Pemimpin Pemberontak Rohingya Tantang Suu Kyi
A
A
A
YANGON - Pemimpin pemberontak Muslim Rohingya menantang pemimpin negara itu Aung San Suu Kyi. Ia mengatakan akan terus berjuang meski satu juta orang tewas, kecuali Suu Kyi mengambil tindakan untuk melindungi agama minoritas.
Dalam wawancara pertama dilakukan media independen media, Ata Ullah, membantah mempunyai hubungan dengan kelompok Islam asing. Ia mengatakan kelompoknya hanya fokus pada hak-hak Rohingya di mana mereka menghadapi penganiayaan di tangan mayorita Budha Myanmar.
"Jika kami tidak mendapatkan hak-hak kami, jika 1 juta, 1,5 juta, semua Rohingya harus mati, kami akan mati. Kami akan mengambil hak-hak kami. Kami akan bertempur dengan militer pemerintah yang kejam," katanya, berbicara melalui panggilan video dari sebuah lokasi yang dirahasiakan seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (1/4/2017).
Lebih dari satu juta Muslim Rohingya hidup di barat laut Myanmar negara bagian Rakhine, di mana kewarganegaraan mereka ditolak, dibatasi ruang gerak dan akses ke layanan seperti kesehatan. Bentrokan etnis serius antara Rohingya dan etni Budha Rakhine meletus pada tahun 2012 di mana lebih dari 100 orang tewas dan sekitar 140 ribu orang mengungsi.
"Pada 2012, banyak hal yang terjadi dan mereka membunuh kami, jadi kami mengerti pada waktu itu, mereka tidak akan memberi kami hak-hak kami," kata Ata Ullah.
Ata Ullah mengatakan kebencian terhadap perlakuan yang diterima oleh etnis Rohingya tumbuh sejak lama. Hal ini membuat ratusan anak muda Rohingya bergabung dengannya setelah ia kembali ke Rakhine. Sebelumnya, selama beberapa tahun, Ullah berada di Bangladesh dan Arab Saudi.
"Kami tidak bisa menyalakan lampu di malam hari. Kami tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam hari yang sama. Di mana-mana pos pemeriksaan. Itu bukan cara manusia hidup," katanya.
Dalam sebuah video, Ata Ullah mengutip ayat Al-Quran dan menyerukan "jihad". Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay pun mendesak masyarakat internasional untuk melihat latar belakang kelompok pemberontak Rohingya. "Mereka terkait dengan organisasi teroris dari Timur Tengah," katanya.
Tapi Ata Ullah membantah kelompoknya mempunyai hubungan dengan militan lain atau mendapat dukungan luar. Awal pekan ini, kelompok yang dipimpinnya telah berubah nama menjadi Arakan Rohingya Salvation Army.
"Kami tidak memiliki kelompok-kelompok yang membantu kami dari belakang, apakah dari sini atau juga di luar negeri. Kami bertahan di sini dengan menjual sapi dan kerbau," katanya.
Krisis Rohingya telah menimbulkan tantangan terbesar bagi pemerintah peraih Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, yang pada Kamis lalu menandai tahun pertama berkuasa. Para pendukungnya mengatakan ada sedikit yang bisa dilakukannya, mengingat konstitusi memberikannya kontrol atas militer.
"Orang-orang dalam kesulitan seperti ini, militer begitu kejam kepada komunitas Rohingya, jadi dia harus berbicara, melakukan sesuatu untuk orang-orang ini sebagai pemenang hadiah Nobel," kata Ullah.
"Jika dia mencoba untuk melakukan sesuatu bagi kami, militer akan melakukan sesuatu untuk pemerintahnya. Itu sebabnya dia tidak akan melindungi kami," tukasnya.
Dalam wawancara pertama dilakukan media independen media, Ata Ullah, membantah mempunyai hubungan dengan kelompok Islam asing. Ia mengatakan kelompoknya hanya fokus pada hak-hak Rohingya di mana mereka menghadapi penganiayaan di tangan mayorita Budha Myanmar.
"Jika kami tidak mendapatkan hak-hak kami, jika 1 juta, 1,5 juta, semua Rohingya harus mati, kami akan mati. Kami akan mengambil hak-hak kami. Kami akan bertempur dengan militer pemerintah yang kejam," katanya, berbicara melalui panggilan video dari sebuah lokasi yang dirahasiakan seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (1/4/2017).
Lebih dari satu juta Muslim Rohingya hidup di barat laut Myanmar negara bagian Rakhine, di mana kewarganegaraan mereka ditolak, dibatasi ruang gerak dan akses ke layanan seperti kesehatan. Bentrokan etnis serius antara Rohingya dan etni Budha Rakhine meletus pada tahun 2012 di mana lebih dari 100 orang tewas dan sekitar 140 ribu orang mengungsi.
"Pada 2012, banyak hal yang terjadi dan mereka membunuh kami, jadi kami mengerti pada waktu itu, mereka tidak akan memberi kami hak-hak kami," kata Ata Ullah.
Ata Ullah mengatakan kebencian terhadap perlakuan yang diterima oleh etnis Rohingya tumbuh sejak lama. Hal ini membuat ratusan anak muda Rohingya bergabung dengannya setelah ia kembali ke Rakhine. Sebelumnya, selama beberapa tahun, Ullah berada di Bangladesh dan Arab Saudi.
"Kami tidak bisa menyalakan lampu di malam hari. Kami tidak bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam hari yang sama. Di mana-mana pos pemeriksaan. Itu bukan cara manusia hidup," katanya.
Dalam sebuah video, Ata Ullah mengutip ayat Al-Quran dan menyerukan "jihad". Juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay pun mendesak masyarakat internasional untuk melihat latar belakang kelompok pemberontak Rohingya. "Mereka terkait dengan organisasi teroris dari Timur Tengah," katanya.
Tapi Ata Ullah membantah kelompoknya mempunyai hubungan dengan militan lain atau mendapat dukungan luar. Awal pekan ini, kelompok yang dipimpinnya telah berubah nama menjadi Arakan Rohingya Salvation Army.
"Kami tidak memiliki kelompok-kelompok yang membantu kami dari belakang, apakah dari sini atau juga di luar negeri. Kami bertahan di sini dengan menjual sapi dan kerbau," katanya.
Krisis Rohingya telah menimbulkan tantangan terbesar bagi pemerintah peraih Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, yang pada Kamis lalu menandai tahun pertama berkuasa. Para pendukungnya mengatakan ada sedikit yang bisa dilakukannya, mengingat konstitusi memberikannya kontrol atas militer.
"Orang-orang dalam kesulitan seperti ini, militer begitu kejam kepada komunitas Rohingya, jadi dia harus berbicara, melakukan sesuatu untuk orang-orang ini sebagai pemenang hadiah Nobel," kata Ullah.
"Jika dia mencoba untuk melakukan sesuatu bagi kami, militer akan melakukan sesuatu untuk pemerintahnya. Itu sebabnya dia tidak akan melindungi kami," tukasnya.
(ian)