Malaysia Cegat Perahu Rohingya
A
A
A
KUALA LUMPUR - Malaysia mencegat perahu yang membawa 56 pengungsi Rohingya dari Myanmar di utara Pulau Langkawi, kemarin. Otoritas mengizinkan para pengungsi masuk ke wilayah Malaysia dengan alasan kemanusiaan.
Berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM) memperkirakan lebih banyak Rohingya yang melintasi laut untuk menuju Malaysia.
Perahu itu sempat berhenti di Pulau Thailand Selatan pada Sabtu (31/3) setelah badai. Para pejabat Thailand menyatakan bahwa para pengungsi menuju Malaysia. Perahu itu berlayar dari negara bagian Rakhine, Myanmar.
Badan Penegakan Hukum Maritim Malaysia menyatakan, perahu itu membawa 19 pria, 17 perempuan, dan 20 anak-anak. Kini para pengungsi itu dibawa ke otoritas imigrasi untuk proses lebih lanjut.
Kebijakan standar Malaysia adalah melarang perahu-perahu pengungsi mendarat ke pantai, kecuali kondisi cuaca buruk. Ribuan pengungsi diperkirakan berupaya masuk Malaysia selama beberapa tahun terakhir.
“Secara umum semua 56 penumpang, sebagian besar anak-anak dan perempuan, mereka aman tapi lelah dan lapar,” kata Komandan Angkatan Laut Malaysia Laksamana Ahmad Kamarulzaman Ahmad Badaruddin pada kantor berita Reuters.
Dia menambahkan, “Kami memberikan pada merek air, makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya.”
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai kelompok hak asasi manusia, sekitar 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari rumah mereka di Rakhine, Myanmar, menuju Bangladesh, setelah serangan militan pada Agustus tahun lalu memicu operasi militer. PBB dan negara-negara Barat menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnik Rohingya, tapi Myanmar menyangkal tuduhan itu.
Puluhan ribu Rohingya meninggalkan Myanmar melalui laut setelah kekerasan sektarian di Rakhine pada 2012. Beberapa pengungsi itu jatuh ke tangan para pedagang manusia. Gelombang pengungsi mencapai puncak pada 2015 saat diperkirakan 25.000 orang mengungsi melintasi Laut Andaman menuju Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Banyak pengungsi yang tenggelam karena naik perahu kelebihan muatan dan tak memenuhi standar keamanan.
Dengan adanya kekerasan baru di Myanmar, berbagai kelompok hak asasi manusia memperkirakan gelombang baru pengungsi Rohingya menggunakan perahu menuju negara-negara Asia Tenggara saat laut lebih tenang. Meski demikian, jumlah pengungsi dengan perahu itu diperkirakan tidak akan sebanyak tiga tahun lalu.
“Perahu-perahu itu bisa berasal dari Myanmar atau dari kamp-kamp Bangladesh yang sudah padat,” ungkap berbagai kelompok HAM.
Malaysia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB dan menganggap pengungsi sebagai migran ilegal. Saat ini Malaysia telah menampung lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya.
Sementara itu, tim penasihat internasional Myanmar untuk isu Rohingya memperingatkan, datangnya musim hujan dapat memicu korban tewas di kamp-kamp pengungsi Bangladesh yang tidak dibangun untuk bertahan saat terjadi badai.
Sejumlah kelompok HAM menyatakan, para pengungsi itu tinggal dalam struktur yang terbuat dari batang bambu dan plastik di perbukitan Cox's Bazaar. “Kita saat ini berpacu melawan waktu. Bagi kami, musim hujan datang. Kamp-kamp yang menampung hampir satu juta orang itu tidak dibangun untuk bertahan saat musim hujan,” ujar Kobsak Chutikul, kepala sekretariat tim penasihat itu saat konferensi pers di Singapura.
“Akan ada banyak korban tewas jika semua pihak tidak bergerak untuk memahami pentingnya repatriasi dan bantuan,” kata Chutikul.
Karena kesepakatan repatriasi antara Myanmar dan Bangladesh tertunda, maka Bangladesh segera menyiapkan rumah baru di pulau terdekat yang disebut Bhasan Char. Pembangunan Pulau Bhasan Char itu dipercepat sebelum datangnya musim hujan pada akhir bulan ini.
