Myanmar Tolak Penyelidik HAM PBB
A
A
A
NAYPYIDAW - Pemerintah Myanmar melarang penyelidik hak asasi manusia PBB untuk mengunjungi negara tersebut. Myanmar juga menarik kerja sama dengannya selama sisa masa jabatannya.
Yanghee Lee, seorang pelapor khusus PBB, akan berkunjung pada bulan Januari mendatang untuk menilai keadaan hak asasi manusia di seluruh Myanmar, termasuk di negara bagian Rakhine. Lebih dari 650 ribu minoritas Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh akibat tindakan brutal militer Myanmar sejak Agustus lalu.
"Saya benar-benar sangat kecewa dan sangat sedih dengan keputusan Myanmar untuk menolak kerja sama dengan mandat saya dan dengan mekanisme hak asasi manusia lainnya, dan yang terpenting untuk membungkam orang-orang yang mengungkapkan kekejaman semacam ini," kata Lee seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (21/12/2017).
Dalam sebuah pernyataanya, Lee mengatakan bahwa dia merasa bingung dan kecewa dengan keputusan Myanmar.
"Deklarasi non-kooperasi dengan mandat saya hanya bisa dipandang sebagai indikasi kuat bahwa pasti ada kejadian mengerikan di Rakhine, dan juga di negara lain," cetusnya.
Lee mengatakan bahwa dia diberi tahu bahwa keputusan tersebut merupakan tanggapan atas sebuah pernyataannya setelah berkunjung pada bulan Juli lalu.
Pada saat itu, dia mengkritik perlakuan kejam pasukan keamanan di negara bagian Shan dan Rakhine. Ia juga mengeluhkan meningkatnya pembatasan akses terhadapnya.
"Wartawan dan aktivis yang bertemu dengannya juga dikenai pengawasan negara," ujarnya.
Myanmar mengkritik pernyataannya yang bias dan tidak adil.
Lee mengambil peran pemantauan HAM pada tahun 2014 dan diharuskan mengunjungi Myanmar dua kali setahun untuk melapor ke Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum PBB.
Myanmar juga menolak masuk misi pencarian fakta terpisah yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai zona konflik, termasuk di Rakhine.
Zeid bin Ra'ad al-Hussein, kepala hak asasi manusia PBB, mengatakan bahwa larangan keamanan terhadap minoritas Rohingya di Rakhine mungkin sama dengan genosida, sebuah tuduhan yang telah ditolak pemerintah.
Tindakan keras tersebut dilakukan untuk menanggapi serangan terhadap pos-pos perbatasan oleh kelompok bersenjata Rohingya pada 25 Agustus.
Amnesty International menyebut keputusan Myanmar untuk melarang Lee "memalukan".
"Ini adalah indikasi lebih lanjut bahwa pihak berwenang akan melakukan apapun yang mereka bisa untuk menghindari pengawasan internasional terhadap catatan hak asasi manusia mereka," kata James Gomez, direktur Amnesty untuk Asia Tenggara dan Pasifik.
Yanghee Lee, seorang pelapor khusus PBB, akan berkunjung pada bulan Januari mendatang untuk menilai keadaan hak asasi manusia di seluruh Myanmar, termasuk di negara bagian Rakhine. Lebih dari 650 ribu minoritas Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh akibat tindakan brutal militer Myanmar sejak Agustus lalu.
"Saya benar-benar sangat kecewa dan sangat sedih dengan keputusan Myanmar untuk menolak kerja sama dengan mandat saya dan dengan mekanisme hak asasi manusia lainnya, dan yang terpenting untuk membungkam orang-orang yang mengungkapkan kekejaman semacam ini," kata Lee seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (21/12/2017).
Dalam sebuah pernyataanya, Lee mengatakan bahwa dia merasa bingung dan kecewa dengan keputusan Myanmar.
"Deklarasi non-kooperasi dengan mandat saya hanya bisa dipandang sebagai indikasi kuat bahwa pasti ada kejadian mengerikan di Rakhine, dan juga di negara lain," cetusnya.
Lee mengatakan bahwa dia diberi tahu bahwa keputusan tersebut merupakan tanggapan atas sebuah pernyataannya setelah berkunjung pada bulan Juli lalu.
Pada saat itu, dia mengkritik perlakuan kejam pasukan keamanan di negara bagian Shan dan Rakhine. Ia juga mengeluhkan meningkatnya pembatasan akses terhadapnya.
"Wartawan dan aktivis yang bertemu dengannya juga dikenai pengawasan negara," ujarnya.
Myanmar mengkritik pernyataannya yang bias dan tidak adil.
Lee mengambil peran pemantauan HAM pada tahun 2014 dan diharuskan mengunjungi Myanmar dua kali setahun untuk melapor ke Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum PBB.
Myanmar juga menolak masuk misi pencarian fakta terpisah yang ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai zona konflik, termasuk di Rakhine.
Zeid bin Ra'ad al-Hussein, kepala hak asasi manusia PBB, mengatakan bahwa larangan keamanan terhadap minoritas Rohingya di Rakhine mungkin sama dengan genosida, sebuah tuduhan yang telah ditolak pemerintah.
Tindakan keras tersebut dilakukan untuk menanggapi serangan terhadap pos-pos perbatasan oleh kelompok bersenjata Rohingya pada 25 Agustus.
Amnesty International menyebut keputusan Myanmar untuk melarang Lee "memalukan".
"Ini adalah indikasi lebih lanjut bahwa pihak berwenang akan melakukan apapun yang mereka bisa untuk menghindari pengawasan internasional terhadap catatan hak asasi manusia mereka," kata James Gomez, direktur Amnesty untuk Asia Tenggara dan Pasifik.
(ian)