orang telah meninggal.
"Kami diusir secara paksa dari tanah air kami ke kamp pengungsi terbesar di dunia," kata kelompok Rohingya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Reuters, Selasa (25/8/2020).
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan tindakan keras oleh militer Myanmar dilakukan dengan maksud genosida.
Myanmar membantah telah melakukan genosida, dengan mengatakan pasukannya terlibat dalam kampanye yang sah melawan pemberontak Rohingya, dan pemberontaklah yang bertanggung jawab atas sebagian besar aksi kekerasan, termasuk pembakaran desa.
Para pengungsi mengatakan Rohingya telah menghadapi "genosida tersembunyi" di Myanmar selama beberapa dekade dan mereka meminta PBB dan organisasi lain untuk mengumumkan apa yang terjadi pada genosida tahun 2017.
"Tolong berdiri dengan Rohingya yang tidak bersalah, dan semoga kami bisa kembali ke rumah kami," kata mereka dalam pernyataan itu.
Dalam beberapa kabar baik yang langka bagi para pengungsi, Bangladesh mengatakan pada hari Senin akan segera mencabut larangan internet seluler berkecepatan tinggi di kamp-kamp yang diberlakukan pihak berwenang tahun lalu dengan alasan kekhawatiran bahwa media sosial akan digunakan untuk menimbulkan kepanikan.
Lebih dari 1 juta warga Rohingya tinggal di pemukiman pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh selatan, dengan sedikit kemungkinan untuk kembali ke Myanmar, di mana mereka sebagian besar tidak memiliki kewarganegaraan dan hak-hak lainnya.(Baca: 7 Tahun di Makassar, Satu Keluarga Pengungsi Rohingya Kini Jadi Warga AS )
Tiga tahun lalu, pemberontak Rohingya menggerebek 30 pos polisi dan pangkalan militer di Negara Bagian Rakhine Myanmar, menewaskan sedikitnya 12 anggota pasukan keamanan.
Sebagai aksi balasan, militer Myanmar melakukan tindak kekerasan yang memaksa 730.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, bergabung dengan lebih dari 200.000 yang sudah ada di sana.(Baca: 24 Pengungsi Rohingya Tenggelam di Malaysia )
Para pengungsi mengatakan bahwa karena virus Corona baru mereka tidak akan mengadakan pertemuan massal untuk menandai apa yang mereka sebut "Hari Peringatan". Pihak berwenang mengatakan 88 kasus virus Corona baru telah ditemukan di kamp-kamp tersebut dan enam orang telah meninggal.
"Kami diusir secara paksa dari tanah air kami ke kamp pengungsi terbesar di dunia," kata kelompok Rohingya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Reuters, Selasa (25/8/2020).
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan tindakan keras oleh militer Myanmar dilakukan dengan maksud genosida.
Myanmar membantah telah melakukan genosida, dengan mengatakan pasukannya terlibat dalam kampanye yang sah melawan pemberontak Rohingya, dan pemberontaklah yang bertanggung jawab atas sebagian besar aksi kekerasan, termasuk pembakaran desa.
Para pengungsi mengatakan Rohingya telah menghadapi "genosida tersembunyi" di Myanmar selama beberapa dekade dan mereka meminta PBB dan organisasi lain untuk mengumumkan apa yang terjadi pada genosida tahun 2017.
"Tolong berdiri dengan Rohingya yang tidak bersalah, dan semoga kami bisa kembali ke rumah kami," kata mereka dalam pernyataan itu.
Dalam beberapa kabar baik yang langka bagi para pengungsi, Bangladesh mengatakan pada hari Senin akan segera mencabut larangan internet seluler berkecepatan tinggi di kamp-kamp yang diberlakukan pihak berwenang tahun lalu dengan alasan kekhawatiran bahwa media sosial akan digunakan untuk menimbulkan kepanikan.
(ber)