Badan Penasihat Komite Penerapan Rekomendasi untuk Rakhine dibentuk oleh Myanmar tahun lalu untuk memberi saran tentang cara-cara menerapkan berbagai temuan oleh komisi yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.(Syarifudin)
Berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM) memperkirakan lebih banyak Rohingya yang melintasi laut untuk menuju Malaysia.
Perahu itu sempat berhenti di Pulau Thailand Selatan pada Sabtu (31/3) setelah badai. Para pejabat Thailand menyatakan bahwa para pengungsi menuju Malaysia. Perahu itu berlayar dari negara bagian Rakhine, Myanmar.
Badan Penegakan Hukum Maritim Malaysia menyatakan, perahu itu membawa 19 pria, 17 perempuan, dan 20 anak-anak. Kini para pengungsi itu dibawa ke otoritas imigrasi untuk proses lebih lanjut.
Kebijakan standar Malaysia adalah melarang perahu-perahu pengungsi mendarat ke pantai, kecuali kondisi cuaca buruk. Ribuan pengungsi diperkirakan berupaya masuk Malaysia selama beberapa tahun terakhir.
“Secara umum semua 56 penumpang, sebagian besar anak-anak dan perempuan, mereka aman tapi lelah dan lapar,” kata Komandan Angkatan Laut Malaysia Laksamana Ahmad Kamarulzaman Ahmad Badaruddin pada kantor berita Reuters.
Dia menambahkan, “Kami memberikan pada merek air, makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya.”
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai kelompok hak asasi manusia, sekitar 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari rumah mereka di Rakhine, Myanmar, menuju Bangladesh, setelah serangan militan pada Agustus tahun lalu memicu operasi militer. PBB dan negara-negara Barat menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnik Rohingya, tapi Myanmar menyangkal tuduhan itu.
Puluhan ribu Rohingya meninggalkan Myanmar melalui laut setelah kekerasan sektarian di Rakhine pada 2012. Beberapa pengungsi itu jatuh ke tangan para pedagang manusia. Gelombang pengungsi mencapai puncak pada 2015 saat diperkirakan 25.000 orang mengungsi melintasi Laut Andaman menuju Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Banyak pengungsi yang tenggelam karena naik perahu kelebihan muatan dan tak memenuhi standar keamanan.
Dengan adanya kekerasan baru di Myanmar, berbagai kelompok hak asasi manusia memperkirakan gelombang baru pengungsi Rohingya menggunakan perahu menuju negara-negara Asia Tenggara saat laut lebih tenang. Meski demikian, jumlah pengungsi dengan perahu itu diperkirakan tidak akan sebanyak tiga tahun lalu.
“Perahu-perahu itu bisa berasal dari Myanmar atau dari kamp-kamp Bangladesh yang sudah padat,” ungkap berbagai kelompok HAM.
Malaysia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB dan menganggap pengungsi sebagai migran ilegal. Saat ini Malaysia telah menampung lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya.
Sementara itu, tim penasihat internasional Myanmar untuk isu Rohingya memperingatkan, datangnya musim hujan dapat memicu korban tewas di kamp-kamp pengungsi Bangladesh yang tidak dibangun untuk bertahan saat terjadi badai.
Sejumlah kelompok HAM menyatakan, para pengungsi itu tinggal dalam struktur yang terbuat dari batang bambu dan plastik di perbukitan Cox's Bazaar. “Kita saat ini berpacu melawan waktu. Bagi kami, musim hujan datang. Kamp-kamp yang menampung hampir satu juta orang itu tidak dibangun untuk bertahan saat musim hujan,” ujar Kobsak Chutikul, kepala sekretariat tim penasihat itu saat konferensi pers di Singapura.
“Akan ada banyak korban tewas jika semua pihak tidak bergerak untuk memahami pentingnya repatriasi dan bantuan,” kata Chutikul.
Karena kesepakatan repatriasi antara Myanmar dan Bangladesh tertunda, maka Bangladesh segera menyiapkan rumah baru di pulau terdekat yang disebut Bhasan Char. Pembangunan Pulau Bhasan Char itu dipercepat sebelum datangnya musim hujan pada akhir bulan ini.
Badan Penasihat Komite Penerapan Rekomendasi untuk Rakhine dibentuk oleh Myanmar tahun lalu untuk memberi saran tentang cara-cara menerapkan berbagai temuan oleh komisi yang dipimpin mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan.(Syarifudin)
(nfl)